Jagad pemberitaan di media
online dan elektronik diramaikan pemberitaan soal mobil-mobil mewah yang
ramai-ramai berpindah ke Premium karena harga Pertamax naik dari Rp.
10.400,- menjadi Rp. 10.850,- . Ada Alphard, Lexus, dan sebuah sedan
mewah berplat nomor merah, tertangkap kamera sedang mengisi BBM dengan
nozzle warna kuning alias Premium.
Beberapa petugas SPBU yang
diwawancarai mengaku mereka sudah berupaya mengingatkan pemakai mobil
mewah agar jangan mengisi mobilnya dengan premium. Tapi si pemakai mobil
selalu menjawab mereka “tidak mampu” membeli pertamax karena harganya
yang terus naik mengikuti harga minyak di pasar dunia. Itu sebabnya
mereka beralih ke premium, BBM bersubsidi.
Dalam acara Kabar Utama di TV
One, seorang penelpon bernama Pak Ali, dari Pasar Minggu. Ia mengaku
mobilnya Mitsubishi Pajero, memakai solar bersubsidi. Alasannya :
bukankah bumi air dan kekayaan alam di dalamnya dipaki untuk
kesejahteraan rakyat. Bukan hanya rakyat kecil saja, dia pun berhak
menikmati BBM bersubsidi.
Di akhir acara, host acara
membacakan sebuah sms dari seseorang yang saya lupa namanya. Dia mengaku
punya 2 buah motor dan 2 buah mobil, APV dan satu lagi saya lupa, yang
jelas jenis mobil keluarga yang bukan mobil mewah. Ia mengaku selama ini
selalu mengisi mobilnya dengan Pertamax Plus. Tapi belakangan ketika
harga Pertamax Plus terus melambung, ia terpaksa beralih ke Pertamax.
Pengirim sms menyatakan : sebenarnya pilihan pembelian BBM bukan
tergantung pada semewah apa mobilnya, semua itu tergantung pada
kesadaran pemiliknya dan itikadnya untuk tidak memakai apa yang
seharusnya menjadi hak orang lain. Luar biasa sekali orang ini!
Betul, meski seseorang punya 5
mobil mewah sekalipun, jika paradigma berpikirnya seperti Bapak Ali,
yang beranggapan dirinya bagian dari rakyat yang juga berhak menikmati
subsidi, maka orang-orang seperti ini tak akan merasa bersalah memakai
BBM bersubsidi. Seperti ditulis seorang pengirim twitter : “semua orang
juga pengen ngirit”
Membeli sebuah mobil mewah,
tentu sudah disadari resikonya akan mahal di biaya pemeliharaan dan
perawatan. Mesin mobilnya butuh BBM ber-oktan tinggi, ban mobil, kaca
spion, aksesories mobil, suku cadang dan biaya service-nya pun mahal.
Karena itu mobil mewah hanya terjangkau harganya bagi kantong
orang-orang yang sudah makmur. Mobil adalah kebutuhan tertier, orang
baru berpikir membeli mobil kalau kebutuhan primer dan sekundernya sudah
terpenuhi. Kalau kebutuhan tertiernya saja jenis yang mewah, tentu
pemiliknya punya cukup uang untuk merawatnya. Lalu kenapa rela
mengorbankan mesin mobilnya demi “ngirit”?
Ini soal “mentalitas”. “Kaya”
itu ukurannya bukan hanya dari berapa asset yang dimiliki, berapa banyak
tabungan yang ada, tapi seberapa ‘kaya’ orang itu menilai dirinya
sendiri. Ketika BLT dibagikan tahun 2005 dan 2008 lalu, banyak orang
yang tidak miskin-miskin amat, rela dilabelin miskin asal bisa mendapat
BLT 3 bulan sekali, meski untuk itu ia harus rela antri berjam-jam
berdesakan dengan orang-orang yang benar-benar miskin.
Teman saya pernah cerita,
kerabatnyya yang pasutri bekerja dan punya penghasilan, rela berepot-ria
mengurus jamkeskin supaya kalau berobat murah. Kebetulan saat itu ada
anggota keluarganya yang sakit dan harus menjalani operasi. Katanya,
dengan jamkeskin ia hanya dikenai biaya sepersekian saja dari biaya
normal, padahal di tempat kerjanya ia bisa mendapatkan penggantian biaya
berobat sampai plafon tertentu untuk tindakan operasi. Dengan
Jamkeskinia bisa irit banyak, dan tentu saja klaim asuransi dari tempat
kerjanya bisa masuk kantong. Jadi dengan sakitnya anggota keluarganya,
ia malah bisa dapat “untung”. Teman saya sampai geleng-geleng kepala
melihat kelakuan kerabatnya itu.
Seorang teman lain pernah
bercerita, di Bondowoso – kota kecil di Jawa Timur dimana saya
menghabiskan masa kecil dan remaja saya di sana – ada seorang guru
mengaji yang hanya mendapat upah Rp. 75.000,- sebulan dari jasanya
mengajar anak-anak mengaji. Sementara penerima BLT, yang hanya menunggu
saja bisa dapat Rp. 100.000,- per bulan. Tapi si guru mengaji ini tidak
menerima BLT. Ia rela berupaya apa saja asal halal dan tak merendahkan
martabatnya dengan menjadi peminta-minta. Inilah orang “kaya” yang
sebenarnya. Mentalitasnya kaya, harga dirinya kaya.
Banyak orang tak tersentuh
hatinya melihat kemiskinan kasat mata sehari-hari disekitarnya, meski ia
punya segala-galanya lebih dari cukup. Banyak orang yang merasa sayang
memberikan sebagian uangnya untuk orang lain yang membutuhkan, meski
Tuhan memberinya jauh lebih banyak. Banyak orang yang terus menerus
mengeluh gajinya kurang, meski tiap weekend dia masih bisa mengajak
keluarganya makan di resto siap saji dan masih bisa membeli gadget model
baru.
Kalau kaum fakir miskin rela
berdesakan berpanas-panas sampai terinjak-injak demi pembagian daging
qurban, paket sembako atau uang zakat, saya masih bisa maklum. Mungkin
kalo tak begitu ia tak akan bisa menikmatinya. Seperti pengakuan seorang
ibu yang rela berjalan kaki dari Senen ke Istiqlal dini hari, agar bisa
antri paling depan, hanya supaya 4 anaknya bisa makan daging. Meski
untuk itu ia harus terjatuh beberapa kali dan kakinya lecet-lecet, ia
bisa tersenyum bahagia membawa pulang sebungkus daging. Bukan untuk
dijual lagi agar dapat untung! Tidak, ini demi anak-anaknya bisa makan
daging.
Lalu, kalau ada ribuan orang
dari kalangan ekonomi kelas menengah dan menengah atas rela antri sampai
terinjak-injak dan pingsan di sebuah mall mewah - Pacific Place - demi
sebuah gadget model terbaru dengan harga diskon 50%, saya tak habis
pikir. Padahal pembelian itu mensyaratkan pembeli harus memiliki kartu
kredit tertentu yang menjadi sponsor penjualan. Setiap orang harus
menunjukkan kartu kredit dengan nama yang sama antara yang tertera di
kartu kredit dengan kartu identitas pembeli. Artinya : si pembeli
haruslah pemilik kartu kredit. Seseorang yang punya kartu kredit, oleh
pihak bank penerbit dianggap cukup memadai untuk memiliki sebuah kartu
belanja dengan iuran tahunan jumlah tertentu. Ia dinilai punya
penghasilan layak untuk membayar angsuran minimal dari limit/batas atas
kartu kredit itu. Artinya lagi, ia bukan orang tak ‘punya’.
Tapi
faktanya ia tak punya ‘malu’ untuk mendapatkan barang diskonan sampai
rela mengorbankan dirinya.
Pemilik mobil mewah yang rela
antri BBM bersubsidi dan rela mengorbankan kehandalan mesin mobilnya
demi satu kata : IRIT, kurang lebih mentalitasnya sama dengan orang yang
rela disebut miskin agar dapat BLT, rela pingsan demi BB diskonan.
Sekali lagi, “kaya” dan “miskin” bukan persoalan materi semata. Ini
lebih pada soal “mental” dan “hati”. Ketika mentalitas seseorang sudah
kaya, hatinya merasa kaya, maka perilakunya pun akan “kaya”.
Saya teringat pembicaraan di
grup BBM saya dengan mantan teman-teman kuliah. Ada yang bertanya :
“sebenarnya, kalau harga BBM naik, siapa sih yang diuntungkan?”. Lalu
seorang teman menjawab : “yang beruntung ya orang yang selalu
bersyukur”. Benar! Sebab hanya orang yang pandai bersyukur yang bisa
merasa “cukup” dalam segala hal. Ia merasa cukup dengan BB lawas type
paling sederhana dan tak merasa perlu memburu BB type terbaru, jika
memang uang untuk membeli belum cukup. Sebab standar “cukup” atau
tidaknya hanya kita sendiri yang bisa menentukan.
Gaji saya tentu tak akan cukup
kalau saya berpatokan sepatu dan tas saya harus yang ber-merk, meski itu
hanya barang “KW” alias aspal! Tapi tentu cukup kalau saya membeli
sesuai dengan kemampuan saya. Saya akan merasa “miskin” kalau saya
melihat teman-teman saya yang sudah sukses dalam karir atau bisnisnya.
Tapi saya akan merasa “kaya” ketika tiap hari saya temukan begitu banyak
orang bergelut dengan sampah hanya demi bertahan hidup.
Saya ingat setahun lalu ada
konser Justin Bieber yang harga tiket termurahnya saja Rp. 1,5 juta,
panitia menyediakan 10.000 lembar tiket ludes terjual habis, meski ada
tiket yang harganya Rp. 5 juta. Kalau diasumsikan dengan harga tiket
termurah, setidaknya 15 milyar habis dalam tempo beberapa jam. Padahal,
kalau diadakan malam amal untuk membantu orang miskin, cacat, sakit,
anak-anak putus sekolah, dll, rasanya sulit dibayangkan bisa terkumpul
15 milyar dalam tempo semalam. Anak-anak ABG saat itu rela tidak jajan
dan menabungkan uang sakunya 3 bulan demi terbeli tiket konser Justin
Bieber. Apa kira-kira mereka rela menabung selama itu untuk membayar
biaya bimbel atau membeli buku? Tentu tidak, sebab mereka beranggapan
itu kewajiban ortunya.
Beberapa waktu lalu, saya nonton
berita di TV, puluhan orang menggugat sebuah travel biro umroh
abal-abal karena telah menipu mereka. Travel biro ini menawarkan paket
umroh seharga Rp. 6 juta padahal travel biro lainnya rata-rata paket
termurah biayanya Rp. 16 juta. Akhirnya, uang Rp. 6 juta sudah
disetorkan, tapi mereka tak kunjung diberangkatkan. Ternyata, bahkan
untuk urusan ibadah pun pilih “ngirit” dengan paket hemat meski harganya
tak masuk akal. Banyak sekali kasus penipuan dengan berbagai macam
iming-iming, tapi modusnya sama : menawarkan sesuatu dengan harga
kelewat murah atau menawarkan investasi dengan keuntungan besar dalam
tempo singkat dan tanpa susah payah. Yang seperti ini menjamur di
Indonesia dan seperti mendapat lahan yang subur. Kenapa?! Sekali lagi
karena banyak masyarakat kita yang mentalitasnya seperti itu : mau irit,
mau kaya cara kilat, mau dapat untung besar instant, tanpas susah
payah.
Itulah potret sebagian dari
mentalitas bangsa kita. Mungkin inilah sebabnya meski kita sudah merdeka
66 tahun, tetap saja tidak bisa jadi negara kaya. Mentalitas sebagian
bangsanya, sejak remaja hingga dewasa memang masih “miskin”. Demi
sesuatu yang sifatnya konsumtif dan kesenangan, mereka rela bersusah
payah. Tapi kalau ada sesuatu yang sifatnya “bantuan”, mereka rela
berpura-pura tak berpunya agar kebagian. Sebagian besar bangsa ini masih
lebih suka menadahkan tangan, masih lebih suka memposisikan diri
sebagai “tangan di bawah”. Banyaknya jumlah pengemis yang membanjiri
kota-kota besar, tidak berarti di kampung tak ada pekerjaan. Tapi lebih
karena alasan lebih bisa jadi kaya dengan mengemis di kota besar,
ketimbang susah payah mencangkul sawah di kampung. Saya kuatir, suatu
saat ada orang kaya yang merasa berhak atas raskin (beras miskin) hanya
karena dirinya bagian dari rakyat juga. Duuh.., bangsaku!
catatan ira oemar freedom writers kompasianers