“Lenggang lenggok
Jakarta, bagai pinggul gadis remaja. Setiap pandangan slalu menatap,
mendambakan untuk menjamah… Lenggang lenggok Jakarta suka membuat orang
lupa. Terpikat oleh manisnya cerita, mudah jadi jutawan di sana…”
Itulah penggalan lagu yang
pernah dinyanyikan almarhumah Andi Meriem Mattalatta, yang ngetop di
paruh kedua dekade ’80-an. Lagu itu awalnya dimaksudkan untuk
menggambarkan pesona Jakarta yang memikat kaum urban yang menyerbu masuk
Jakarta setiap tahun, utamanya pasca lebaran. Tapi kini, seperempat
abad setelah lagu itu dirilis, tampaknya lagu itu tetap relevan. Bukan
saja untuk kaum urban yang bermimpi mudah mengais rejeki di Jakarta,
tapi juga tepat untuk menggambarkan kondisi hiruk pikuk politik di DKI
saat ini.
Pemilukada sesungguhnya event
politik yang jamak terjadi di daerah mana saja. Tapi khusus Pilgub DKI
menjadi fenomena yang luar biasa. Mungkin Pilgub DKI tahun ini yang
paling “rame” sepanjang sejarah. 6 pasangan ikut meramaikan ajang
kompetisi politik. 4-parpol besar yang punya jumlah kursi signifikan di
DPRD DKI – Demokrat, PDIP, Golkar dan PKS – tak mau kalah untuk
mengajukan calonnya sendiri, meski pasangan calon itu baru kelar
menjelang batas waktu penutupan pendaftaran yang ditetapkan KPUD DKI.
PERMASALAHAN DKI : TRANSPORTASI, BANJIR DAN KEAMANAN
Ada 3 masalah klasik yang selalu
dikeluhkan warga Jakarta dari tahun ke tahun dan dari Gubernur ke
Gubernur. Yang setiap hari menghantui warga DKI dan daerah sekitarnya
jelas soal kemacetan. Kemacetan ini hanya ekses dari ketiadaan
transportasi umum yang aman, nyaman dan terjangkau, mendorong
pertumbuhan ranmor roda 2 dan 4 milik pribadi jadi tak terkendali.
Busway yang dianggap solusi di masa Sutiyoso, ternyata sama sekali bukan
jalan keluar. Tampaknya Jakarta harus mulai melirik alternatif subway (kereta bawah tanah) atau mono rail,
seperti umumnya kota-kota besar dunia. Selama masih mengandalkan jalan
darat, tentu tak bakal tersolusi. Sebab lahan di Jakarta makin sempit
dengan tersitanya ruas jalan eksklusif bagi busway.
Selain problem transportasi,
warga Jakarta juga selalu harus berhadapan dengan momok banjir setiap
musim hujan. Ini juga terkait dengan problematika pembuangan dan
pengelolaan sampah di DKI yang volumenya ribuan meter kubik per hari.
Sulitnya menghilangkan rumah-rumah di bantaran kali, juga terkait dengan
problem kemiskinan kaum urban.
Juga makin minimnya daerah resapan air
dan ruang terbuka hijau, tak luput dari kuasa para cukong yang mampu mengubah tata ruang menjadi tata uang
(mengutip istilah Faisal Basri). Mall, pusat hiburan, apartemen mewah,
gedung perkantoran, terus tumbuh di Jakarta dan mengubah Jakarta jadi
hutan beton. Bahkan kabarnya Oom TeWe sudah siap membangun gedung
pencakar langit tertinggi di dunia yang bakal mengalahkan yang di Dubai.
Wow! Benar-benar tata uang!
Kepentingan para politisi untuk melanggengkan kekuasaannya, para pengusaha untuk membuat roda bisnisnya lancar, serta para penjaja jasa keamanan, semuanya saling bersimbiosis mutualisme. Membuat jaringan premanisme di seluruh wilayah Jakarta sulit di berantas. Baik kelompok preman berdasi, bersurban maupun bertattoo semuanya sama-sama eksis karena ada yang “memelihara”.
Yang beraksi dengan senjata api maupun yang pakai pentungan atau sekedar bogem mentah, semuanya membuat warga Jakarta hidup dalam lingkungan yang tidak aman.
Tahun 2007 Fauzi Bowo yang sudah
jadi Wagub DKI di masa pemerintahan Sutiyoso, mengklaim dia ahli
masalah Jakarta. Dengan slogan : “serahkan pada ahlinya”,
Foke memenangkan Pilgub DKI 2007. Ketika banjir besar membuat seantero
Jakarta macet semalaman di penghujung Oktober 2010, beredar foto Foke di
BBM dengan kalimat-kalimat ledekan. Saya yakin kali ini Foke tak bakal
berani lagi menggunakan klaim “ahli” dalam slogan kampanyenya.
PERANG ANTAR PARPOL VS PARPOL VS INDEPENDEN
Para “jawara” politik dari luar
Jakarta menyerbu masuk dalam ajang Pilgub DKI. Mereka yang dinilai sudah
sukses memimpin daerahnya, kini ingin menjajal kemampuannya di
belantara Jakarta. Jokowi – Walikota Solo yang fenomenal karena
pribadinya yang dikenal sangat merakyat dan terakhir karena
kontroversinya dengan mobnas bikinan siswa SMK – kini pun siap-siap
hijrah ke Jakarta karena “ditugaskan” partainya, PDIP.
Pun juga Alex
Noerdin – Gubernur Sumatera Selatan yang namanya ikut disebut menerima
fee dari proyek Wisma Atlet – tetap pede merangsek ke Jakarta.
Memang popularitas dan
keberhasilan seorang kepala daerah di luar Jakarta tidak otomatis jadi
jaminan mereka pasti sukses memimpin Jakarta. Sebab permasalahan
kompleks dan akut yang dihadapi Jakarta sangat berbeda dengan daerah
lain. Kemacetan para berkilo-kilo meter, gunungan sampah dan premanisme
mungkin tak pernah di temui di daerah yang dulu mereka pimpin. Tapi
bagaimana pun mereka memang perlu diberi kesempatan mencoba.
Berbeda dengan calon dari parpol
yang tampak alot penggodokannya dan benar-benar memanfaatkan sisa waktu
yang ada, sebaliknya, calon independen terlihat paling siap sejak awal.
Hari pertama pendaftaran dibuka, pasangan Faisal Basri dan Biem
Benyamin sudah langsung mendaftar. Disusul beberapa hari berikutnya
pasangan Hendardji Supandji dan Ahmad Riza P. Meski KPUD menyatakan
hasil verifikasi sementara menunjukkan jumlah dukungan KTP warga yang
diajukan kedua pasangan calon itu masih belum memenuhi syarat, tapi
keduanya diberi kesempatan menambah kekurangannya sampai 9 April 2012
dan akan diumumkan 10 Mei 2012.
Setidaknya, kesigapan kedua
pasangan independen ini menunjukkan bahwa tekad maju memimpin Jakarta
memang tidak main-main. Ibarat akan mengikuti ujian, keduanya sudah
datang ke lokasi ujian sejak awal, sementara peserta yang lain masih
sibuk berkutat menemukan pasangan kaos kakinya, menyerut pensil yang
bakal dipakai untuk menulis dan mencari karet penghapus.
Pasangan dari
PKS yang datang menjelang tengah malam, menurut Ketua
Pokja Pencalonan KPUD DKI, Jamaluddin F Hasyim, pasangan ini masih
banyak kekurangan terkait berkas-berkas yang harus diserahkan sesuai
syarat. “Masih banyak yang belum diserahkan. Tadi saja bendelnya tipis
sekali,” jelas Jamal seperti dikutip Kompas.com.
Ini sebenarnya bisa dimaklumi,
mengingat nama pasangan itu muncul tiba-tiba di hari terakhir, setelah
berharihari sebelumnya PKS mengusung ketua DPW PKS DKI, Triwisaksana
alias Bang Sani. PKS terpaksa menganulir Bang Sani karena ia dianggap
tak cukup mampu menyaingi popularitas para pesaingnya. Hidayat Nur Wahid
dianggap lebih bisa mendulang suara.
Begitu pula Nono Sampono yang
kemudian justru berpasangan dengan Alex Noerdin maju dari Golkar,
padahal 2 hari sebelumnya dinyatakan lolos fit n proper test
oleh PDIP. Akhirnya PDIP kembali ke Jokowi setelah Gerindra ikut
mendesak pencalonan Walikota Solo ini. Nama Ahok alias Basuki Tjahja
Purnama pendamping Jokowi baru muncul 2 hari sebelum penutupan
pendaftaran.
Demokrat sebagai pemilik kursi
terbanyak di DPRD DKI juga sama tak siapnya. Nama Nachrowi Ramli yang
sejak awal dideklarasikan didukung oleh DPP PD, sedangkan Foke yang juga
anggota Dewan Pembina PD jelas didukung Ketua Dewan Pembina. Tampaknya
Demokrat tak punya pilihan lain selain menggabungkan keduanya daripada
harus konflik di internalnya. Lucunya lagi, Partai Damai Sejahtera (PDS)
yang semula sudah ikut mendeklarasikan Alex – Nono, kemarin juga ikut
mendukung pasangan Foke – Nara.
Fenomena ini menunjukkan
pola-pola politik transaksional di partai politik masih sangat kuat
mewarnai keputusan parpol untuk memilih calon yang bakal diajukan. Yang
jadi pertimbangan bukan sekedar masalah popularitas semata, tapi juga
kemampuan pendanaan. Apalagi dengan jumlah kontestan lebih dari 4 orang,
sangat besar kemungkinan Pilkada akan berjalan 2 putaran. Dari
pengalaman Pilkada yang diikuti 5 pasangan calon, umumnya terjadi 2
putaran karena tak ada calon yang bisa meraup suara lebih dari 1/3 suara
sah. Apalagi Pilkada DKI kali ini diikuti 6 pasangan calon. Tentu
logistik yang harus disiapkan harus cukup untuk 2x putaran.
Akhirnya, soal visi dan misi
serta strategi membangun Jakarta jadi sedikit terpinggirkan. Kalah
dengan pertimbangan “gizi”. Calon-calon dari parpol belum terlihat
secara jelas dan gamblang memaparkan visi-misi dan strateginya.
Maklumlah, nama mereka baru jelas digedok ketika semua pembicaraan
transaksional antar parpol dan elemen pendukungnya sudah clear dan sepakat.
Faisal Basri pernah memaparkan
di acara dialog dengan TV swasta : “saya ingin menghadirkan keadilan”.
Keadilan yang digambarkan Faisal : di beberapa kampung di Jakarta yang
didatanginya, warga harus iuran swadaya untuk membangun dan memperbaiki
akses jalan menuju tempat tinggal mereka, karena Pemerintah DKI tak
kunjung turun tangan. Sedang jalanan di kawasan elit Jakarta, gak boncel
pun diaspal ulang tiap tahun.
Dalam hal pajak : pemilik warteg yang
menjamur di Jakarta harus membayar pajak 2% dari omzet, jelas ini
mengurangi keuntungannya. Sedangkan pengusaha kakap di Jakarta hanya
membayar pajak 25% dari profit, dimana profit ini ditentukan dari hasil
pembukuan keuangan. Padahal, bukan rahasia lagi pengusaha besar
terkadang memanipulasi laporan keuangan perusahaannya agar tampak tidak
untung, sehingga pajak-nya pun nol. “Menghadirkan keadilan” seperti ini
sebenarnya menarik, sederhana tapi masuk akal.
Tapi Pilkada masih akan
berlangsung Juli nanti. Warga Jakarta lah yang menentukan siapa yang
mereka pilih. Sekali lagi, lagu Andi Meriem memang cocok untuk
dinyanyikan : “Ribuan mimpi-mimpi ada, menggoda mereka. Jangankan cari sorga dunia, neraka dunia pun ada.” Jadi pantas saja kalau parpol berebut mengajukan calonnya sendiri, sebab tata ruang di Jakarta bisa diubah menjadi tata uang. “Lenggang lenggok Jakarta, suka membuat orang lupa. Tak kurang banyak juga yang kecewa, cuma buang-buang waktu saja”. Tentu saja ini hanya cocok untuk kontestan yang kalah. Selamat memilih warga Jakarta, semoga anda tak salah pilih!
catatan ira oemar freedom writers kompasianer