Hampir 2 pekan dihebohkan dengan berbagai kesimpangsiuran dan misteri seputar joyflight sebuah pesawat bikinan Rusia yang tidak berakhir enjoy,
lalu disusul dengan pro-kontra rencana konser seorang lady asal
Amerika, sepat terlupakan seorang “lady” asli Indonesia. Ya, sosok
politisi ini layak dijuluki “the lady of Indonesia” sebab
sekitar 11 tahun lalu, sebuah ajang pemilihan wanita cantik
memahkotainya dengan gelar “Putri Indonesia”. Berbekal prestasi itulah,
Angelina Sondakh kemudian menapakkan kakinya di dunia selebritis
nasional dan kemudian menjejakkan diri di ranah politik dengan
mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI pada Pemilu 2004.
Dua hari lalu, saat akan membuka email, saya dikejutkan oleh sebuah judul headline berita di Yahoonews. Sudah menjadi default, setelah login di Yahoomail, maka muncullah sejumlah berita dari portal berita Yahoo. Judul berita yang mengejutkan saya itu tak lain : “Angelina Menolak Menjadi Justice Collaborator”.
Isinya adalah pernyataan pengacara Angie, Tengku Nasrullah, bahwa
klien-nya menolak menjadi justice collaborator karena ia hanya ingin
fokus pada kasusnya saja dan tak ingin melibatkan orang lain dalam
kasusnya. Hmm.., sebuah kejutan yang sudah saya duga dan sempat saya
paparkan prediksi saya soal bakal tak bersedianya Angie jadi justice
collaborator di sini dan tak pantasnya Angie ditawari menjadi JC di sini.
Keterkejutan saya tentu berbeda dengan para
politisi Partai Demokrat. Mereka tentu lega mendengar kabar penolakan
Angie itu. Ketua Besar, Boss Besar dan beberapa nama yang sempat disebut
ada dalam BAP Angie maupun Rosa dan disinyalir ikut menikmati ranumnya
apel Malang dan apel Washington, tentu bisa sejenak menghela nafas
panjang. Tak percuma mereka rajin menyambangi Angie di rutan KPK saat
awal Angie di tahan. Ini tentu berbeda sekali dengan sikap politisi PD
saat Nazar dipulangkan dari Columbia dan ditahan. Saat itu hanya
koleganya di Komisi III DPR yang berasal dari parpol lain yang membezuk.
Tak seorangpun rekan separtainya yang hadir, kecuali Nasir kakak sepupu
Nazar.
Syarif Hasan, Menkop yang juga anggota Dewan
Pembina PD dalam wawancara telepon di Metro TV mengatakan : “Partai
Demokrat tak boleh melakukan kesalahan yang sama 2 kali” ketika ditanya
host acara kenapa ada perbedaan perlakuan PD terhadap Nazar dan Angie.
Menurut Syarif Hasan, dulu PD telah melakukan kesalahan dengan
membiarkan Nazar pergi ke LN sendiri yang akhirnya berbuntut nyanyian
sumbang Nazar kepada tokoh-tokoh PD.
Tampaknya, kini PD akan menemani Angie agar
“tragedi” nyanyian Nazar tak terulang. Bahkan Sutan Batoeghana pun gigih
membela Angie bahwa ia tak akan dicopot dari jabatannya di DPR sampai
ada keputusan hukum yang bersifat incracht. Jadi bersyukurlah
Angie, sebab ia tetap bisa menikmati gaji buta sebagai wakil rakyat
kendati ia mendekam di rutan KPK. Kalau begitu, layaklah jika Angie
menolak menjadi JC dan melibatkan orang lain dalam kasusnya. Untuk apa?
Toh tanpa menjadi JC pun vonis baginya diperkirakan tak akan lebih berat
ketimbang Rosa yang diganjar 2,5 tahun pidana kurungan.
SAKIT SINUS, CEDERA TULANG BAHU DAN PEMBANTARAN
Beberapa hari lalu saya membaca di portal berita
Vivanews, pernyataan dari Johan Budi, juru bicara KPK, bahwa Angie punya
banyak permintaan. Baru beberapa hari ditahan, Angie sudah minta
didatangkan dokter spesialis yang menangani sinusitisnya. Semula ia
menolak di bawa ke RS Abdi Waluya. Hari berikutnya pengacara Angie
berang sampai mengancam agar KPK bertanggungjawab jika terjadi sesuatu
pada klien-nya. Akhirnya KPK membawa Angie ke dokter THT yang ditunjuk
KPK. Ternyata, tak terlalu lama Angie menjalani pengobatan, ia keluar
dari dokter dengan wajah sumringah, sama sekali tak terkesan sakit
parah. Keesokan harinya KPK mengeluarkan release resmi bahwa penyakit
sinus yang diderita Angie sama sekali tidak parah dan tidak berbahaya.
Kini, Angie meminta ijin operasi tulang bahu dan
minta operasi itu dilakukan oleh dokter yang katanya sudah menanganinya.
Tentu rumah sakitnya pun sesuai dengan permintaan Angie. Menurut
pengacaranya, cedera bahu yang diderita Angie sudah cukup lama, ketika
dia jatuh saat bersepeda dengan anaknya, Keanu. Masih kata Nasrullah,
jika tak segera dioperasi, maka tulang yang tumbuh nanti akan keluar
dari tempatnya. Hmm.., parah juga ya?
Saya mencoba membayangkan, bagaimana posisi
jatuhnya Angie saat bersepeda dan membentur apa gerangan sampai cedera
bahu separah itu. Keanu, anak yang baru berumur sekitar 2 tahun tentunya
diboncengkan, entah di keranjang khusus untuk anak di bagian depan
pengendara sepeda, atau di boncengan belakang pengendara. Biasanya, yang
dibonceng pasti lebih parah jika sepeda jatuh.Ini berlaku juga untuk
motor.
Sebab yang membonceng lebih tidak siap saat sepeda terantuk batu,
misalnya, sehingga oleng. Berbeda dengan pengendara yang bisa lebih
sigap karena tahu betul kondisi jalan dan apa yang menimpa sepeda yang
dikendarainya. Apalagi anak seumuran Keanu, yang respon refleknya masih
rendah. Jadi, kalau Angie saja terjatuh hingga cedera bahu, tentunya
kondisi Keanu mestinya lebih parah lagi.
Tapi faktanya, tak pernah ada
berita Keanu menderita cedera parah akibat terjatuh dari sepeda.
Pengobatan untuk anak kecil mestinya tak bisa ditunda-tunda bukan? Jadi,
KPK perlu menelusuri lebih jauh kebenaran riwayat “sakit”nya Angie.
Saya jadi ingat Nunun, mungkin Angie belajar dari
“senior”nya ini. Selama 2 tahun buron, Nunun beralasan sakit lupa berat
alias demensia mengarah alzheimer. Bahkan setelah ditangkap di Bangkok
dan dipulangkan ke Indonesia, Nunun tetap menjadikan “sakit” sebagai
taktik untuk menghindar.
Setiap kali menjalani penyidikan di Gedung KPK,
dalam waktu tak lama Nunun pasti sakit, hampir pingsan dan macam-macam
lagi. Biasanya Nunun segera dilarikan ke RS, lalu anak dan menantunya
membezuk, 1-2 hari kemudian sembuh. Begitu terus tiap kali disidik KPK.
Bahkan melalui pengacaranya Nunun sempat minta diperiksa di ruangan
khusus yang nyaman.
Tapi sikap KPK terhadap Nunun cukup tegas. Semula
memang KPK membawa Nunun ke RS tiap kali dia “sakit” saat disidik. Tapi
kemudian KPK memberlakukan pembantaran. Setiap kali Nunun mengaku sakit
dan dirawat, maka Nunun dibantarkan di RS Polri.
Masa perawatannya di RS
dianggap masa pembantaran dan tidak akan mengurangi masa tahanan pun
juga tak akan mengurangi masa hukumannya kelak jika sudah divonis.
Alhasil : Nunun “sembuh”! Penyidikan berlangsung relatif lancar sampai
akhirnya berkas perkara selesai dan disidangkan. Sampai sidang berakhir,
Nunun tak lagi sakit-sakitan. Mungkin ia berpikir : semakin sering
sakit, makin lama dibantarkan, makin panjang pula masa penahanan dan
hukumannya kelak.
Jadi, kalau kini Angie tiba-tiba jadi “penyakitan”,
KPK bisa saja menerapkan sikap yang sama : dibantarkan! Biarkan saja
Angie menjalani operasi, tentu di RS yang ditunjuk KPK, tapi selama masa
operasi dan penyembuhan dianggap sebagai masa pembantaran. Siapa tahu
dengan begitu Angie akan sehat kembali.
SEGUDANG PERMINTAAN ANGIE
Selain meminta diijinkan operasi tulang bahu, Angie
juga minta diberi banyak hal. Seperti dikatakan pengacaranya, Angie
minta diijinkan membawa alat untuk menulis. Karena KPK melarang membawa
laptop atau gadget yang memungkinkan Angie bisa terhubung dengan
internet, Angie mengeluh ia tak bisa menulis.
Kata tengku Nasrullah,
keluarga Angie sudah menyiapkan sebuah mesin ketik yang tidak berisik
suaranya, agar Angie bisa menulis. Ah, banyak sekali permintaan. Kalau
Angie berniat menulis curahan hati, minta saja dikirimi buku harian.
Kalau toh nanti ingin diterbitkan, bisa saja menyuruh penulis
profesional menyuntingnya, seperti umumnya para tokoh yang menulis
biografi. Mungkin Angie lupa dulu Bung Karno, Bung Hatta, Buya Hamka,
menelurkan buku-buku berisi pemikiran berkualitas dari balik jeruji
penjara, saat alat tulis masih tinta celup.
Bukan cuma alat tulis, Angie juga minta dibelikan
seperangkat alat melukis. Katanya ia akan melukis di rutan, lalu hasil
karyanya akan dilelang dan hasilnya untuk disumbangkan ke panti asuhan.
Wow, sejak kapan Angie jadi pelukis? Kalau memang ingin beramal untuk
anak yatim, bukankah harta kekayaan Angie jumlahnya fantastis, lebih
dari cukup tanpa harus menunggu uang hasil lelang lukisan? Selain alat
tulis dan lukis, pagi tadi Metro TV memberitakan Angie juga minta
dibawakan gitar. Lho, bukankah kalau Angie bermain gitar suaranya juga
akan berisik? Sedangkan katanya mesin ketik saja dibelikan yang tak
bersuara. Lalu kenapa malah mau genjrang genjreng dengan gitar?
Angie juga minta diberikan Al Qur’an digital dan
minta didatangkan guru mengaji untuk mengajarinya mengaji. Ini lebih
mengada-ada lagi. Kenapa harus digital? Bukankah membuka Al Qur’an
digital membutuhkan media lainnya? Kalau membawa Al Qur’an biasa, saya
yakin KPK tak akan melarang, seperti halnya membawa sajadah dan mukena.
Lagi pula, kenapa baru sekarang –setelah ditahan – minta didatangkan
guru mengaji?
Dari dulu bukankah Angie punya banyak waktu luang,
yang diliput oleh infotaiment biasanya Angie jalan-jalan ke mall bersama
anak-anaknya, kongkow di karaoke bersama adik iparnya Muji Massaid,
merayakan pesta ultah anaknya, dan aneka kegiatan bersenang-senang
lainnya. Kenapa kini Angie tiba-tiba punya segudang rencana : operasi
tulang bahu, belajar mengaji, melukis, main gitar, menulis dan entah
permintaan apa lagi yang menyusul. Pantas saja kalau Johan Budi
mengeluhkan banyaknya permintaan Angie.
Kini sudah jelas : Angie tetap bersikukuh pada
sikapnya seperti saat menjadi saksi di sidang Nazar, ia memilih “pasang
badan” dan memungkiri semua hal, agar “pihak lain” selamat. Jadi, tak
ada alasan bagi KPK untuk menawarkan previlege apapun pada
Angie. Perlakukan Angie sama seperti tahanan lainnya. Berikan hak-haknya
yang azasi dan normatif : hak untuk beribadah, berobat jika benar-benar
sakit dan sesuai standar prosedur pengobatan tahanan KPK. Tak perlu
menuruti semua kemanjaan Angie.
Kalau Angie mengeluh sakit ini itu dan minta
perawatan yang butuh waktu lama, bantarkan saja! Agar Angie belajar dari
kasus Nunun. Usai mendengar vonis yang dibacakan Majelis Hakim, Nunun
shock dan dilarikan ke RS. Tapi akhirnya toh Nunun menerima vonisnya
tanpa banding. Justru KPK yang mengajukan banding karena menganggap
vonis Nunun 2,5 tahun penjara terlalu ringan. Jadi, Mbak Angie, kalau
mau “sakit” lagi, tanya Ibu Nunun dulu deh, apa untung ruginya.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer