SEORANG wartawan senior majalah berita di Jakarta, pernah diundang Israel berkunjung ke Yerusalem, di saat Amerika Serikat belum menyerang Irak. Bersama empat wartawan ASEAN lainnya, mereka dikumpulkan dan berangkat dari Singapura.
Mendarat di Tel Aviv, rombongan wartawan itu dijemput oleh seorang kolonel polisi yang bekerja di dinas penerangan Israel. Mereka naik mobil SUV mirip Kijang. Sesampai di kementerian penerangan Israel, rombongan diminta menunggu di sebuah ruang rapat kecil, minimalis. Kursi dan meja terkesan simpel; aluminium, dengan sekat kayu ringan, macam kursi taman. Lalu sang kolonel minta izin meninggalkan tempat sebentar.
Nah cerita selanjutnya ini, karena sang wartawan yang saya kenal baik itu suka mengeluarkan joke di tengah pembicaraan serius, acap menyelipkan canda, saya tak paham apakah yang diceritakannya berikut ini kepada saya benar adanya atau tidak. Yang pasti si wartawan itu memang menjadi salah satu tamu undangan pemerintah Israel.
“Kolonel itu rupanya mengganti bajunya, dengan pakaian biasa. Terkesan kian ramah.”
“Ketika kembali, dia menepuk bahu saya,” kata si wartawan pula, “Dan bicara dalam bahasa Indonesia: Ha, gimane di Jakarta, apa lagi musim duren? Gue kan sebelas tahun di Jakarta, tinggal di Ciputat. Ada duapuluh dua gerobak roti gue.”
Sang wartawan itu mengaku terperanjat.
Bertanya durian!
Tinggal di Ciputat.!
Mengusahakan roti!
Pernah pula beristerikan orang Indonesia.
Wartawan tadi layak kaget. Mengingat sepanjang perjalanan dari airport hingga ke kantor, sang kolonel tadi bertutur dalam bahasa Inggris. Eh, tahu-tahu bisa bahasa Indonesia. Apalagi tak ada hubungan diplomatik antara Indonesia-Israel?!
PADA suatu kesempatan di siang yang cerah, empat tahun silam, saya dan wartawan tadi bertandang ke kantornya Andy F. Noya, yang kala itu masih menjadi Pemimpin Redaksi Metro TV, di bilangan Kedoya, Jakarta Barat.
Pertemuan kami seakan ajang kengen-kangenan, karena dulu di era 1986, kami pernah bersama bekerja di majalah MATRA, yang kala itu berkantor di Setiabudi Building II, Kuningan, Jakarta Selatan.
Ruang kerja Andy, terkesan besar. Meja kerjanya jati dengan desain modern. Bila saya tak salah ingat ada empat teve menggantung di tengah ruangan yang menghadap meja Andy, dengan layar cukup besar, menyala berbeda kanal. Ambal di lantai tebal.
“Wah ruangan Anda ini begitu mewah, mengalahkan ruang kerja Simon Perez,” ujar sang wartawan, kawan saya itu. Perez adalah mantan Perdana Menteri Israel yang disegani.
Andy tertawa dan berbasa-basi, “Ah masak?”
“Benar. Anda tahu, jam tangan Simon Perez cuma Casio karet hitam, macam yang di jual di jembatan penyeberangan di Jakarta.”
“Itu negeri memang hidup dengan kesiapan perang di setiap saat, dalam sehari dua puluh empat jam.”
“Mungkin karena itulah agaknya, mereka memakai perabotan yang compact.”
Ketika Jumat, 26 Desember, malam ada acara Pick Andy, saya tak sengaja menonton programnya. Di televisi tampak Megawati Soekarno Putri, sebagai tamu. Di Studio ada juga suami Mega, Taufik Kiemas. Di sampingnya ada Puan Maharani. Di kursi deretan belakang ada saudara Mega, macam Guntur, juga deretan keponakan Mega. Tampak pula di jajaran ini Rano Karno, artis yang kini menjadi birokrat itu.
Sudah lama saya tak menyimak acara Kick Andy, sebuah program televisi talkshow, yang ratingnya menurut Nielsen, Jakarta, mendapatkan angka tertinggi.
Saya justeru kaget melihat Andy terkesan “kikuk” mengajukan pertanyan yang mungkin sudah ditentukan itu. Apalagi sebagai sosok yang saya lihat sudah berumur, nenek dengan enam cucu, Megawati lalu menceritakan soal salah satu cucunya yang suka berbaju loreng, dan suka minta ikut ke istana di pagi hari di saat dia bekerja ke Istana Negara.
“Saya minta ke pengawal, agar memberikan saja kesempatan kepada cucu saya demikian. Berikan dia kepercayaan, “ tutur Mega di program teve itu.
“Sampai di Istana, cucu saya paling senang kalau di saat pengawal istana dengan pedang memberikan hormat kepada Presiden. Dia ikutan. Saya membenarkan sikapnya yang bertopi memberi hormat. Bangganya bukan main”
Saya perhatikan tajam wajah Megawati di teve. Rona wajahnya berkebaya merah, kendati bermake-up lengkap, tidak dapat menutup kesan bahwa waktu telah menggoreskan kesan tua.
Dengan cerita ihwal cucu tadi, memberikan citra tajam kepada saya, bahwa sudah selayaknya tokoh macam Megawati, menjadi Ibu Bangsa, yang mampu mengantar bangsa ini melakukan alih genarasi, mengantar sosok muda, macam Andy F Noya, misalnya, agar makin tinggi rating progranmnya, dengan terus menampilkan sosok yang memiliki sisi ceritera bermagnitud human interest, sebagaimana tamu-tamu Kick Andy lazimnya.
Sekelebat, saya membayangkan wajah SBY-JK, Gus Dur, Wiranto, Akbar Tanjung, Amien Rais, Sultan Hamengkobuwono, Prabowo Subianto. Mereka pemimpin senior, termasuk tua dalam usia.
Plus dengan Megawati, yang sudah pernah menjadi presiden. Ia kini mukim di jalan yang saya anggap terbaik di Jakarta, di rumah yang besar di Jl. Teuku Umar. Menteng, Jakarta Pusat- – lebar, di tengah dan kiri kanan jalan ditumbuhi pohon besar.
Menimbulkan pertanyaan bagi saya, apa lagi yang ingin dicari pemimpin senior itu dengan mentas kembali menjadi calon presiden di 2009?
Di alam demokrasi, memang tak ada hak seseorang melarang orang lainnya menjadi presiden.
Demokrasi berdasarkan suara terbnyak. Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah pula mengukuhkan keputusannya bahwa calon legislatif terpilih, dari berbagai partai kini, ditentukan perolehan suara terbanyak. Bukan lagi berdasarkan nomor urut.
Nah jika suara terbanyak diperoleh PDI-P, partainya Megawati, misalnya, dan partai ingin menjagokan Megawati kembali, siapapun tak dapat melarang, memang!
Itulah demokrasi!
Namun ketika mengingat kembali pertemuan kami di ruang kerja Andy F Noya di waktu silam, terkenang kisah Simon Perez ber-Casio, seorang pemimpin sederhana, bersahaja. Sulit mencari pemimpin Indonesia yang kini bersahaja karakter hidupnya.
Melekat pula ingatan saya bahwa sosok Simon, pun legowo memberikan kesempatan kepada tokoh baru macam Ariel Sharon, Ehud Olmert, perdana ad-interim, sekarang, tampil. Sebelumnya kita mengenal tokoh macam Yitzhak Rabin, Yitzhak Samir, Benyamin Netanyahu, antara lain di kancah politik Israel.
Simon Perez di mata saya laksana Lee Kuan Yew di dalam pemerintahan Lee Hsien Loong, memfasilitasi kepemimpinan berwarna, berganti.
Tentu Indonesia tak harus mencontoh terjadinya alih kepemimpinan macam dibunuhnya Yitzhak Rabin, 4 November 1995 agar pejabat berganti, kepemimpinan beralih. Tanah Yerusalem, Israel dan Palestina, yang macam kata isteri saya, sejak dia bocah dulu hingga mulai tumbuh ubannya hari ini, di televisi, selalu saja mengirim berita darah, darah dan darah.
SAYA menyimak siaran kanal teve Aljazeera di teve berbayar tadi malam. Pesawat jet pembom canggih Israel membom pemukiman di kawasan di Jalur Gaza, Palestina.
Bom bergetar, menggelegar.
Tanah mengawah basah darah.
Pemukiman sipil berserpihan
Anak-anak tak berdosa tercabik dada. Kaki, tangan, berpisah badan.
Pagi tadi saya ikuti kembali berita di teve, dada ini menyesak.
Hati ini seakan tercabik-cabik, melihat deretan 200-an lebih mayat disusun berjejer. Mereka berdarah bagaikan deretan hewan potong di pejagalan, bergelimpangan.
Ya Allah, tunjukkanlah umatmu yang selalu mengedepankan ego di berbagai ranah kehidupan kini, di seantero jagad kini.
Ya Tuhan berilah jalan bagi segenap umat di muka bumi, agar selalu berhijrah, menyemai damai.
Tuhan …
Mendarat di Tel Aviv, rombongan wartawan itu dijemput oleh seorang kolonel polisi yang bekerja di dinas penerangan Israel. Mereka naik mobil SUV mirip Kijang. Sesampai di kementerian penerangan Israel, rombongan diminta menunggu di sebuah ruang rapat kecil, minimalis. Kursi dan meja terkesan simpel; aluminium, dengan sekat kayu ringan, macam kursi taman. Lalu sang kolonel minta izin meninggalkan tempat sebentar.
Nah cerita selanjutnya ini, karena sang wartawan yang saya kenal baik itu suka mengeluarkan joke di tengah pembicaraan serius, acap menyelipkan canda, saya tak paham apakah yang diceritakannya berikut ini kepada saya benar adanya atau tidak. Yang pasti si wartawan itu memang menjadi salah satu tamu undangan pemerintah Israel.
“Kolonel itu rupanya mengganti bajunya, dengan pakaian biasa. Terkesan kian ramah.”
“Ketika kembali, dia menepuk bahu saya,” kata si wartawan pula, “Dan bicara dalam bahasa Indonesia: Ha, gimane di Jakarta, apa lagi musim duren? Gue kan sebelas tahun di Jakarta, tinggal di Ciputat. Ada duapuluh dua gerobak roti gue.”
Sang wartawan itu mengaku terperanjat.
Bertanya durian!
Tinggal di Ciputat.!
Mengusahakan roti!
Pernah pula beristerikan orang Indonesia.
Wartawan tadi layak kaget. Mengingat sepanjang perjalanan dari airport hingga ke kantor, sang kolonel tadi bertutur dalam bahasa Inggris. Eh, tahu-tahu bisa bahasa Indonesia. Apalagi tak ada hubungan diplomatik antara Indonesia-Israel?!
PADA suatu kesempatan di siang yang cerah, empat tahun silam, saya dan wartawan tadi bertandang ke kantornya Andy F. Noya, yang kala itu masih menjadi Pemimpin Redaksi Metro TV, di bilangan Kedoya, Jakarta Barat.
Pertemuan kami seakan ajang kengen-kangenan, karena dulu di era 1986, kami pernah bersama bekerja di majalah MATRA, yang kala itu berkantor di Setiabudi Building II, Kuningan, Jakarta Selatan.
Ruang kerja Andy, terkesan besar. Meja kerjanya jati dengan desain modern. Bila saya tak salah ingat ada empat teve menggantung di tengah ruangan yang menghadap meja Andy, dengan layar cukup besar, menyala berbeda kanal. Ambal di lantai tebal.
“Wah ruangan Anda ini begitu mewah, mengalahkan ruang kerja Simon Perez,” ujar sang wartawan, kawan saya itu. Perez adalah mantan Perdana Menteri Israel yang disegani.
Andy tertawa dan berbasa-basi, “Ah masak?”
“Benar. Anda tahu, jam tangan Simon Perez cuma Casio karet hitam, macam yang di jual di jembatan penyeberangan di Jakarta.”
“Itu negeri memang hidup dengan kesiapan perang di setiap saat, dalam sehari dua puluh empat jam.”
“Mungkin karena itulah agaknya, mereka memakai perabotan yang compact.”
Ketika Jumat, 26 Desember, malam ada acara Pick Andy, saya tak sengaja menonton programnya. Di televisi tampak Megawati Soekarno Putri, sebagai tamu. Di Studio ada juga suami Mega, Taufik Kiemas. Di sampingnya ada Puan Maharani. Di kursi deretan belakang ada saudara Mega, macam Guntur, juga deretan keponakan Mega. Tampak pula di jajaran ini Rano Karno, artis yang kini menjadi birokrat itu.
Sudah lama saya tak menyimak acara Kick Andy, sebuah program televisi talkshow, yang ratingnya menurut Nielsen, Jakarta, mendapatkan angka tertinggi.
Saya justeru kaget melihat Andy terkesan “kikuk” mengajukan pertanyan yang mungkin sudah ditentukan itu. Apalagi sebagai sosok yang saya lihat sudah berumur, nenek dengan enam cucu, Megawati lalu menceritakan soal salah satu cucunya yang suka berbaju loreng, dan suka minta ikut ke istana di pagi hari di saat dia bekerja ke Istana Negara.
“Saya minta ke pengawal, agar memberikan saja kesempatan kepada cucu saya demikian. Berikan dia kepercayaan, “ tutur Mega di program teve itu.
“Sampai di Istana, cucu saya paling senang kalau di saat pengawal istana dengan pedang memberikan hormat kepada Presiden. Dia ikutan. Saya membenarkan sikapnya yang bertopi memberi hormat. Bangganya bukan main”
Saya perhatikan tajam wajah Megawati di teve. Rona wajahnya berkebaya merah, kendati bermake-up lengkap, tidak dapat menutup kesan bahwa waktu telah menggoreskan kesan tua.
Dengan cerita ihwal cucu tadi, memberikan citra tajam kepada saya, bahwa sudah selayaknya tokoh macam Megawati, menjadi Ibu Bangsa, yang mampu mengantar bangsa ini melakukan alih genarasi, mengantar sosok muda, macam Andy F Noya, misalnya, agar makin tinggi rating progranmnya, dengan terus menampilkan sosok yang memiliki sisi ceritera bermagnitud human interest, sebagaimana tamu-tamu Kick Andy lazimnya.
Sekelebat, saya membayangkan wajah SBY-JK, Gus Dur, Wiranto, Akbar Tanjung, Amien Rais, Sultan Hamengkobuwono, Prabowo Subianto. Mereka pemimpin senior, termasuk tua dalam usia.
Plus dengan Megawati, yang sudah pernah menjadi presiden. Ia kini mukim di jalan yang saya anggap terbaik di Jakarta, di rumah yang besar di Jl. Teuku Umar. Menteng, Jakarta Pusat- – lebar, di tengah dan kiri kanan jalan ditumbuhi pohon besar.
Menimbulkan pertanyaan bagi saya, apa lagi yang ingin dicari pemimpin senior itu dengan mentas kembali menjadi calon presiden di 2009?
Di alam demokrasi, memang tak ada hak seseorang melarang orang lainnya menjadi presiden.
Demokrasi berdasarkan suara terbnyak. Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah pula mengukuhkan keputusannya bahwa calon legislatif terpilih, dari berbagai partai kini, ditentukan perolehan suara terbanyak. Bukan lagi berdasarkan nomor urut.
Nah jika suara terbanyak diperoleh PDI-P, partainya Megawati, misalnya, dan partai ingin menjagokan Megawati kembali, siapapun tak dapat melarang, memang!
Itulah demokrasi!
Namun ketika mengingat kembali pertemuan kami di ruang kerja Andy F Noya di waktu silam, terkenang kisah Simon Perez ber-Casio, seorang pemimpin sederhana, bersahaja. Sulit mencari pemimpin Indonesia yang kini bersahaja karakter hidupnya.
Melekat pula ingatan saya bahwa sosok Simon, pun legowo memberikan kesempatan kepada tokoh baru macam Ariel Sharon, Ehud Olmert, perdana ad-interim, sekarang, tampil. Sebelumnya kita mengenal tokoh macam Yitzhak Rabin, Yitzhak Samir, Benyamin Netanyahu, antara lain di kancah politik Israel.
Simon Perez di mata saya laksana Lee Kuan Yew di dalam pemerintahan Lee Hsien Loong, memfasilitasi kepemimpinan berwarna, berganti.
Tentu Indonesia tak harus mencontoh terjadinya alih kepemimpinan macam dibunuhnya Yitzhak Rabin, 4 November 1995 agar pejabat berganti, kepemimpinan beralih. Tanah Yerusalem, Israel dan Palestina, yang macam kata isteri saya, sejak dia bocah dulu hingga mulai tumbuh ubannya hari ini, di televisi, selalu saja mengirim berita darah, darah dan darah.
SAYA menyimak siaran kanal teve Aljazeera di teve berbayar tadi malam. Pesawat jet pembom canggih Israel membom pemukiman di kawasan di Jalur Gaza, Palestina.
Bom bergetar, menggelegar.
Tanah mengawah basah darah.
Pemukiman sipil berserpihan
Anak-anak tak berdosa tercabik dada. Kaki, tangan, berpisah badan.
Pagi tadi saya ikuti kembali berita di teve, dada ini menyesak.
Hati ini seakan tercabik-cabik, melihat deretan 200-an lebih mayat disusun berjejer. Mereka berdarah bagaikan deretan hewan potong di pejagalan, bergelimpangan.
Ya Allah, tunjukkanlah umatmu yang selalu mengedepankan ego di berbagai ranah kehidupan kini, di seantero jagad kini.
Ya Tuhan berilah jalan bagi segenap umat di muka bumi, agar selalu berhijrah, menyemai damai.
Tuhan …
catatan iwan piliang the Indonesian freedom writers