Persis di penghujung tahun 2011, di komplek tempat
tinggal saya diresmikan sebuah mini market, yang lokasinya sekitar 60 –
70 meter dari rumah saya. Keberadaan mini market itu langsung mendapat
sambutan hangat dari para penghuni komplek yang memang sangat
membutuhkan kehadiran mini market. Maklum, lokasi komplek kami yang di
atas bukit dan jalan yang naik turun, jauh dari jalan raya, tentu
menyulitkan kalau tak ada mini market di dalam komplek. Saya mengenal
para pegawai dan pramuniaga mini market itu sebagai pegawai dan
pramuniaga dari mini market yang sama yang lokasinya persis di pintu
gerbang kompleks, kira-kira 1,5 km dari mini market baru.
Kata mereka, mini market ini bukan milik seorang
terwaralaba, tapi asli milik pemegang merk waralaba. Pantas saja saya
lihat selain ukurannya yang lebih besar dari mini market sejenis pada
umumnya, juga komoditas jualannya lebih beragam dan komplit. Misalnya
produk white coffe merk tertentu yang hanya ada dijual di super
market besar – sesuai yang diiklankan, itupun seringkali kosong
stocknya – di mini market dekat rumah saya, produk itu dijual dan selalu
ada stocknya. Juga minyak zaitun yang umumnya tidak dijual di mini
market, tapi di mini market itu ada dijual. Saya jadi makin
menggampangkan kalau butuh sesuatu, tinggal jalan kaki saja.
Kemarin saya butuh obat tetes mata dan sebuah salep
penghilang nyeri otot untuk Ibu saya. Rupanya rak khusus obat-obatan
yang persis bersebelahan dengan rak kosmetik, kini sedikit bergeser.
Rupanya produk kosmetik yang dijual makin beragam. Saya sempat
celingukan mencari 2 barang yang saya butuhkan. Tapi yang berkali-kali
tertangkap mata saya justru kondom. Ya,kondom! Sebab produk itu
memonopoli satu baris rak paling atas. Aneka merk dipajang,
masing-masing stocknya sederet penuh, bahkan ada merk tertentu yang
rupanya punya banyak varian, ini terlihat dari warna kotak kemasannya
yang beraneka warna.
Setelah agak lama mencari, akhirnya ketemu juga
kotak obat tetes mata. Letaknya menyempil, hanya ada 2 merk yang dijual
dan masing-masing merk stocknya hanya ada 2 buah. Saya ambil kedua stock
dari salah satu merk. Tapi sampai capekmencari, saya tetap tak
menemukan salep pereda nyeri otot yang biasanya terpajang di situ.
Akhirnya saya tanyakan SPG yang bertugas. Dia jawab barang itu ada di
rak di belakang kasir. Kalau saya mau beli, tinggal bilang saja saat di
kasir.
Saya heran, kenapa kondom sevulgar itu dipajang di
rak berjajar dengan kosmetik dan obat-obat bebas lainnya? Sedang salep
keselo saja diletakkan dibelakang kasir. Bukankah seharusnya yang boleh
membeli kondom hanya orang tertentu? Yang sering saya temui, mini market
itu justru ramai dengan pengunjung anak-anak dan remaja ABG. Komplek
perumahan kami memang penghuninya rata-rata keluarga “tanggung”, yang
anak-anaknya masih kecil atau usia sekolah. Jadi pantaskah kondom
dipajang terbuka di rak yang hanya sejangkauan tangan anak remaja?
Di mini market memang umumnya di belakang kasir ada
rak barang jualan. Yang diletakkan di situ umumnya barang-barang yang
rawan dikutil. Misalnya susu formula bayi merk-merk tertentu yang mahal
harganya. Juga obat-obatan, vitamin, pasta gigi dan kosmetik yang cukup
mahal. Biasanya yang dipajang di rak hanya kotak kemasan saja dan label
harganya. Artinya, alasan pemilik mini market meletakkan item tertentu
di rak di belakang kasir adalah demi keamanan barang itu dari jangkauan
tangan-tangan nakal yang berniat mengutil.
Selain item barang yang saya sebutkan di atas,
rokok pun biasanya diletakkan di rak belakang kasir. Rokok termasuk
barang yang seharusnya hanya boleh dibeli oleh seseorang yang telah
berusia 18 tahun. Tapi saya tak yakin alasan peletakan rokok di rak
belakang kasir untuk menghindari pembelian oleh anak di bawah umur.
Sering kita lihat anak kecil umur 6 – 7 tahun pun bisa disuruh orang
tuanya membeli rokok. Tentu saja penjual tetap akan melayaninya asal si
anak membawa uang cukup. Tak pernah ada cerita penjual menolak anak di
bawah umur membeli rokok. Jadi, dugaan saya rokok tidak dipajang di rak
terbuka karena rokok termasuk barang yang rentan jadi obyek pengutilan.
Sekali lagi alasannya demi “keamanan” penjual, bukan demi pengetatan
pembeli.
Lalu bagaimana dengan kondom? Saya lihat label
harga yang tertempel di rak hanya belasan ribu saja. Tentu bukan barang
yang menarik untuk dikutil. Jadi pihak mini market tak merasa perlu
mengamankannya dari tangan-tangan jahil. Apalagi mengamankannya dari
tangan yang belum berhak membeli. Tampaknya penerapan aturan bahwa
barang tertentu hanya boleh dibeli orang dewasa, sama sekali diabaikan.
Sama halnya dengan miras/alcoholic drink
yang dipajang bebas di rak yang letaknya tak jauh dari rak penjualan
minuman bersoda, di super market- super market besar lisensi asing.
Bahkan di sebuah mini market di kawasan Benhil yang letaknya persis di
belakang gedung perkantoran mewah di jalan Sudirman, saya lihat miras
kalengan diletakkan dalam kardus yang digeletakkan begitu saja dalam
jarak semeter dari pintu mini market.
Di negara maju sekali pun, pembelian dan penjualan
rokok dan minuman beralkohol dibatasi. Mereka konsekwen dengan aturan
yang ditetapkan dan pedagang retail pun mematuhi aturan itu. Tentu ini
karena fungsi kontrol berjalan baik dan adanya penerapan sanksi bagi
yang melanggar. Bagaimana di Indonesia? Aturan itu hanya tertempel di
kemasan saja. Sudah saatnya pihak yang berwenang memberlakukan aturan
bagi mini market dan super market, tentang pemajangan item barang
tertentu yang hanya boleh di beli oleh orang berusia tertentu.
Kondom bukanlah barang kebutuhan pokok, bukan pula
obat sejenis obat bebas semacam obat flu, sakit kepala atau obat diare.
Mereka yang membutuhkan tentu mau sedikit berupaya datang ke apotik dan
memintanya dari penjaga apotik. Bukan siapa saja bisa meraihnya dari rak
seperti membeli permen dan cemilan. Kalau pembeliannya saja melanggar
aturan, bagaimana bisa dijamin penggunaannya tidak disalah gunakan?
Memang perlindungan konsumen di negara kita masih jauh panggang dari
api. Siapa yang peduli?!
catatan ira oemar freedom writers kompasianer