Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata,
tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati.
tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati.
Begitu penggalan syair lagu lawas, berjudul Lidah Tak Bertulang yang disenandungkan Bob Tutupoli, salah seorang musisi ternama di tanah air. Syair lagu ini selalu mengiang, ketika direproduksi dalam suatu musim kampanye dimulai. Baik itu kampanye untuk pemilu kepala daerah, pemilu anggota legislatif, maupun pemilu presiden/wakil presiden . Kampanye selama itu bahkan identik dengan tebaran janji-janji.
Memang lidah tak bertulang. Sehingga lentur dan liat. Jangan dilupakan pula, lidah selalu terkait dengan ludah, sehingga basah dan licin. Itulah hakekat janji. Lentur, liat, basah, dan licin. Bahkan tersembunyi dibalik kepentingan subyektif sang penjanji, sipemilik lidah, sebagaimana letak lidah yang selalu tersembunyi. Dengan kondisi seperti itu, tentu sangatlah sulit memegang janji yang dilontarkan oleh siapapun, termasuk presiden dan wakil presiden sekalipun.
Dengan hakekat janji seperti itu, yang semestinya juga hakekatnya ditepati, wajar jika kemudian berkembang pemahaman masyarakat yang sudah jenuh dengan janji-janji politik, karena selama ini memang banyak janji yang tak ditepati. Janji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu, misalnya, yang terjadi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pun sampai kini tidak dapat terbentuk, bahkan undang-undangnya dibatalkan.
Dan rakyat selama ini tak bisa berbuat apa-apa terhadap janji yang ditawarkan politisi. Termasuk dari presiden/wakil presiden, karena memang tak pernah tercatat baik. Janji politik hanya meluncur dari atas panggung politik. Media massa yang mencoba mencatat janji-janji itu juga diabaikan. Alasannya, bisa salah kutiplah, tidak akuratlah, atau berbagai alasan lain, ketika politisi itu tak bisa memenuhi janjinya. Atau sama sekali tak membuat alasan.
Adakah konsep yang bisa menjelaskan hubungan janji dengan kebaikan moral politik? Dalam perspektif Lockian, pada dasarnya manusia itu baik. Sehingga semua orang harus dilihat sebagai subyek yang baik, selalu berpikir dan berperilaku positif. Oleh karena itu, janji harus dilihat sebagai jembatan kebaikan yang menghubungkan sang penjanji dengan pihak yang dijanji. Dan meskipun janji ini secara hierarkis sebetulnya memiliki derajat rendah ketimbang kontrak politik, namun setidaknya janji bisa dimaknai sebagai bagian dari kontrak politik itu sendiri, kontrak moral politik. Sehingga sang penjanji akan merasa bersalah sendiri jika janjinya tak direalisasikan, tanpa harus ditagih lebih dulu oleh pihak yang dijanji. Ini bisa disebut sebagai kebaikan moral ala Hegelian.
Tetapi, lain lagi dengan perspektif Hobbesian, yang memosisikan manusia itu sebagai makhluk yang jahat. Jika logika Hobbesian ini digunakan untuk menyorot janji dari seseorang, misalnya, apapun latar belakang orang itu, maka sudah pasti makna negatif menyertainya, yakni yang ada hanya deretan kebohongan. Janji adalah kebohongan itu sendiri. Artinya, janji para calon presiden/wakil presiden saat itu identik dengan kebohongan yang tak punya basis moral. Ini logika kehidupan alamiah manusia yang terlatih dalam membangun mekanisme destruktif, sehingga jauh dari yang namanya kebenaran.
Janji tidak lebih dari sebuah “pembenaran” atas kepentingan subyektif sang penjanji. Padahal, hakekat janji politik sebetulnya harus dilihat sebagai media humanis yang menyejukkan masyarakat politik. Karena melalui janji politik itu, masyarakat politik bisa berharap terwujudnya perubahan. Akan tetapi, di sini, logika Lockian terkalahkan logika Hobbesian yang melihat manusia sebagai sosok jahat.
Demikian pula terhadap janji-janji politik Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono , yang pada prinsipnya sama saja, sama-sama di ambang kebohongan. Sehingga pada derajat tertentu, janji politik ini telah direduksi ke dalam ranah “ruang hampa” yang berkorelasi kepada ketiadaan substansi janji untuk ditepati.
Ironi memang. Lebih ironi lagi ketika kita mengetahui hasil lacakan karakter bangsa kita, yang pemarah, perusuh, pendendam, kadang-kadang mudah memaafkan, bahkan terkadang sulit dan atau tidak bisa memaafkan sama sekali. Lihat saja, misalnya, bagaimana Soeharto menghabisi para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa Orba, sebagaimana para penguasa lokal kita saat ini menghabisi lawan-lawan politinya.
Implikasinya, di situ tersimpan kemarahan, bahkan dendam yang berkepanjangan. Janji untuk memaafkan dan atau merehabilitasi sosial eks orang-orang PKI benar-benar hanya janji, dan hingga kini tinggal janji semata. Demikian pula janji rezim orde reformasi tentang penuntasan kasus hukum soal pembunuhan Munir yang hingga kini tak jelas juntrungannya.
Karena itu, kita bisa mengatakan, janji politik yang tak terpenuhi adalah pelanggaran moral politik. Sayangnya, untuk menuntutnya, tak ada aturan hukum formal yang bisa menjeratnya. Janji politik terlalu licin untuk dijerat melalui hukum formal kita. Sebagaimana licinnya lidah setelah terolesankan basahnya ludah. Sehingga kian suburlah janji-janji politik yang terucapkan lidah yang basah dan licin itu. Dan tak ada perekat ampuh untuk menjeratnya.
Bagi masyarakat politik, merekam janji-janji politik calon presiden/wakil presiden saat itu adalah suatu keniscayaan. Soalnya, janji-janji politik dimaksud, nanti akan ditransformasikan ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009-2014. Tetapi apakah janji-janji politik yang direkam tersebut dilaksanakan?, atau dokumen RPJM tersebut nanti hanya merupakan untain produksi dan reproduksi janji-janji politik yang menyajikan kebohongan, dan pada saat yang sama, juga mendelegitimasi basis moral dalam politik. Kekuatiran ini cukup beralasan, karena kita hidup di negeri yang ciri karakter manusianya, meminjam istilah Mochtar Lubis, adalah hipokritis (munafik), serta bangsa “lidah tak bertulang”...
catatan aida cess the indonesian freedom writers