Hari-hari kita disuguhkan berita yang mengharubirukan perasaan kita. Derita rakyat Palestina di Gaza yang dibombardir tentara Israel. Semua media meliputnya.
Semua perhatian fokus ke Palestina. Bangsa Indonesia termasuk yang sangat tergugah.
Demonstrasi di mana-mana. Kutukan kepada Israel disemburkan di setiap kesempatan.
Tak sungkan muslim Indonesia berbondong-bondong bersedia menjadi sukarelawan, bantuan pun mengalir untuk rakyat Palestina.
Perasaan prihatin, marah melihat pembantaian, kemauan menolong sesama adalah sesuatu yang mulia. Tidak ada yang salah dengan perasaan sedih melihat suatu tragedi. Bagaimanapun kita tetap manusia.
Tapi …
Di bulan Mei 2008, AFP memberitakan penelitian yang dilakukan World Church Service yang mengungkapkan prosentase kasus malnutrisi di Timor Barat/NTT, bahkan lebih tinggi daripada di Afrika. Survei yang dilakukan terhadap 4,800 rumah tangga, 61.1 persen balita menderita gizi buruk yang kronis, bahkan 13.1 persen sudah dalam tahap akut. Berita Kompas Juni 2009 lalu berdasarkan catatan Dinas Kesehatan NTT, di propinsi itu anak yang mengalami gangguan gizi buruk akut dan kronis hingga busung lapar mencapai 66.685 orang.
Sekitar 55% persen anak di Timor Barat/NTT, dari populasi 2 juta mengalami kurang berat badan dibandingkan dengan angka untuk benua Afrika secara keseluruhan, yaitu 21.9%.
Saya yakin banyak yang tidak tahu kenyataan yang memilukan ini. Kita heran mengapa tidak ada yang marah, tidak ada yang demontrasi, tidak ada yang mengorganisir pengumpulan dana secara besar-besaran. tidak ada yang mengutuk pemerintah yang gagal mengurus rakyat di depan matanya sendiri.
Lebih jauh lagi 80 juta orang masih hidup masih di bawah garis kemiskinan. Setengah dari 235 juta orang hidup dengan penghasilan di bawah 2 dolar sehari.
Semua ini merupakan medan jihad. Semua ini benar-benar masalah besar. Semua ini menuntut demonstrasi, kutukan bagi pemerintah kita. Karena kemiskinan akan melahirkan semua keburukan yang ada di dunia ini.
Mengapa kita bisa begitu tergugah untuk peristiwa yang jauh di mata sehingga menjadi dekat di hati, sementara peristiwa penting di depan mata bisa lolos dari perhatian kita?
catatan aida ces the indonesian freedom writers