SABAN kali bila tak buru-buru melewati kawasan sekitar Jembatan Latuharhari, Menteng Jakarta Pusat, saya berhenti. Di dekat taman di pinggir-pinggir jalan menuju ke kawasan utama bilangan Menteng, Jakarta Pusat, itu berderet penjual anjing, kucing, hewan peliharaan. Ada anakan anjing ras, mulai dari Poodle, Doberman, Anjing Gembala Jerman, Dalmation, Chihuahua, Great Dane, hingga anakan anjing kampung. Satu dua ekor kucing Angora dan Persia juga ada.
Khusus anak Dalmation – - putih totol-totol hitam itu – - saya pernah tertipu.
Ceritanya ada anak “Dalmation” bagus. Saya mampir dan menawar di harga Rp 500
ribu. Bila yang bersertifikat di pet shop, bisa berharga lebih dari Rp 3 juta.
Eh setelah dua hari di rumah, ternyata totol yang ada di badan anak anjing itu
luntur. Setelah beberapa kali dimandikan, badannya mulus memutih.
Di kawasan itu pula, bukan saja anakan anjing, sosok anjing dewasa juga ada.
Anjing besar ini bila lamat-lamat diperhatikan, matanya sering menghiba.
Beberapa di antaranya seakan bertutur, mereka sedih berpisah dari tuan
pemiliknya. Anjing dewasa itu, dari verifikasi yang pernah saya lakukan, memang
ada yang dijual pemilik, karena enggan memeliharanya lagi – - alasan ekonomi,
juga alasan mengotori rumah. Sebaliknya ada pula anjing hasil olahan “sindikat”
pencoleng binatang peliharaan. Mereka melegonya di kawasan itu.
Dari mata anjing-anjing dewasa itu tampak jelas rasa kehilangan. Suaranya
terkadang merengek sedih. Menatap mata anjing demikian, membuat saya melamun ke
masa kecil dulu ke kampuang nan jauah di mato.
Di kampung kami, anjing berguna untuk berburu babi. Anjing sehari-hari hanya
diberi makan nasi putih ditambah air putih. Sesekali, kami memberikan susu
kental manis yang sudah diencerkan air. Jika hendak berburu babi, biasanya
anjing itu baru diberi daging – - lebih ideal jika ada daging babi atau darah
babi. Nah anjing-anjing itu bila sudah ditengah hutan dilepas. Mereka memang
menjadi kalap memburu babi, karena selama ini hanya bermakan-kan nasi
berair-tawar.
Sewaktu kecil, saya pernah mengamati berburu babi dari jauh. Kami anak-anak tak
boleh turut ke tengah hutan lebih jauh. Konon masih banyak binatang buas. Paling
tidak ular berbisa siap menanti.
Akan halnya anjing-anjing di kawasan Latuharhari, Menteng itu, saya pernah pula
menelusuri. Rombongan anakan anjing itu bila petang merembang dimasukkan ke
gerobak. Mereka ditempatkan ke dalam kerangkeng kecil-kecil, lalu ditata di
dalam gerobak. Gerobak kemudian ditutup terpal dan pedagangnya memarkirkan
gerobak itu di kawasan di tepi alan Sultan Agung, Jakarta Selatan – - sekitar
500 meter berjalan kaki dari lokasi berjualan.
Malam hari gerobak berisi anjing diikat melalui gembok ke sebuah pagar kawat.
Dan bila Anda berjalan melalui gerobak itu, rengekan anak-anak anjing yang
menghiba terdengar sayup-sayup, bagaikan sesosok bayi merengek-tetek.
Bila di saat hujan mengguyur, mata saya selalu memperhatikan gerobak anjing itu.
Hampir tak ada yang mau mendengar dan menoleh, apalagi jalanan yang sedang
ditingkah macet, suara mobil terlebih motor, tor, tor, tor. Suara rengekan
anak-anak anjing hilang disaput kesibukan Jakarta.
Dalam sebulan terkahir ini saya tak melihat lagi gerobak anjing di pinggir jalan
Sultan Agung. Seiring dengan proyek pemekaran Kali Ciliwung, pagar besi di
jalanan dibabat habis – - sebagain sebelum dibongkar, pagar itu memang sudah
disikat pemulung setidaknya 340 cm2 perhari.
Semak, pepohonan dan belukar yang diterabas di pinggir kali, membuat celah
bersembunyi bagi gelandangan berteduh membunuh malam sirna. Seingat saya salah
satu pedagang anjing itu adalah sosok anak muda yang mukim di kolong jembatan di
pinggir Sultan Agung. Kini entah ke mana pindahnya?
Pernah suatu ketika ia tampak memiliharia seekor anjing kampung berbulu coklat.
Ia sudah semacam pengawal bagi anak-anak anjing yang diperdagangkan. Suatu hari
sekitar enam bulan lalu, anjing itu dibiarkan lepas. Bulunya sudah kusam,
badannya kurus. Dan tetap setia menemani pedagang anjing itu pulang-pergi.
Hubungan mereka karib.
Sulit memang mengungkap bagaimana hubungan sesorang dengan anjing dan atau
kucing peliharaannya. Ia menjadi sangat personal, ia menjadi kisah batin yang
sulit diceritakan dengan kata semata.
Ibu saya penggemar kucing. Semuanya bernama. Jika kucingnya terlambat pulang,
ibu tak sungkan berteriak ke segenap lingkungan RT memanggil-manggil nama si
kucing. Entah mengapa kucing itu pun paham, dari jauh ia sudah berlari, lalu
menciumi kaki ibu saya, kendati terkadang, bulunya kotor setelah melewati
comberan becek dan bau.
Ketika pernah menulis reportase panjang tentang anjing ras untuk majalah Matra
pada 1985, saya berkesempatan menemui Anton Soedjarwo, kala itu Kapolri. Di
kediamannya di Kemang, Jakarta Selatan, Anton memelihara Herder, Doberman, Great
Dane. Juga ada seekor Saint Bernard, ras keturunan Eropa yang terbiasa hidup di
udara di bawah nol derajat.
Saya perhatikan kala itu Saint Bernard yang berbulu lebat, kokoh tinggi, itu
menunduk-nunduk, mencari-cari kolong-kolong kursi yang lebih dingin lantainya.
Walaupun AC di rungan tamu Anton kala itu sudah 16 derajat celcius, anjing itu
masih merasa kepanasan.
Saya tanya kepada Anton, mengapa membawa anjing itu ke dearah tropis?
“Anjing jenis ini, adalah sosok penyelamat. Di daerah aslinya, jika ada pemain
ski yang terjatuh atau tertimbun salju, Saint Bernard yang dilehernya
dikalungkan minuman hangat beralkohol, mampu mengendus korban. Ia bisa
menyodorkan minuman di lehernya sebagai bentuk pertolongan pertama.”
Alamarhum Anton Soedjarwo begitu bersemangat bicara soal Saint bernard kala itu.
Sosok yang sulit bertemu wartawan berlama-lama itu, siap sedia bicara sepanjang
hari asal ihwal anjing. Anton pula yang memberi latar saya bahwa ada asosiasi
anjing ras, ada salon, ada dokter, ada makam anjing seperti yang di Pasar Minggu
Jakarta Selatan.
Pokoknya beragamlah cerita ihwal anjing, kucing, binatang peliharaan, yang
membuat berhalaman-haaman cerita bisa dituliskan.
DARI situs Riauterkini di internet saya mendapatkan berita hari ini:
Pada halaman 10 Harian Riau Pos edisi Kamis (22/5) terdapat sebuah iklan yang
cukup menarik. Tidak sekedar karena isinya lain dari pada yang lain, tetapi juga
karena dalam iklan tersebut juga dilengkapi gambar dua ekor kucing. Iklan itu
menjadi semakin menarik karena yang memasang bukan orang sembarangan, melainkan
istri orang nomor satu di provinsi ini, istri Gubernur Riau M Rusli Zainal yang
bernama Septina Primawati Rusli.
Ceritanya Setpina kehilangan seekor kucing ras Anggora jantan. Kucing itu sangat
disayanginya, sehingga saat kehilangan ia kelabakan. Berusaha mengerahkan siapa
saja untuk membantu menemukan kembali, dan ketika tak ditemukan, akhirnya
memasang iklan di harian terbesar di Riau tersebut.
Bunyi iklan unik itu adalah: "Telah Hilang Seekor Kucing Anggora Jantan Berbulu
Coklat Muda pada Hari Ahad (18/5) sekitar pukul 1.30 WIB di sekitar Jalan
Petalabumi dan HR Thamrin. Kepada yang Menemukan Diharap Menghubungi Suryani
dengan nomor HP 0811761110. Bagi yang Menemukan akan Mendapat Imbalan
Selayaknya"
Ketika riauterkini mencoba menghubungi Suryani yang merupakan asisten pribadi
Septina, ia hanya mengangkat sebentar. Setelah bertanya ada apa, lantas kembali
menutup telephon. Sementara salah seorang wartawan yang mengirim SMS kepadanya
menanyakan apakah kucing yang hilang sudah ditemukan, Suryati membalas pendek
"bln" atau belum.
Riauterkini lantas mencoba mendapat informasi kepada bagian iklan Riau Pos
melalui salah seorang bagian iklan bernama Tasmin. Melalui SMS Tasmin lantas
menjelaskan bahwa iklan dengan jenis dan ukuran seperti pengumuman kehilangan
kucing di halaman 10 itu tarifnya sebesar Rp 6.930.000 dengan perhitungan setiap
milimeter seharga Rp 20.000 ukurannya 3x150x20.000= Rp 6.930.000.
Artikel di atas sempat menjadi berbalas debat di sebuah milis. Iklan yang
dipersoalkan, membandingkan dengan harga-harga kebutuhan pokok yang kini menajam
naik.
Jika saya berada di Pekanbaru, Riau, dan jika dimungkinkan, saya akan mencari
jalan untuk mereportase isteri Gubernur Riau yang kehilangan kucing Angora-nya
itu. Saya yakin pastilah menjadi sebuah cerita, sebuah reportase literair yang
dahsyat. Pastilah hubungan Ibu Gubernur dan kucing itu sulit diungkap kata,
menjadi sebuah nilai yang tak berhingga.
Bisa menjadi cerita, yang juga menjadi pembelajaran, juga sealigus pendidikan,
paling tidak menggugah rasa perikebinatangan – - bila peri kemanusiaan pun
belakangan mengalami degradasi.
Media kini tidak lagi banyak memberi tempat kepada reportase literair, atau
minimal features. Apalah artinya hilangnya kucing isteri gubernur dengan berita
Blue Energy yang menyita berhalaman-halaman detik.com, misalnya. Atau apalah
pentingnya hilangnya seekor kucing dengan urusan kenaikan BBM yang mencekik
rakyat itu.Mungkin begitu logika orang media.
Sejak reformasi, media yang konon menjadi terbuka ini, terbius pula oleh
gegap-gempita berita politik. Verifikasi yang dalam tentang penyalahgunaan dana
pembangunan, dalam laporan investigasi panjang pun minim.
Saya sering dikritk bila menulis jangan sinis. Tetapi sebagai reporter saya
memang berusaha belajar untuk paling tidak mendeskripsikan, memverifikasikan.
Bila dalam paparan itu kemudian ada nada sinis, biarlah deskripsi yang
menuturkan, bukan sosok reporter yang sinis.
Bentuk penulisan media Riau di atas yang sesungguhnya urusan personal seseorang
dengan binatang kesayangannya, sudah dimelencengkan ke ranah lain. Saya kira
inilah imbas sebuah jurnalisme yang tumbuh dalam era reformasi, yang kurang
berorientasi reportase, yang oleh salah satu pendiri PWI-Reformasi, Budiman S.
Hartoyo – - mantan radaktur senior TEMPO – - disebutnya sebagai jurnalisme
ludah: “Hanya kutip sana, kutip sini, tanpa ada reportase.”
Dari sebuah reportase, tulisan menjadi berbeda. Bisa jadi jika direportase yang
dalam, jika kehidupan pemimpin di trias politika kita kini seakan “kejam” kepada
rakyatnya, termasuk menaikkan hargan BBM, terindikasi karena mereka semua tidak
punya dan tidak suka memelihara binatang peliharaan.
Coba cek!
Mungkin mereka semua tidak pernah lagi mengelus kucing, mengelus anjing,
menyiulkan perkutut.
Ingat, rasa, perhatian, sentuhan, bisa didapat seorang anak dari kecil, jika ia
memiliki binatang peliharaan. Laku yang sekaligus mendekatkan kepada alam,
menjadikan berperasaan ke sesama, bukan sebaliknya: menjadi raja tega, macam
menaikkan harga BBM itu!
catatan iwan piliang the freedom writers kompasianer