miranda berusaha modis dengan baju tahanan kpk
Semalam, saya menonton berita di TV tentang Presiden Korea Selatan, Lee Myung-baak yang meminta maaf sebesar-besarnya kepada rakyatnya karena orang-orang dekatnya terlibat korupsi.
Kontras dengan apa yang saya lihat beberap jam sebelumnya di TV yang sama dari sidang ibu Miranda Swaray Goeltom. Sejak berangkat dari gedung KPK tempatnya ditahan, Miranda sudah tampak ceria dan selalu mengumbar senyum. Baju tahanan KPK yang kini diwajibkan dipakai tahanan KPK setiap kali keluar dari ruang tahanan, tak mengurangi mood Miranda untuk selalu tampil modis di usianya yang ke-73 tahun. Baju tahanan warna putih dengan tulisan “TAHANAN KPK” berukuran besar di punggung sehingga bisa dilihat jelas dari jarak 10 meter sekalipun, di tangan Miranda berubah jadi busana modis. Ukurannya yang longgar membuat Miranda jadi punya ide untuk mengenakan ikat pinggang lebar menyerupai obi.
krah baju diangkat biar kelihatan modis
Kerah bajunya dibikin tegak sehingga saat berpadu dengan kerah bajunya yang bergaya ruffles, tampak seperti blazer saja. Alih-alih malu mengenakan baju tahanan – seperti yang diharapkan Bambang Widjojanto saat jumpa pers peluncuran baju tahanan KPK – Miranda justru sumringah dan melambaikan tangan pada insan pers dengan penuh percaya diri. Tak sekalipun wajahnya menunduk menghindari kamera, tidak! Miranda-lah yang sukses mengubah baju tahanan KPK jadi busana modis, bukan baju tahanan itu yang mengubah Miranda jadi malu.
Sebenarnya, ide untuk memaksa para koruptor memakai baju tahanan sudah ada sejak jaman Antasari Azhar jadi pimpinan KPK. Entah kenapa ide itu kemudian menguap begitu saja, apalagi kemudian justru Antasari-lah yang dipaksa mengenakan baju tahanan berwarna biru. Sekitar sepekan lalu, Bambang Widjojanto didampingi Johan Budi mengadakan jumpa pers bahwa KPK akan mewajibkan semua tahanannya mengenakan baju tahanan jika keluar dari ruang tahanan, termasuk menghadiri pengajian dan kebaktian sekalipun. Selain itu, koruptor yang ditangkap KPK tangannya akan diborgol dan apabila dibawa dengan pesawat, mereka akan dilewatkan melalui pintu umum, sehingga semua pengunjung bandara bisa melihatnya.
bupati buol ekspresi marah diborgol
Dengan cara itu, KPK berharap koruptor akan malu. Harga dirinya direndahkan dan harkatnya sebagai manusia terhormat dihinakan. Tapi apa daya, ternyata upaya itu tak cukup membuat koruptor malu. Setidaknya, Miranda sudah menunjukkan ia tidak malu mengenakan baju tahanan KPK, bahkan bisa mengakalinya. Amran Batalipu, Bupati Buol, memang tampak geram, marah dan terus menunduk ketika tangannya diborgol. Borgol berusaha ia sembunyikan di balik lengan baju tahanan. Yang jelas, ekspresi marah lebih tergambar di wajah Amran, ketimbang malu. Marah, sebab sebelumnya ia berhasil mengalahkan KPK dengan mengerahkan “pasukan” untuk melindungi diri dari penangkapan. Barulah setelah KPK menggandeng Densus 88, Amran bisa dicokok.
ekspresi tenang zulkarnaen djabar
Ekspresi tenang juga ditampakkan Zulkarnaen Djabar ketika ia melakukan konpers soal keterlibatannya dalam kasus korupsi pengadaan Al Qur’an di Kemenag. Mengaku khilaf, ZD tetap tersenyum lebar meski meminta maaf. Sangat jauh bedanya dibanding ekspresi Presiden Lee ketika mengaku salah dan siap menerima sanksi apapun. Jangankan masih sempat tersenyum, mendongakkan wajah saja seolah sudah tak sanggup.
Lalu, dengan cara apa kira-kira kita bisa membuat koruptor atau setidaknya orang yang disangka korupsi dengann banyak bukti mengarah padanya, bisa merasa malu, sehingga rekan-rekannya pun enggan meniru perbuatannya? Lha wong seorang Ketua Parpol saja masih bisa nonton bareng di bioskop,jadi komentator bola, panen udang dan semua itu dilakukan dengan wajah seolah tanpa beban.
Ketika KPK mewacanakan pemiskinan koruptor dan meyita seluruh harta benda dan assetnya yang diduga didapat dari hasil korupsi, tentangan langsung muncul, seolah tindakan ini melanggar HAM dan tak berperikemanusiaan. Adalah Hotma Sitompul, pengacara Gayus Halomoan Tambunan, yang selalu menggaungkan hal itu seolah dirinya paling berperikemanusiaan. Alasannya : akan diberi makan apa anak-anak Gayus jika harta bapaknya disita negara? Sambil selalu menunjukkan foto kelima anak Gayus dari ponselnya, Hotma berusaha menuding siapapun yang pro usulan pemiskinan koruptor sebagai orang yang tak punya belas kasihan dan menantang siapa saja untuk menjamin apakah dengan itu bisa membuat jera para koruptor.
Sebuah rencana memang belum terbukti jika belum dicoba. Kalau dimiskinkan saja tak membuat jera, apalagi jika tetap dibiarkan kaya dan bisa membayar pengacara kelas kakap, menyuap jaksa dan hakim, menyuap Kalapas dan setelah bebas bisa hidup enak. Saya pribadi, sangat setuju jika koruptor dimiskinkan bahkan bila perlu sita seeluruh hartanya sebagai bentuk denda atau katakanlah beban bunga yang harus dia bayar karena sudah sempat menikmati uang rakyat untuk sekian lama. Lalu bagaimana istri dan anaknya?
Masukkan saja anaknya ke panti anak terlantar. Wajar kan jika anaknya dipelihara oleh negara sementara si bapak menjalani hukuman.Nah, sudah pasti para koruptor itu keberatan anaknya hidup susah dan seadanya bersama anak-anak terlantar lainnya. Kalau sudah begini, maka tabungan di luar negeri yang selam ini dirahasiakan pun akan keluar, demi membiayai hidup anaknya asal jangan susah di dalam panti. Sebab saya tetap tidak percaya bahwa harta kekayaan para koruptor itu hanya sebatas yang mereka laporkan.Kalau kata Hotma, harta kekayaan Gayus ya hanya 74 miliar itu saja, sesuai jumlah yang diputus pengadilan untuk disita.
Senin malam, Teten Masduki yang menjadi tamu di acara Sentilan Sentilun di Metro TV, mengatakan bahwa ia bersama aktivis anti korupsi lainnya sedang menyusun ENSIKLOPEDIA KORUPTOR. Rencananya, ensiklopedia koruptor ini akan memuat semua data diri para koruptor yang telah divonis bersalah oleh pengadilan, lengkap dengan foto dirinya digeber dan dipublish secara online. Setidaknya pihaknya sudah mengantongi 1000-an putusan pengadilan, kata Teten, meski yang baru di-entry sampai saat itu baru profil 129 koruptor.
Sikap tubuh Presiden Korea Selatan ketika meminta maaf kepada rakyatnya dan menyatakan siap menerima sanksi apapun (sumber : beritasatu.com)
Teten menambahkan, data-data koruptor itu akan berguna bagi pebisnis yang kelak diajak berbisnis oleh koruptor, sehingga mereka bisa menghindari jika tak ingin terkena masalah di kemudian hari. Jika koruptor itu setelah bebas dicalonkan oleh partai politik untuk menjadi caleg atau ikut dalam Pilkada, maka profil si koruptor akan menyala merah, sehingga masyarakat bisa ikut mengajak untuk tak memilihnya. Teten bertekad akan terus menggarap ensiklopedi koruptor itu agar data-data koruptor bisa abadi sehingga sanak keluarganya malu. Dengan cara ini diharapkan orang yang akan korupsi jadi jera karena karakter dan masa depannya sudah dibunuh.
Jika apa yang dilakukan KPK dan para aktivis anti korupsi dengan memborgol dan memakaikan baju tahanan, lalu memiskinkan dan terakhir memuat semua data diri dan keluarga koruptor dalam ensiklopedia online yang bisa diakses siapa saja, kapan saja dan sampai kapanpun, tetap tak bisa membuat jera, mungkin kita perlu mengimpor Presiden dari China. Seorang pemimpin yang berani menyediakan peti mati sejumlah menteri kabinetnya plus 1 peti lagi untuk dirinya sendiri saat dilantik, dengan maksud siapapun yang korupsi akan dihukum mati. Bukan Presiden yang cuma bisa berkata dirinya tahu siapa saja Menterinya yang terlibat korupsi, tapi ia enggan mencopotnya dan hanya menyuruh mundur sukarela lewat sindiran.
Negeri ini sudah terlalu lama menderita, rakyatnya sudah begitu banyak yang dimiskinkan, semua karena perilaku korup mereka yang mengemban amanah di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kalau semua hal tak mempan lagi mengatasi perilaku koruptor, mungkin kelak akan tiba masanya rakyat yang marah mengadili pejabatnya, seperti rakyat Rumania memperlakukan keluarga Presiden Nikolae Caucescu tahun 1989 lalu. Atau…, hukum gantung di Monas mungkin ampuh? Ah…, yang mengucap sumpah pun kini tak berani lagi mengulang sumpahnya, bahkan marah jika diingatkan sesumbarnya untuk digantung di Monas.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer