Memasuki tibanya bulan Ramadhan, yang paling heboh
tentu kaum Ibu. Sebagai “menteri keuangan” ibu rumah tangga paling
pusing mengelola isi dompet agar tak jebol sebelum waktunya. Maklumlah,
APBD (anggaran pendapatan dan belanja dapur) jatahnya tak nambah, tapi
harga-harga kebutuhan dapur semuanya melonjak naik. Masih mending kalau
hanya harga saja yang naik, tapi jumlah kebutuhan bisa dikurangi,
mungkin isi dompet masih bisa akur sampai akhir bulan. Sayangnya, beban
“menteri keuangan” kian pelik, sebab di bulan Ramadhan, kebutuhan
sehari-hari ragamnya makin banyak dan jumlahnya pun membengkak. Alhasil,
beban pengeluaran rumah tangga pun jadi naik kwadrat.
Lho kok bisa?! Bukannya bulan puasa seharusnya
malah berkurang?! Logikanya sederhana aja : biasanya sehari makan 3x,
selama sebulan cuma makan 2x sehari. Biasanya diantar waktu makan,
selalu ada godaan untuk nyemil – entah menjelang siang atau jelang sore –
kalau bulan puasa anggaran cemilan seharusnya praktis bisa ditiadakan.
Itu sih logikanya, tapi prakteknya tak begitu. Nah, pasti ada yang salah
dalam mengimplkementasikan.
Begitulah “kodrat”nya pasar : makin banyak “demand” sedang “supply”
tetap, maka harga pasti naik. Apalagi kalau ada yang nakal dengan
menahan stock sehingga seolah-olah pasokan barang tersendat. Maka
lengkap sudah alasan untuk menaikkan harga. Masalahnya, yang bikin
naiknya demand itu justru konsumen itu sendiri. Ironisnya,
frekwensi makan yang jelas-jelas berkurang di bulan Ramadhan, tak
dibarengi dengan jumlah kebutuhan makanan. Sebenarnya, ini terjadi
karena perubahan pola makan dan gaya hidup mendadak selama Ramadhan.
Tetangga saya dulu, tipa bulan Ramadhan “wajib”
menyediakan es jelang buka puasa. Padahal, waktu itu mereka belum punya
lemari es. Jadilah setiap sore harus selalu beli es batu. Itu baru es
batunya saja, belum pelengkapnya : sirup, cincau, buah, kelapa muda,
de-el-el. Bukankah itu semua membutuhkan anggaran tersendiri? Makanan
utama pun begitu. Kalau di hari biasa ibu rumah tangga masak seadanya,
maka di bulan Ramadhan memasak sedikit ekstra menunya, baik ragam maupun
jumlahnya. Kalau biasanya cuma tersedia 1 macam lauk, 1 macam sayuran, 1
macam gorengan (tahu, tempe, dan sejenisnya), kalau Ramadhan variasi
lauknya lebih beragam. Alasannya supaya makan jadi lebih berselera.
Jadi, tentu tak heran kalau kebutuhan belanja meningkat.
Belum lagi takjil. Seolah ini jadi kewajiban
tersendiri yang harus selalu ada. Keluarga yang biasanya tak pernah
menyediakan makanan ringan/snack, kalau Ramadhan “ngoyo” mengadakan.
Tambahan lagi, pemahaman seolah ada sunnah “berbukalah dengan yang manis”
membuat keluarga di Indonesia umumnya menyediakan makanan/minuman manis
sebagai pembuka puasa, semisal kolak atau es sirup. Padahal, sebenarnya
itu “nyanyian nina bobok” dari produsen teh manis kemasan dan sirup.
Sebenarnya pemahaman “berbukalah dengan yang manis”
yang entah dari mana asal muasalnya lalu dianggap sunnah itu berasal
dari kebiasaan Rasulullah Muhammad SAW yang berbuka puasa dengan segelas
air dan 3 biji kurma. Karena buah kurma rasanya manis, lalu orang
beranggapan kita disunnahkan berbuka dengan yang manis. Padahal, kenapa
kurma yang dikonsumsi, sebab kurma itu mengandung multinutrisi.
Diantaranya glukosa dan fruktosa, karbohidrat,
protein, lemak, energi, vitamin A, B6 dan C, zat besi, kalsium,
magnesium dan berbagai senyawa polifenol serta flavonoid yang berfungsi
sebagai antioksidan, oksitosin, dan sejenis hormon. Jadi sesungguhnya
kurma dipilih karena kandungan kalorinya sangat tinggi dan bebas
kolesterol. Sehingga, dengan berbuka buah kurma cukup 3 biji saja dan
minum air putih, diharapkan kebutuhan kalori dan energi yang seharian
tidak dipasok, bisa langsung tergantikan. Sama sekali BUKAN karena
alasan kurma itu MANIS rasanya. Apalagi akhir-akhir ini ada sebuah
produk minuman kemasan dari air kelapa yang membuat iklan khusus jelang
Ramadhan, dengan mengkalim kandungan nutrisi buah kelapa sama dengan
kurma.
Kalau begitu, apa yang bisa dilakukan kaum ibu
untuk mengerem laju kebocoran ‘APBD” domestiknya? Satu-satunya jalan
adalah dengan tidak mengubah gaya dan pola konsumsi makan keluarga.
Kalau biasanya tiap hari tak pernah bikin es buah dan kue-kue, ya tak
perlu mengada-ada. Mungkin cukup teh manis seperti yang biasa tersedia
sehari-hari. Bolehlah mengikuti sunnah Rasul dengan memakan 3 biji kurma
saat berbuka, mungkin 1 – 2 kg kurma sudah cukup untuk keperluan
sekeluarga selama sebulan. Begitu pula lauk pauk teman makan nasi. Kalau
biasa makan seadanya, tak perlu mengada-ada dengan menambah porsi dan
ragam menu. Sebenarnya, yang membuat Ramadhan terasa berat itu karena “ngoyo” dalam “mengada-ada”. Bukankah hakikat puasa justru menahan diri dan mengekang hawa nafsu, termasuk nafsu mengkonsumsi makanan. Jadi, menahan
nafsu makan di siang hari tak seharusnya dilampiaskan pada saat berbuka
atau “membekali” perut berlebihan saat makan sahur.
Memang, kenaikan harga tak bisa dihindari. Sebagai
konsumen, terpaksa menurut saja pada harga yang ditetapkan penjual. Tapi
dengan mengerem pola makan dan gaya konsumsi dengan tidak mengada-ada,
beban “APBD” tidak meningkat kwadrat. Lalu bagaimana kalau peningkatan
volume konsumsi tak bisa dihindari? Misalnya untuk berbagi dan menyambut
kedatangan sanak keluarga menjelang dan selama lebaran yang menginap di
rumah kita? Seperti miisalnya anda punya kebiasaan menyediakan makanan
buka puasa untuk dibagikan pada sesama yang kebetulan kekurangan atau
untuk buka puasa bersama dengan anak-anak yatim. Tentu niat mulia ini
tak boleh terhalang atau dikurangi karena kenaikan harga. Tapi perlu
disiasati, agar jumlah yang kita bagi bisa lebih banyak dengan anggaran
yang sama. Bagaimana mensiasatinya?
Mencoba mencari alternatif tempat belanja yang lebih murah dengan kualitas yang sama. Sebagai contoh, saya terbiasa berbelanja bulanan di sebuah hypermarket
di mall. Ini demi kepraktisan dan kenyamanan berbelanja, toh kebutuhan
belanja bulanan saya tak terlalu banyak jumlahnya. Semisal beras, untuk
sebulan saya cukup membeli beras 10 kg saja dan gula cukup 2 kg. Selama
ini, beras kemasan 5 kg yang per kantongnya dibandrol dengan harga
sekitar Rp. 67.000,00 tak terasa terlalu mahal. Tapi ketika kemarin saya
coba mengkalkulasi kebutuhan beras untuk sekian kali buka puasa
dikalikan sekian porsi nasi bungkus, jadi terasa berat dan anggaran yang
saya alokasikan jadi tak cukup. Maka saya pun harus putar otak, tanpa
mengurangi kualitas. Artinya, saya harus cari beras yang kualitasnya
sama dengan yang saya makan sehari-hari, tapi harga lebih murah.
Kenapa begitu? Rasulullah pernah berkata agar jangan memberikan makanan yang tak kita sukai pada orang lain. Itu sebabnya, beras zakat fitrah haruslah beras dengan kualitas yang sama dengan yang kita makan sehari-hari. Jadi kalau
terbiasa makan beras punel dan wangi, jangan sampai membayarkan zakat
fitrah atau fidyah atau memberi makan buka puasa dengan beras raskin
atau beras kualitas rendah yang keras, kusam dan sedikit berbau.
Nah, kembali ke topik, maka saya pun coba cari
alternatif dimana bisa membeli beras dengan kualitas sama tapi harga
yang lebih murah. Saya coba ke pasar tradisional dan mencari kios agen
beras, BUKAN pedagang pengecer. Sebelum memutuskan membeli beras yang
mana, saya teliti dulu buliran berasnya, sebab beras kualitas bagus dan
rendah tentu berbeda secara kasat mata. Untuk meyakinkan, saya tanya
kepada pemilik kios, apa jenis beras dan kualitasnya. Kebetulan di agen
yang saya datangi harga termahal dipatok pada Rp. 9.000,00. Saya pun
mencoba membeli 2 jenis beras yang sama harganya tapi beda jenis –
Pandan Wangi dan Cianjur – dalam jumlah tak terlalu banyak.
Besoknya
langsung saya tanak, selama 2 hari berturut-turut saya coba 2 jenis
beras itu. Sungguh di luar dugaan, karena ternyata kedua beras yang
harganya cuma Rp. 9.000,00/kg ini jauh lebih enak, punel, lunak dan
wangi ketimbang beras yang saya beli di hypermarket yang jatuhnya lebih dari Rp. 13.000,00/kg. Padahal, jelang Ramadhan begini harga beras di hypermarket pasti naik.
Nah, dengan mencari alternatif tempat belanja yang
lebih murah, saya bisa berbelanja dalam jumlah besar, tanpa mengurangi
kualitas dan yang lebih penting lagi budget saya masih
mencukupi. Bukan hanya beras, kebutuhan dapur lain yang tingkat
kebutuhannya cukup banyak selama bulan Ramadhan dan menyambut Idul Fitri
bisa kita beli dalam jumlah besar sekaligus di pedagang tingkat agen di
pasar tradisional. Misalnya gula, minyak goreng dan telur. Khusus telur
mungkin perlu dipertimbangkan penyimpanannya. Sebab jika lemari
pendingin anda tak cukup besar, bisa jadi malah busuk. Perlu juga
diperhatikan, telur masih dalam kondisi baik atau sudah ada yang retak.
Kalau anda berniat membuat kue-kue lebaran sendiri,
ada baiknya membeli tepung, mentega, dan aneka bahan kue lainnya di
toko khusus penjual bahan kue, yang menjual dalam jumlah besar dan
memiliki stock cukup banyak. Ini pengalaman saya ketika tahun-tahun
2000-an dulu berbisnis jualan kue kering lebaran dan terima pesanan
aneka cake untuk buka puasa. Di toko khusus grosir bahan kue semacam
ini, semua jenis tepung yang berbeda kandungan glutennya – terigu cakra,
kunci atau segitiga – sesuai jenis kue yang akan dibuat, pasti
tersedia. Beda harga per kilogramnya bisa cukup jauh. Apalagi kalau kita
membeli dalam jumlah banyak, terasa sekali selisihnya.
Untuk anda yang anggota keluarga serumah cukup
banyak, apalagi jika ada anak-anak usia pertumbuhan yang konsumsi
makannya cukup banyak, usahakan untuk memasak sendir dan tak
mengandalkan makanan beli. Kenapa begitu? Karena selain irit, juga lebih
terjamin higiene dan kesehatannya. Makanan matang yang banyak dijual di
pasar-pasar lebaran, kalau pun harganya terkesan murah, tapi bisa jadi
banyak menggunakan pengawet atau penyedap dan bahan tambahan lainnya
yang tidak disarankan dari segi kesehatan. Begitupun untuk makanan
gorengan, bisa dipastikan minyaknya adalah minyak goreng curah yang
kualitasnya kurang baik.
Bagaimana pun pedagang tentunya ingin untung
banyak di saat mereka butuh uang banyak untuk bekal mudik lebaran. Kalau
membeli di restoran yang bagus, rasanya enak dan kualitas masakannya
baik, tentu anda harus merogoh kocek lebih dalam lagi, sebab mengikuti
hukum pasar, umunya bisnis seperti ini juga menaikkan harga atau
mengurangi porsi.
Kenaikan harga kebutuhan dapur memang tak bisa
dihindari. Yang bisa diatur dan dikendalikan adalah pola dan gaya
konsumsi agar tak berubah drastis saat Ramadhan yang berakibat
membengkaknya pengeluaran. Kalau kenaikan kebutuhan memang benar-benar
perlu, yang harus dilakukan adalah mensiasati belanja, dengan mencari
alternatif tempat belanja murah, kualitas bagus dan membeli dalam jumlah
banyak sekaligus untuk mengantisipasi fluktuasi harga yang makin
menggila mendekati lebaran. Selamat mengatur “APBD” domestik anda,
semoga tak jebol sehingga Ramadhan benar-benar terasa barokahnya..
catatan ira oemar freedom writers kompasianer