_
Sebagai karyawan yang ditugaskan
di bagian HRD, terkadang saya mau tak mau terpaksa “ikut campur” pada
urusan pribadi karyawan. Biasanya karena pengaduan dan permintaan dari
keluarga karyawan atau pihak ketiga lainnya kepada HRD untuk menengahi
persoalan mereka. Tapi sekali waktu saya pernah atas inisiatif sendiri,
memutuskan untuk “ikut campur” pada masalah pribadi karyawan meski tak
diundang oleh keluarganya, demi kebaikan keluarga itu.
Ceritanya bermula dari resume medis yang diajukan seorang karyawan untuk mendapatkan penggantian pembayaran (reimbursement)
dari PT. Jamsostek. Kami memang mengikutsertakan karyawan dan
keluarganya dalam program asuransi Jamsostek. Sesuai aturan semua
karyawan dan keluarganya dapat berobat di klinik yang bekerjasama dengan
PT. Jamsostek. Namun pada kasus tertentu dalam keadaan mendesak,
karyawan dan keluarganya boleh berobat di klinik mana saja, asalkan
membayar biayanya sendiri dulu, baru kemudian dilakukan klaim reimbursement.
Suatu kali ada seorang karyawan
yang mengajukan klaim atas biaya pengobatan putrinya yang masih berumur
14 tahun. Menurut ceritanya si anak sedang berjalan-jalan di mall
bersama teman-temannya lalu terjatuh. Karena mengalami luka yang cukup
parah sampai terjadi perdarahan, teman-temannya segera membawa si anak
ini ke klinik untuk ditangani. Baru setelah pengobatan selesai, anaknya
diantar pulang teman-temannya sambil menyodorkan kwitansi pengobatan dan
resume medis kepada bapak si anak (karyawan kami) untuk diganti uangnya.
Si Bapak yang hanya karyawan
biasa dengan gaji yang tak seberapa merasa berat dengan biaya yang
disodorkan teman-teman putrinya. Tapi ia terpaksa mengganti dengan uang
simpanan yang dicadangkan untuk melunasi uang sekolah anaknya yang akan
mengikuti UAN. Karena itu ia meminta kepada HRD agar bisa sesegera
mungkin mengupayakan proses reimbursement dari Jamsostek, agar uangnya bisa segera tergantikan.
Staf kami yang memang bertugas
mengurus klaim ke PT. Jamsostek, segera menindaklanjuti permohonan itu.
Sayangnya, dalam proses verifikasi klaim itu nyaris ditolak oleh PT.
Jamsostek. Masalahnya dari hasil resume medis, pasien yang
masih pelajar itu dilaporkan mengalami perlukaan di jalan lahir dan
dokter melakukan tindakan medis untuk mengatasinya. Pihak PT. Jamsostek
meragukan jika hal itu disebabkan oleh perlukaan akibat jatuh semata.
Staf kami pun dipanggil oleh PT. Jamsostek untuk menjelaskan hal itu.
Karena staf kami seorang
Sarjana Kesehatan yang cukup bisa memahami hasil diagnose dokter dan
resume medis, dia kemudian mempelajarinya. Dia tahu bahwa kemungkinan
besar telah terjadi aborsi yang agak sembrono sehingga terjadi
perdarahan sehingga dokter kemudian mengambil tindakan medis untuk
mengatasinya.
Dengan niat baik didorong rasa
kasihan pada karyawan kami yang sangat membutuhkan uang penggantian
biaya berobat itu, akhirnya staf kami entah bagaimana caranya bisa
meyakinkan pihak PT. Jamsostek bahwa apa yang tertera dalam resume medis
itu memang tindakan yang patut dan wajar dilakukan dalam kasus itu.
Akhirnya PT. Jamsostek berhasil diyakinkan dan dijanjikan tanggal sekian
klaimnya akan dicairkan.
Menjelang pencairan klaim, staf kami melapor pada saya soal kasus ini. Dia menunjukkan copy resume medis
dan menjelaskan pada saya yang awam soal itu, lengkap disertai
penggambaran mengenai tindakan apa yang disinyalir dilakukan dokter
serta apa kira-kira sebabnya. Menurut staf kami, tindakan itu tentunya
rehabilitasi dari tindakan aborsi. Mungkin si anak sudah melakukan
aborsi yang kemudian menyebabkan perdarahan. Jadi, perdarahan yang
katanya akibat jatuh di mall itu bisa jadi hanya karangan belaka.
Mendengar penjelasan staf kami,
saya kaget luar biasa. Terbayang di benak saya karyawan kami yang polos
dan sederhana, putrinya yangmasih 14 tahun, kemungkinan masih pelajar
SMP. Tahukah orang tua si anak tentang hal ini? Tampaknya mereka percaya
100% putrinya jatuh di mall dan terpaksa mengganti uang teman-teman
putrinya yang dipakai membayar biaya pengobatan.
Kalau si bapak tidak tahu
kejadian sebenarnya, ini “lampu merah” bagi kehidupan keluarga itu.
Mereka tentu tidak tahu bagaimana pergaulan putrinya di luar rumah.
Kalau benar putrinya hamil sehingga terpaksa melakukan aborsi, siapa
yang menghamilinya? Siapa yang menyuruhnya melakukan aborsi? Siapa yang
membiayai aborsinya? Apa atas kehendak sendiri melakukan aborsi atau
justru ditekan lelaki yang menghamilinya? Melihat gampangnya si anak
melakukan aborsi, akankah kejadian ini tak terulang lagi di masa yang
akan datang?
Dengan pertanyaan yang
berkecamuk di benak itu, saya putuskan untuk turun tangan dan ikut
campur dalam masalah keluarga karyawan kami. Besok, klaimnya akan cair.
Karyawan kami yang sudah sangat membutuhkan uangnya sudah
menunggu-nunggu. Saya berniat memanggilnya dan bersama staf kami akan
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana pun, staf kami sudah
turun tangan dengan sedikit mempelesetkan penafsiran resume medis itu
hanya demi cairnya klaim karena kasihan dengan karyawan kami yang butuh
uang. Lebih kasihan lagi kalau si bapak tak diberitahu tentang kondisi
yang dialami putrinya sehingga tak bisa mengambil tindakan yang tepat.
Sayangnya, ketika dihubungi via
telepon, karyawan kami beralasan dia sangat sibuk karena pekerjaan di
bagian produksi menumpuk. Dia minta tolong uangnya segera ditransfer ke
rekening gajinya dan berjanji akan segera menghadap kami begitu ada
kesempatan. Sekian hari ditunggu, karyawan kami tak juga datang ke
kantor. Akhirnya saya menyuruh staf kami menemui karyawan tersebut di
lapangan dan mengajaknya menemui saya.
Begitu bertemu, karyawan itu
menjawab “Pak, kalau Bapak memanggil saya menghadap Ibu Ira soal
sakitnya anak saya, gak perlu deh Pak, saya sudah tahu kok”. Dia
kemudian cerita bahwa putrinya akhirnya mengaku kalau hamil dan
menggugurkan kandungannya. Karyawan ini menolak menghadap sebab dia
khawatir kasus aborsi illegal yang dilakukan putrinya akan berdampak
pada kelangsungan kerjanya di perusahaan kami. Dia takut akan ada sanksi
akibat putrinya memberikan keterangan palsu terkait sebab perdarahan
yang membuatnya harus berobat di hari Minggu.
Akhirnya staf kami kembali ke
kantor dan menceritakan pertemuannya dengan si bapak yang malang itu.
Saya pun merasa ini sudah cukup. Bukankah tujuan kami memanggil karyawan
itu hanya untuk memberitahukannya soal kondisi putrinya yang
sebenarnya. Kalau dia sudah tahu dari mulut anaknya sendiri – meski
sangat terlambat – saya rasa tak apalah, yang penting dia dan istrinya
bisa lebih baik lagi mengawasi pergaulan putrinya.
Pelajaran yang bisa saya ambil dari kejadian ini
adalah : remaja putri kita yang berstatus pelajar ternyata sebagian
sudah sangat familiar dengan tindakan aborsi. Si anak berasal dari
keluarga sederhana, bapaknya pekerja rendahan, ibunya seorang ibu rumah
tangga, si anak bersekolah di sekolah biasa (bukan sekolah elit dengan
siswa-siswi dari kalangan borju yang terbiasa dengan pergaulan
bebas ala remaja barat).
Terlebih lagi kota ini sebenarnya kota kecil
saja, bukan metropolitan. Pusat hiburan dan arena dugem tempat kongkow
ABG modern juga bisa dibilang tidak ada. Kalau pun ada mungkin tak
terjangkau harganya jika dibandingkan dengan tingkat kehidupan warga
lokal asli daerah ini yang umumnya menjadi pekerja biasa
diperusahaan-perusahaan.
Pergaulan bebas rupanya sudah jadi trend
dan menular ke kalangan remaja dari masyarakat kelas menengah bawah.
Meski jauh dari pusat hingar bingar gemerlapnya kota besar, meski
berasal dari keluarga yang ortunya tidak sibuk, anak-anak remaja tetap
rentan terpapar pola pergaulan bebas. Dan lebih ironis lagi, ABG
sekarang sudah berani megatasi sendiri masalahnya. Ketika menyadari
dirinya hamil, remaja putri cenderung mencari solusi bersama
teman-temannya.
Mereka sudah tahu dimana tempat melakukan aborsi, kemana
harus dibawa kalau terjadi ekses negative dari aborsi, bahkan mereka
sudah menyiapkan biayanya secara patungan. Alasannya pun sudah dikarang
supaya ortu percaya.
Ini sangat menyedihkan, sebab
“kecanggihan” mereka mengambil tindakan terencana adalah cermin dari
tidak adanya penyesalan mereka atas kejadian yang menimpa dirinya.
Kesigapan mereka melakukan aborsi pertanda bahwa perilaku sex bebas
bukanlah sesuatu yang harus ditakuti dan dihindari, sebab mereka sudah
punya jalan keluarnya. Remaja putri sebagai pihak yang jadi korban,
seperti tak merasa dirinya jadi korban. Mereka secara pro-aktif
mengatasi sendiri masalahnya.
Ini berbahaya, sebab jika remaja
putri menganggap bahwa akibat perbuatan suka sama suka itu ia harus
mengatasinya sendiri dan tak perlu ribut-ribut, tak perlu ortu tahu,
maka kalau saja aksi ini berhasil, maka tak masalah ia mengulanginya
lagi nanti, toh dia sudah tahu jalan keluarnya. Seolah remaja kita sudah
hidup di era free sex, dimana antar pelajar bebas bertindak
asal suka sama suka, bukan aib dan tak ada yang perlu dikhawatirkan,
sebab sesama temannya akan selalu siap bahu membahu mengatasi
masalahnya.
Ada baiknya, yang punya anak
remaja lebih waspada dan lebih ketat lagi mengawasi pergaulan putra
putrinya. Tak ada salahnya tidak percaya 100% begitu saja pada
teman-teman anak-anak kita. Meski dengan uang saku pas-pasan, tidak
bersekolah di sekolah yang “wah” dan merasa keluarga cukup harmonis dan
tidak kurang dalam memberikan kasih sayang dan perhatian pada
putra-putri kita, namun jika pengaruh lingkungan di sekolah lebih besar,
bukan mustahil anak baik-baik di rumah bisa liar di luar rumah. Sebab
remaja cenderung lebih takut dianggap “gak gaul”, lebih takut tidak sama
dengan teman-temanya, ketimbang membohongi ortunya meski selama ini
hubungan dengan ortunya baik-baik saja.
catatan ira oemar freedom writers kompasianers