Pada bagian – 1
saya sudah menuliskan tentang kronologis asal mula terjadinya semburan
dan bahwa semburan itu bukanlah akibat dari bencana alam, namum
kesalahan pengeboran yang lalai dalam memasang casing / selubung mata bor. Kali ini saya akan lanjutkan merangkum buku terbitan KOMPAS, berjudul “BANJIR LUMPUR BANJIR JANJI – Guagatan Masyarakat dalam Kasus Lapindo”, yang terbit pada Oktober 2007.
DARI KELALAIAN MEMASANG CASING HINGGA VOLUME SEMBURAN YANG “DISEMBUNYIKAN”
Menurut keterangan sejumlah mekanik penambangan PT. Tiga Musim Masa Jaya (TMMJ), perusahaan subkontrak penambangan, semburan (blow out)
lumpur diawali 27 Mei 2006 sekitar pukul 07.00. Saat itu lumpur buatan
untuk melindungi mata bor sekaligus untuk memudahkan proses pengeboran (oil base mud) hilang atau loss. Keesokan harinya, dilakukan injeksi oil base mud, namun bor yang ditarik ke atas macet (stuck) pada kedalaman 4.241 kaki. Pada 29 Mei, sekitar pukul 02.00, Free Pipe Indicator
mencatat hidrogen sulfida (H2S) 3,5 ppm menyembur ke permukaan.
“Sekitar pukul 05.00, lumpur dan gas akhirnya menyembur sekitar 100
meter dari sumur”, kata seorang mekanik.
Berulang kali, baik Badan
Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas)maupun Lapindo Brantas
Incorporation (LBI) menyatakan segala sesuatu telah berjalan sesuai
prosedur. Termasuk salah satunya saat pemasangan selubung atau casing. Pada sumur Banjar Panji 1, casing terakhir dipasang pada kedalaman 3.850 kaki. Sekedar catatan, kedalaman terakhir sumur adalah 9.297 kaki. Artinya : dinding sumur tak ber-casing sepanjang 5.447 kaki!
Penasihat Tim Penghentian Lumpur dari ITB, Rudy Rubiandini, menyatakan pemasangan casing tidak berlaku mutlak dalam penambangan. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
PT. Medco Energy (pemegang 32% saham) pada 18 Mei 2006 sempat
merekomendasikan agar LBI memasang casing pada kedalaman 8.500 kaki.
Alasannya : untuk menghindari potensi persoalan di dalam sumur (potential down hole problems). Artinya : Medco Energy telah melihat potensi persoalan apabila tidak dipasang casing.
Kedua,
menurut sejumlah pakar, antara lain geolog dari Universitas 17 Agustus
Surabaya, Soffian Hadi, wilayah Porong termasuk daerah patahan aktif
Artinya formasi tanah memiliki tekanan abnormal. Karenanya kegiatan
penambangan harus dilakukan dengan hati-hati, salah satunya pemasangan casing. Casing pada hakikatnya adalah salah satu alat pengamanan sumur.
Selama ini, baik BP Migas maupun
LBI selalu menghindar bila ditanya luasan hamparan fluida yang
menyembur. Menurut informasi, luasan hamparan fluida tersebut
diperkirakan membentang 25 x 30 kilometer membujur arah timur laut.
Demi tidak meresahkan
masyarakat, GM PT. Lapindo Brantas, Imam Agustino awalnya menyatakan
volume semburan lumpur hanya 5.000 meter kubik per hari. Padahal, kajian
dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menyebutkan volumenya mencapai 50.000 meter kubik per hari! Setelah
“bernegosiasi” dengan tujuan “tidak meresahkan masyarakat”, akhirnya
“disepakati” angka yang keluar ke masyarakat ternasuk media adalah
25.000 meter kubik per hari. (hal. 48 – 50)
DARI KECEROBOHAN BERUBAH MENJADI BENCANA NASIONAL
Akibat kecerobohan PT. LBI, - sebagaimana kesimpulan dari hasil pengusutan polisi – kini semua harus ikut menuai getahnya. Jika mengacu
pada kontrak eksplorasi, pengamat perminyakan Kurtubi mengatakan, semua
kerugian akibat semburan lumpur ini mestinya menjadi beban LBI karena
peristiwa terjadi pada saat masih dalam tahap eksplorasi.
Apalagi dengan ditemukannya kelalaian LBI sebagaimana yang disinyalir
oleh PT. Medco E&P Brantas sebagai mitra kerja LBI dan juga kalangan
ahli geologi lainnya. Mengacu dari fakta ini, tidak selayaknya biaya dimasukkan sebagai cost recovery dan membebani APBN. (hal. 52)
Pada awalnya LBI malah
berusaha meniupkan kesan bahwa semburan lumpur itu akibat gempa bumi
Yogyakarta dan mengaku tidak melakukan kesalahan prosedur apa pun.
Padahal dari hasil review teknis terhadap kejadian di sumur Banjar
Panji 1, PT. Medco E&P Brantas sendiri sebagai mitra mengatakan LBI
jelas sudah melakukan kelalaian dengan tidak memasang selubung (casing)
berukuran 9 5/8 inchi pada kedalaman 8.500 kaki untuk mengantisipasi kemungkinan masalah sebelum mengebor lebih jauh ke formasi Kujung dimana reservoir
minyak berada. Akibatnya sumur tak mampu menahan tekanan dan jebol.
Berdasarkan pertimbangan ini, menurut Medco, tanggung jawab atas semua
kerugian dan klaim sepenuhnya ada di tangan LBI sebagai operator. (hal.
53)
————————————————————————
Mendekati Selasa (28/11/2006)
tengah malam belum ada tanda-tanda Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi
VII DPR dengan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo akan
berakhir. Saking panasnya suasana sidang, Sutan Bathoegana dari Partai
Demokrat memilih walk out dari ruang sidang dan menyatakan
tidak bertanggungjawab atas implikasi dari pembahasan. “Saya kecewa
dengan kerja Saudara-Saudara!” katanya kepada jajaran Tim Nasional yang
duduk berjejer di depannya, termasuk Ketua Tim Pengarah, Menteri
Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi.
Insiden keluarnya Sutan
Bathoegana mengundang kecaman salah seorang anggota DPR lainnya, Effendy
Simbolon (FPDIP). Sidang segera mengambil kesimpulan atas rapat yang
dimulai sejak pukul 19.30 itu. Ketua Sidang yang membacakan kesimpulan adalah Agusman Effendi (Fraksi Partai Golkar). Di atas balkon, puluhan warga Sidoarjo “keleleran” mengikuti sidang sambil lesehan ada pula yang tidur sampai ngorok.
RDP ini sejak awal
diarahkan pada satu kesimpulan bahwa apa yang terjadi di Sidoarjo adalah
bencana nasional. Agusman Effendi bahkan sudah membacakan draft
kesimpulan awal yang menyebut-nyebut “bencana nasional”
sebelum kemudian diinterupsi oleh Zainal Arifin yang menghendaki adanya
kata-kata “Tim Nasional Gagal”. Saling bantah terjadi antara anggota
DPR soal bagaimana tanggung jawab Lapindo Brantas jika Pemerintah
menerapkan lumpur Sidoarjo sebagai bencana nasional. “Bagaimana
mungkin kasus lumpur Sidoarjo ditetapkan sebagai bencana nasional kalau
peristiwa gempa Yogyakarta yang menelan ribuan jiwa tewas tidak
ditetapkan sebagai bencana nasional?!”
RDP belum membawa kesimpulan
akhir dan terancam menemui jalan buntu. Ada yang menghendaki sidang
ditunda karena pembahasan masih alot, tapi ada juga yang menghendaki
diputuskan dini hari itu juga, saat hari sudah bergeser ke hari Rabu
(29/11/2006). Akhirnya RDP memasuki masa genting yakni lobi antar kedua
belah pihak bahkan sesama anggota Fraksi. Ketika sidang dibuka kembali
pukul 01.45, pembacaan kesimpulan oleh Agusman Effendi adalah : “Komisi VII mendesak Pemerintah untuk menetapkan semburan lumpur Sidoarjo sebagai bencana”.
Kesimpulan ini membawa kekecewaan bagi sementara anggota DPR yang menghendaki kata “bencana nasional”,
termasuk Effendy Simbolon. Namun, di pihak lain ada yang bergembira
sebab itu berarti tanggung jawab masih ada pada Lapindo Brantas
Incorporation (LBI). Banyak orang meyakini ketika suatu bencana
ditetapkan sebagai “bencana nasional”, itu berarti tanggung jawab ada
pada Pemerintah, meski dalam kasus Lapindo pihak swasta-lah yang harus
menanggung beban. Ada anggapan bahwa Lapindo merupakan pihak yang sangat
mengharapkan penetapan lumpur Sidoarjo sebagai “bencana nasional”. Bisa
ditebak, Lapindo akan menyerahkan sebagian tanggung jawab itu kepada
Pemerintah lewat Badan Koordinasi Nasional (Bakornas). (hal. 42 – 44)
Bakornas yang Ketuanya Wakil
Presiden dan Wakil Ketuanya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
(note : Abu Rizal Bakrie – pen.) itu kuat dugaan memang akan ikut
menanggulangi dampak lumpur Lapindo. Kalangan organisasi non pemerintah
makin khawatir dengan indikasi ini, karena dengan masuknya
Bakornas, akan semakin memperkuat indikasi status lumpur Lapindo akan
dideklarasikan sebagai bencana. Itu berarti memberi peluang lepasnya
pemegang saham Lapindo dari tanggung jawab perdata maupun pidana.
“Dari awal kami meminta
jangan dijadikan bencana, apalagi bencana nasional. Kalau dijadikan
bencana nasional, rakyat betul-betul akan menderita”,
kata Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Walhi. Jika dijadikan bencana,
tanggung jawab pendanaan akan pindah ke negara. Rehabilitasi dan
konstruksi harus dijalankan, padahal dana talangan (bencana) hanya Rp.
600 miliar. “Kompensasi untuk tanah dan rumah saja lebih dari Rp. 1,2
triliun. Pemerintah memang harus ambil alih, tetapi bukan dalam konteks pendanaan, melainkan tanggung jawab negara melindungi rakyat”, kata Chalid.
—————————————————————————–
Nah, setelah membaca kembali
buku terbitan Kompas tahun 2007 itu, kita jadi diingatkan kembali
bagaimana kronologis kejadian bagaimana kasus ini dijadikan “bencana”
dan siapa saja yang berperan. Ini penting, agar perjalanan selama 6
tahun negara terus menerus menalangi lewat APBN sampai trilyunan rupiah
itu diketahui rakyat, termasuk korban lumpur, agar mereka tahu siapa
sebenarnya yang berperan meloloskan Lapindo Brantas dari tanggung jawab
penuh.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer