Menteri BUMN yang selalu penuh
ide segar dan gebrakan baru, Dahlan Iskan, rupanya akhir-akhir ini
sedang berupaya mengapresiasi pekerja wanita di BUMN. Entah apa
alasannya, Dahlan menilai wanita dianggap sosok yang mampu meningkatkan
kinerja BUMN. Peran wanita dinilai mampu menyinkronkan
pemikiran-pemikiran feminin. Itu sebabnya Dahlan galau jika banyak
wanita mengundurkan diri dari BUMN karena melahirkan anak. Ia
menilai biasanya perempuan yang baru memiliki anak secara tidak langsung
fokus untuk mengurus anaknya dan berhenti bekerja. Seperti yang dikutip
Kantor Berita Antara.
Dahlan menghimbau agar BUMN menyediakan ruang perawatan bayi.
Gerakan ini untuk mempertahankan kinerja perusahaan supaya perempuan
yang memiliki bayi dan bekerja di BUMN bisa terus bekerja sembari
mengurus anak. (Sumber : Antara-1). Selain itu, Dahlan juga mempertimbangkan agar wanita karir yang bekerja di BUMN bisa mendapat cuti hamil selama 1 hingga 2 tahun, namun tanggungan sendiri. (Sumber : Antara-2).
Bagi anda yang belum mengetahui apa makna “tanggungan sendiri”, ada baiknya saya jelaskan agar tak menimbulkan miss-perception. Cuti Diluar Tanggungan Perusahaan (CDTP) adalah
cuti yang dimungkinkan diberikan kepada pekerja karena beberapa alasan
khusus. Cuti semacam ini diberikan kepada pekerja dengan beberapa
persyaratan khusus. Misalnya telah bekerja di perusahaan tersebut selama
kurun waktu tertentu – umumnya minimal 3 sampai 5 tahun terus menerus –
dengan kondite yang tidak tercela dan prestasi kerja yang baik. Pekerja
diperbolehkan cuti untuk jangka waktu yang cukup panjang, tetapi selama
cuti perusahaan tidak membayarkan hak-haknya (meliputi gaji dan
berbgaai tunjangan, termasuk tidak membayarkan premi Jamsostek, asuransi
kesehatan dan iuran/premi dana pensiun).
Tidak sembarangan cuti ini
diberikan. Alasannya haruslah tepat. Misalnya seorang pekerja wanita
yang harus mengikuti suaminya yang pindah tugas ke kota/wilayah lain
selama jangka waktu tertentu dan dipastikan akan kembali ke kota itu
setelah penugasannya selesai. Atau seorang wanita yang hamil dan oleh
dokter yang berkompeten dinyatakan mengalami “lemah kandungan” sehingga
selama hamil harus bed rest total, maka cuti hamil dan
melahirkan yang hanya 3 bulan tak akan mampu menutupi kebutuhan
istirahatnya, maka istirahat bed rest selama hamil itu bisa dikompensasi
menjadi CDTP. Atau seorang pekerja yang terpaksa harus merawat orang
tuanya yang sakit parah dan dirawat di RS – ini salah satu syarat, sebab
jika hanya di rawat di rumah sendiri, tidak bisa diajukan CDTP – boleh
meminta ijin untuk CDTP.
Atau alasan lain, misalnya
karena pekerja tersebut mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan
dari lembaga lain (bukan perusahaan tempatnya bekerja), dimana tempat
pendidikannya berada di kota lain atau bahkan di luar negeri, dia bisa
mengajukan CDTP. Termasuk juga melanjutkan pendidikan atas biaya
sendiri. Umumnya, CDTP ini berlaku di BUMN dan tidak di perusahaan
swasta. Dikabulkan atau tidaknya permohonan CDTP sepenuhnya menjadi hak prerogatif perusahaan.
Karena itu HRD harus punya “intel” untuk menelisik kebenaran alasannya. Saya pernah merekomendasikan Direktur kami untuk menolak permohonan CDTP dari seorang pekerja, karena kebetulan saya tahu alasannya untuk melanjutkan pendidikan hanya akal-akalan untuk mencari kerja di tempat lain, disamping itu saya memiliki banyak bukti dan catatan tentang track record disiplin dan kinerja karyawan tersebut yang amburadul.
Karena itu HRD harus punya “intel” untuk menelisik kebenaran alasannya. Saya pernah merekomendasikan Direktur kami untuk menolak permohonan CDTP dari seorang pekerja, karena kebetulan saya tahu alasannya untuk melanjutkan pendidikan hanya akal-akalan untuk mencari kerja di tempat lain, disamping itu saya memiliki banyak bukti dan catatan tentang track record disiplin dan kinerja karyawan tersebut yang amburadul.
Nah, kembali ke topik : cuti
hamil 1 – 2 tahun bagi wanita karir di BUMN dengan tanggungan sendiri.
Benarkah seserius itu sudah diperlukan? Kalau ia, sudah tepatkah
diimplementasikan di negara kita yang mentalitas pekerjanya masih jauh
dari negara lain yang memberikan previlege serupa? Mari kita kaji satu persatu.
Pengalaman saya bekerja di BUMN
selama 17 tahun kurang 2 bulan dan sebagian besar saya habiskan di
Divisi HRD, sepengetahuan saya sangat jarang karyawati yang mengundurkan
diri usai melahirkan. Bahwa kemudian kinerja mereka menurun selama
periode anaknya usia 0 -2 tahun, memang banyak yang begitu, sebab pada
kurun waktu itu si bayi sering sakit dan biasanya ibunya kerap
mengajukan cuti, bahkan sampai melebihi hak cuti tahunan yang hanya 12
hari. Bagi sebagian orang, bekerja di BUMN masih jauh lebih enak
ketimbang di swasta, itu sebabnya tak mudah memutuskan berhenti hanya
dengan alasan punya bayi.
Sebenarnya, cuti hamil yang dijamin oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan selama 3 bulan itu mencakup cuti hamil dan melahirkan.
Yaitu 1,5 bulan sebelum waktu melahirkan sesuai prediksi dokter dan 1,5
bulan pasca tanggal kelahiran. DI BUMN tempat saya bekerja dulu, aturan
ini benar-benar dipatuhi. Tapi saya tahu di banyak perusahaan aturan
ini diterapkan suka-suka. Banyak pekerja wanita yang baru mengambil cuti
seminggu sebelum melahirkan atau bahkan 3 hari sebelum tanggal
kelahiran. Alasannya supaya lebih lama mengurus bayinya. Padahal,
filosofi dari cuti hamil dan melahirkan adalah memberikan istirahat yang
cukup bagi wanita yang hamil tua. Bukankah wanita yang hamil 8 bulan
sudah sangat kepayahan untuk dipaksa bekerja? Sayangnya, maksud baik ini
justru di-salah kaprah-kan oleh kaum wanita sendiri.
Lalu bagaimana dengan usulan Pak
DI untuk memberikan cuti hamil antara 1 – 2 tahun, meski dengan
tanggungan sendiri? Apakah cukup efektif? Lalu bagaimana kalau setelah
menjalani CDTP selama 2 tahun, kemudian kembali bekerja dan setahun
kemudian hamil lagi anak berikutnya? Kalau hal ini terulang sampai anak
ke-3, apakah pemberian CDTP ini bukannya malah menjadi kemanjaan dan
justru tidak memicu kinerja?
Sebagai pembanding, saya akan berikan gambaran di Jepang. Sistem
perundangan di Jepang sangat melindungi hak-hak wanita bekerja. Sejak
April 1986 ada UU Kesetaraan Hak antara Pria dan Wanita dalam bekerja (Equal Employment Opportunity Law).
Kebanyakan perusahaan Jepang merekrut pekerja wanita dalam suatu sistem
yang terpisah dan menugaskan mereka sebagai asisten bagi pekerja pria.
Sebab banyak pekerja wanita yang kemudian keluar/ berhenti bekerja
selama beberapa tahun karena alasan menikah atau karena beberpa sebab
lain.
Sebenarnya wanita bekerja di Jepang mendapat berbagai macam previlege yang tidak didapat pekerja pria. Begitu dinyatakan hamil oleh dokter, seorang pekerja wanita berhak atas ”diskon” jam kerja tanpa pengurangan upah sedikitpun. Diskon yang saya maksud : mereka boleh berangkat dari rumah selepas rush hour, karena naik kereta pada saat rush hour memang membahayakan bagi wanita hamil. Jadi kalau rush hour
berakhir jam 9.00 sementara perjalanan dari rumah ke kantor butuh waktu
2 jam, maka wanita tersebut boleh tiba di kantor setelah jam 11.00.
Pulangnya pun bisa 2 jam lebih awal agar tak terjebak rush hour petang harinya.
Cuti hamilnya sampai 6 bulan.
Bahkan kalau sang bayi membutuhkan perawatan khusus, si Ibu bisa cuti
sampai bayinya berumur setahun. Wanita yang memiliki anak usia balita,
bisa mendapatkan berbagai macam hak cuti lainnya. Juga hak cuti untuk mendampingi anaknya memulai masuk sekolah pada saat si anak berusia 6 tahun.
Bahkan di Jepang pun dikenal istilah cuti untuk merawat orang tua yang
sudah lansia dan menderita sakit. Semuanya itu diberikan tanpa
mengurangi gaji dan tunjangan lainnya. Wah, enak sekali ya jadi wanita
bekerja di Jepang. Tapi kenapa mereka enggan memanfaatkannya dan justru
memilih resign?
Pada salah satu kesempatan kuliah
tamu di sekolah saya, diundang praktisi HRD dari perbankan. Seorang
teman saya bertanya : di negara lain umumnya pekerja bank didominasi
wanita, kenapa di Jepang tidak? Manager HRD itu menjawab : umumnya
wanita Jepang ”malu hati” dengan sendirinya kalau dimanjakan begitu.
Mereka ”sungkan” menerima banyak hak istimewa, sementara kontribusinya
tak lebih banyak dibanding pekerja pria. Tak ada yang menyuruh mereka
keluar, tapi para wanita itu sendiri yang memilih mengundurkan diri,
karena tahu diri bakal sering tidak masuk. Bahkan walaupun pihak
perusahaan bersedia menerimanya kembali bekerja setelah melahirkan, mereka lebih memilih kembali bekerja setelah anak-anaknya bisa mandiri. Meski konsekwensinya hanya mendapatkan pekerjaan paruh waktu (part time) atau jadi pekerja kontrak saja.
Jadi selain faktor budaya dalam keluarga Jepang yang menempatkan ”wanita kodratnya melayani keluarga”, juga ada budaya ”malu” menerima hak lebih banyak kalau sekiranya tak bisa memberikan kontribusi lebih banyak.
Jumlah wanita bekerja terbanyak ditempati oleh kelompok usia 25 -29
tahun, yang pada tahun 1975 hanya 42,6%, pada tahun 2003 telah meningkat
menjadi 73,4%. Ini prosentase tertinggi dalam tingkat partisipasi
wanita bekerja di semua kelompok umur. Bila dicermati, pada usia
tersebut, seorang wanita telah menyelesaikan pendidikannya sampai
tingkat sarjana dan umumnya mereka belum memasuki usia pernikahan bagi
wanita Jepang modern.
Prosentase tersebut terus
mengalami penurunan pada wanita kelompok usia 30 tahun ke atas dan
grafiknya baru meningkat lagi pada kelompok usia 40 – 44 tahun (70,3%)
dan kelompok usia 45 – 49 tahun (72,5%). Apabila rata-rata wanita Jepang
modern baru memasuki gerbang rumah tangga pada usia 30 tahun, maka pada
usia 45 tahunan anak-anak mereka sudah memasuki usia remaja dan sudah
relatif mandiri, sehingga si ibu merasa aman untuk meninggalkan rumahnya
dan kembali bekerja. Bahkan prosentase jumlah wanita paruh baya (di
atas 50 tahun) yang bekerja jumlahnya mencapai 58,9%. Jumlah ini hampir
sama dibanding prosentase rata-rata wanita bekerja di usia 30 – 39 tahun
yang hanya berkisar 60%-an saja.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa stereotype
peran ibu sebagai “pengatur rumah tangga” dan tempatnya di dalam rumah,
masih belum sepenuhnya pupus dalam norma keluarga Jepang modern.
Meskipun banyak wanita Jepang sudah mengenyam pendidikan modern sampai
tingkat pendidikan tinggi, namun berdasarkan data “Employment Status Survey” yang dikeluarkan oleh Ministry of Public Management. Home Affairs. Post and Telecommunications, menunjukkan komposisi wanita bekerja yang lulusan sarjana dan pasca sarjana hanya 12,3%. Hal ini jauh lebih kecil dibanding wanita lulusan sekolah diploma atau sekolah keahlian lainnya, yaitu 26,9%. Bahkan akan lebih kecil lagi bila dibandingkan dengan wanita bekerja lulusan SMA dan sederajat yang jumlahnya mencapai 48,4%.
Bandingkan dengan komposisi pekerja pria yang lulusan sarjana dan pasca
sarjana angkanya mencapai 31,5% - hampir 3 kali lipat prosentase
pekerja wanita untuk tingkat pendidikan yang sama.
Dari fakta ini bisa disimpulkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan wanita Jepang, tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan menekuni karirnya di dunia kerja.
Sebab umumnya mereka yang menyelesaikan studinya sampai jenjang sarjana
dan pasca sarjana, maka tak lama kemudian mereka akan memasuki gebang
pernikahan, yang menuntut mereka menjadi ibu rumah tangga. Sedangkan
wanita lulusan SMA masih punya peluang lebih panjang untuk bekerja
sebelum mereka menikah.
Jika aturan semacam di Jepang
diberlakukan di Indonesia – artinya wanita hamil dan melahirkan serta
merawat anak mendapat begitu banyak previlege – apakah ada jaminan
aturan itu tak diakali dan justru disalahgunakan? Misalnya, selama kurun
waktu itu justru cari kerja sambilan dan niat untuk memberikan cuti
agar fokus mengurus anak justru terabaikan. Masalahnya, mentalitas
bangsa kita masih belum seperti bangsa Jepang yang tingkat rasa
“malu”nya tinggi. Rasa malu itulah yang kemudian membuat mereka tahu
diri untuk mundur meski diberi keistimewaan.
Ketimbang memberikan cuti sampai 1 -2 tahun, meski sifatnya CDTP, untuk saat ini saya lebih memilih mengusulkan agar BUMN membuka kesempatan bagi wanita usia di atas 35 tahun untuk kembali bekerja, melalui jalur rekrutmen.
Jadi mereka yang memilih mengundurkan diri pasca melahirkan, silakan saja. Biarkan mereka fokus dan konsentrasi dulu mengurus anaknya. Bahkan kalau mau hamil lagi pun tak masalah. Kelak jika anak-anaknya sudah sekolah dan mereka tak merencanakan punya anak lagi, baru kembali melamar kerja. Selama bisa lulus tes kompetensi dan pengalaman kerja mereka di waktu lalu dinilai cukup menunjang, kenapa tidak? Menerima pekerja wanita melalui sistem rekrutmen yang fair, lebih tidak menimbulkan kecemburuan di kalangan pekerja, ketimbang memberikan hak istimewa cuti sampai 1 – 2 tahun. Semoga Pak Dahlan mempertimbangkan banyak faktor sebelum menjalankan gagasannya, termasuk masalah mentalitas.
Jadi mereka yang memilih mengundurkan diri pasca melahirkan, silakan saja. Biarkan mereka fokus dan konsentrasi dulu mengurus anaknya. Bahkan kalau mau hamil lagi pun tak masalah. Kelak jika anak-anaknya sudah sekolah dan mereka tak merencanakan punya anak lagi, baru kembali melamar kerja. Selama bisa lulus tes kompetensi dan pengalaman kerja mereka di waktu lalu dinilai cukup menunjang, kenapa tidak? Menerima pekerja wanita melalui sistem rekrutmen yang fair, lebih tidak menimbulkan kecemburuan di kalangan pekerja, ketimbang memberikan hak istimewa cuti sampai 1 – 2 tahun. Semoga Pak Dahlan mempertimbangkan banyak faktor sebelum menjalankan gagasannya, termasuk masalah mentalitas.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer