Hari itu , tepat 6 tahun yang lalu, 29 Mei 2006, sekitar pukul 05.00 WIB,
muncul semburan gas bercampur lumpur panas ke permukaan bumi, di titik
sekitar 150 meter arah barat daya sumur Banjar Panji 1 milik Lapindo
Brantas Incorporation (LBI), yang telah melakukan eksplorasi selama 3
bulan. Kini, 6 tahun sudah berlalu, tapi berita seputar penderitaan
warga yang menjadi korban luapan lumpur panas dan perjuangan mereka,
seolah tak pernah lekang ditelan waktu.
Beberapa
waktu lalu sekelompok warga penghuni Kahuripan Nirwana Village (KNV) –
komplek perumahan yang dibangunkan oleh Minarak Lapindo Jaya sebagai
pengganti rumah bagi mereka yang memilih skema ganti rugi dengan cara
“relokasi” – berdemo menuntut dikeluarkannya sertifikat rumah mereka,
yang telah dijanjian sejak tahun 2007 – 2008. Sedangkan ribuan warga
lainnya, hari-hari belakangan ini menduduki tanggul lumpur di titik km
25 – yang oleh BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dinyatakan
dalam kondisi kritis dan rawan jebol – sampai ganti rugi rumah dan tanah
mereka dibayar lunas. Bahaya yang mengancam nyawa mereka seolah tak
lagi dipedulikan, semuanya hanya demi keadilan : menuntut hak atas rumah
dan tanah yang terendam.
Di
lain pihak, konflik horisontal dan kecemburuan sosial mulai muncul
antara warga sesama korban lumpur. Masalahnya, mereka yang sejak awal
mula musibah ini terjadi sudah dinyatakan berada dalam peta area
terdampak, sampai kini proses ganti ruginya masih belum beres. Masih ada
ribuan berkas lagi yang belum diselesaikan oleh Minarak Lapindo Jaya
(MLJ). Sedangkan warga yang lokasinya terendam belakangan dan dinyatakan
tidak masuk dalam peta area terdampak, justru proses ganti ruginya
lebih jelas dan lancar karena dibayari oleh Pemerintah melalui dana
APBN.
Sampai
saat ini, PT. MLJ – anak perusahaan yang dibentuk oleh LBI khusus untuk
menangani proses ganti rugi – masih berhutang sekitar lebih dari 900
milyar dari total hanya 3,8 triliun kewajiban ganti rugi yang harus
mereka bayarkan. Seharusnya, kewajiban itu sudah tuntas pada Juni 2012,
tapi lagi-lagi PT. MLJ meminta tangguh sampai akhir 2012. Tapi janji ini
pun tak sepenuhnya dipercaya warga, mengingat selama ini MLJ sudah
sering ingkar janji. Dalam dialog pagi tadi di Metro TV, Andi Darussalam
Tabussala, Dirut PT. MLJ yang diwawancarai live streaming via telepon,
hanya muncul sebentar, marah-marah dan emosi, lalu menolak melanjutkan
wawancara. Sungguh suatu tindakan yang tidak gentle dan makin menurunkan
tingkat kepercayaan publik pada kredibilitas MLJ!
6
tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah penderitaan panjang.
Tercerabut dari tanah leluhur yang sudah ditinggali puluhan tahun.
Terpisah dari kampung halaman dan tetangga yang sudah seperti saudara.
Mendadak kehilangan pekerjaan, penghidupan dan seketika menjadi “tuna
wisma” yang terpaksa menggelandang di kios-kios bakal pasar baru Porong.
Mereka yang tadinya keluarga utuh dan hidup tenang di rumah sendiri
meski sederhana, kini berdesakan di barak berukuran 4×5 m2 untuk 2 – 3
keluarga. Antri kamar mandi, bahkan tak jarang terjadi percekcokan
karena salah paham akibat kaki seorang suami mengenai kaki istri
tetangganya di barak, saat tidur berdesakan. Konflik sosial, derita
psikologis dan traumatis termasuk anak-anak para pengungsi.
Sebuah
buku terbitan KOMPAS, berjudul “BANJIR LUMPUR BANJIR JANJI – Guagatan
Masyarakat dalam Kasus Lapindo”, yang terbit pada Oktober 2007, banyak
bercerita soal kronika di balik tragedi kemanusiaan ini. Buku ini berisi
kumpulan artikel yang pernah terbit di harian Kompas, laporan
jurnalistik dilengkapi dengan foto dan infografis. Buku yang berisi
laporan aktual ketika kejadian itu baru terjadi, termasuk di dalamnya
pergulatan sosial, psikologis dan kemanusiaan para korban, membuat buku
ini layak untuk dibuka kembali, setelah 6 tahun tragedi itu berlangsung
dan banyak pihak berusaha membelokkan tragedi ke arah yang keliru. Saya
mencoba menuliskan rangkuman beberapa bab dari total 7 bab yang ada.
Karena panjang, saya akan membagi menjadi beberapa bagian.
KRONOLOGI SEMBURAN LUMPUR PANAS
Berdasarkan
laporan kronologi kejadian, pada tanggal 27 Mei 2006, pengeboran
dilakukan dari kedalaman 9.277 kaki ke 9.283 kaki. Pukul 07.00 hingga
13.00 pengeboran dilanjutkan ke kedalaman 9.297 kaki. Pada kedalaman
ini, sirkulasi lumpur berat masuk ke dalam lapisan tanah. Peristiwa ini
disebut loss. Lumpur berat ini digunakan
sebagai semacam pelumas untuk melindungi mata bor sekaligus untuk
menjaga tekanan hidrostatis dalam sumur agar stabil.
Setelah terjadi loss, sebagai langkah standar disuntikkan loss circulating material (LCM) atau material penyumbat ke dalam sumur, tujuannya untuk menghentikan loss agar sirkulasi kembali normal. Peristiwa loss yang lazim dalam pengeboran pada umumnya diikuti munculnya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas atau disebut kick. Untuk mengantisipasi kick, pipa ditarik ke atas untuk memasukkan casing sebagai pengaman sumur. Sebagai catatan : casing terakhir terpasang di kedalaman 3.580 kaki.
Saat proses penarikan pipa hingga 4.241 kaki pada 28 Mei pukul 08.00 – 12.00, terjadilah kick.
Kekuatannya 350 psi. Kemudian disuntikkanlah lumpur berat ke dalam
sumur. Ketika hendak di tarik lebih ke atas, bor macet atau stuck
di 3.580 kaki. Upaya menggerakkan pipa ke atas, ke bawah maupun
merotasikannya gagal. Bahkan pipa tetap bergeming saat dilakukan
penarikan sampai dengan kekuatan 200 ton. Upaya ini berlangsung mulai
pukul 12.00 hingga 20.00. Selanjutnya untuk mengamankan sumur,
disuntikkan semen di area macetnya bor. Akibat macet, akhirnya
diputuskan bor atau fish diputus dari rangkaian pipa dengan cara diledakkan. Pada 29 Mei pukul 05.00 terjadilah semburan gas berikut lumpur ke permukaan. (hal. 18 – 19)
KESALAHAN PEMASANGAN CASING, BUKAN BENCANA ALAM
Syahdun, mekanik Tiga Musim Jaya Mas, kontraktor yang melakukan pengeboran, mengatakan semburan gas itu disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian, tiba-tiba bor macet. Gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. “Gas mencari celah dan keluar ke permukaan melalui rawa”, ujar Syahdun.
Lumpur
panas dari kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dari bumi juga keluar
dari enam titik lainnya. Dr. Adi Susilo, Kepala Kepala Laboratorium
Geosains Jurusan Fisika Fakultas Matemaika dan Ilmu Pasti Alam,
Universitas Brawijaya Malang, mengatakan : menyemburnya (blow out) lumpur hidrokarbon pada sumur minyak Banjar Panji yang dikelola PT. LBI BUKAN merupakan bencana alam. Peristiwa itu lebih disebabkan faktor ketidak beruntungan.
Diduga, lanjut Adi, pada saat penggalian dilakukan, lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai casing.
Rekahan tersebut menyebabkan lumpur hidrokarbon yang merupakan bahan
baku minyak bumi, muncrat karena tekanannya sangat kuat. (hal. 12 – 13)
Ahli
Geologi Perminyakan, Andang Bachtiar, menyatakan persoalan lumpur panas
pertama-tama muncul karena adanya ketidakstabilan atau peningkatan
tekanan dalam formasi. Hal ini dipengaruhi kegiatan penambangan di Sumur
Banjar Panji 1. Menurut Andang, persoalan utama dipicu adanya kekeliruan dalam pemasangan selubung (casing implementation). “Menurut perkiraan saya, casing tidak kuat. Maka, ketika terjadi kick atau pada saat memompakan killing mud, formasi di sekitar casing pecah”, kata mantan Ketua Ikatan Asosiasi Geolog Indonesia (IAGI) itu. Killing mud adalah lumpur berat yang digunakan untuk mematikan kick. (hal. 20)
Dokumen yang diterima Kompas yang ditujukan ke Lapindo Brantas Inc., berisi : 18 Mei 2006 atau 11 hari sebelum semburan gas. PT.
LBI sudah diingatkan soal pemasangan casing atau pipa selubung oleh
rekanan proyek. Pipa sudah harus dipasang sebelum pengeboran sampai di
formasi Kujung (lapisan tanah yang diduga mengandung gas atau minyak) di kedalaman 2.804 meter. Lapindo sebagai operator proyek belum memasang casing berdiameter 9 5/8 inchi pada kedalaman 2.590 meter. Pemasangan casing adalah salah satu rambu keselamatan.
Menjawab
hal itu, Wakil Presiden PT. LBI bidang General Affair, Yuniwati Teryana
membuat pernyataan tertulis. Isinya : sesuai dengan program pengeboran
yang disetujui, pipa 9 5/8 inchi akan dipasang
15-20 kaki (4,5 – 6 meter) di dalam formasi Kujung, sekitar 8.500 kaki.
Dengan pengalaman pengeboran sumur terdekat, sumur Porong-1, menurut
Yuniwati, casing 50 kaki di atas formasi Kujung menimbulkan masalah loss and kick
yang sulit diatasi. “Kedalaman lapisan batuan tidak bisa diprediksi
tepat. Karena itu kedalaman pipa sangat ditentukan oleh tekanan aktual
formasi dan kondisi lubang saat itu”, kata Yuniwati.
Dia
menjelaskan, beberapa kali mengecek dan belum juga sampai ke formasi
Kujung, pengeboran diteruskan ke 2.667 meter. Formasi Kujung tetap belum
ketemu. Survey kedalaman dengan chek shot dilakukan di 2.667 meter, hasilnya tak jelas.
Dari
intrepretasi seismik, diduga formasi Kujung ada di 2.682 meter, 2.865
meter, bahkan paling mungkin 2.926 meter. Hingga 2.924 meter tetap belum
ketemu. Mempertimbangkan kondisi lubang saat itu, diputuskan terus
mengebor hingga menembus formasi Kujung, hingga 2.865 meter
mempertimbangkan kick tolerance pengeboran maksimum. “Namun pada 2.833 meter telah terjadi loss”, ujar Yuniwati. (hal. 16 – 17)
catatan ira oemar freedom writers kompasianer