Ketika pulang dari acara Bakti Sosial di kampunya
Siti, di Kabupaten Lebak, 10 hari yang lalu, dalam perjalanan menuju
Kota Cilegon saya dikagetkan dengan celetukan salah satu teman yang
mengkomentari papan iklan bergambar ibu Atut, Gubernur Banten. Dia
menyayangkan Banten yang sejak dulu dikenal sebagai daerah yang sangat
religius Islami, kenapa pemimpinnya tak mengenakan busana sesuai syariat
Islam. Saya perhatikan baik-baik papan iklan itu, ternyata benar! Foto
ibu Atut sama sekali tak mengenakan jilbab atupun kerudung.
Saya pikir
itu mungkin foto lama, foto di saat Bu Atut memang belum berjilbab. Tapi
teman saya meyakinkan bahwa itu foto terbaru, sebab wajahnya pun tampak
wajah bu Atut yang makin hari kian “cling” saja.
Ternyata beberapa hari kemudian saya baru
menyadari, papan iklan bergambar bu Atut yang selalu saya lewati setiap
hari saat berangkat dan pulang kantor, sama persis dengan papan iklan
yang saya lihat di Kabupaten Pandeglang beberapa hari lalu. Sama-sama
tak berjilbab. Lucunya, papan iklan berukuran besar dan berkaki baja itu
memiliki 2 sisi, dan gambar di kedua sisi berlawanan. Sampai beberapa
minggu lalu, kedua sisi papan iklan itu sama-sama bergambar bu Atut
dengan 2 kegiatan yang berbeda, tapi sama-sama mengenakan jilbab.
Seingat saya gambar di papan iklan itu memang dipasang menjelang Pilgub
Banten tahun lalu.
Papan iklan yang terletak persis di seberang jalan
masuk menuju kompleks perumahan Puri Krakatau Hijau itu pada sisi yang
menghadap ke selatan, bergambar bu Atut dalam kegiatan di Posyandu,
mengenakan jilbab. Sedang di sisi yang menghadap ke utara, gambar yang
baru saja diganti, bergambar himbauan untuk membayar pajak, bergambar bu
Atut tanpa jilbab.
Ternyata gambar yang sama persis saya temukan di
pagar depan kantor Dispenda dekat Samsat Cilegon. Iklan layanan
masyarakat tentang pajak itu juga bergambar bu Atut tanpa jilbab. Saya
sempat mengambil gambar kedua sisi papan iklan yang di kawasan Grogol,
depan Puri Krakatau Hijau. Untuk yang di depan Samsat tidak saya ambil
karena gambarnya sama persis.
Semua masyarakat Banten tahu, ketika menjelang
Pilgub Banten, setidaknya pasca lebaran 2011, sejak bu Atut mantap
memilih Rano Karno sebagai pasangannya, beredar poster, spanduk, baliho,
umbul-umbul yang bergambar pasangan Atut – Rano dengan penampilan bu
Atut memakai busana Muslimah warna putih lengkap dengan jilbab putihnya.
Sedang Rano Karno mengenakan baju koko, kopiah hitam dan berselendang
sarung.
Dalam setiap penampilannya selama berkampanye – baik di panggung
kampanye maupun acara debat kandidat di TV – pasangan Atut – Rano ini
selalu mengenakan “seragam” kampanye seperti yang dikenakan dalam foto
resmi pasangan tersebut, yang juga dipakai sebagai tanda gambar resmi
yang dicetak di surat suara.
Ternyata, ketika saya googling, saya
temukan spanduk bergambar ibu Atut di setiap event memperingati hari
tertentu, semasa masih belum memasuki masa kampanye, semuanya tidak
mengenakan jilbab. Baik itu foto ibu Atut sendirian maupun bersama Wagub
Banten saat itu, Masduki. Gambar-gambar itu saya download dari situs
resmi humasprotokol.bantenprov.go.id. Bisa dilihat, sampai Ramadhan 2011
– sekitar 3 bulan sebelum Pilkada Gubernur Banten – foto ibu Atut yang
dipajang masih tidak mengenakan jilbab. Begitupun foto kegiatan ibu Atut
ketika HUT RI ke-66 tanggal 17 Agustus 2011, sekitar 2 bulan sebelum
Pilgub, masih tidak berjilbab.
Tampaknya, foto berbusana Muslimah plus jilbab putih itu memang di-release
khusus untuk foto kampanye Pilgub semata. Itu sebabnya, kini, pasca
dilantik kembali, foto-foto di berbagai papan iklan yang sudah sempat
diperbarui kembali foto tanpa jilbab.
Saya jadi ingat ibu Megawati saat akan maju dalam
Pilpres 2004 berpasangan dengan K.H. Hasyim Muzadi. Saat itu sempat
beredar poster dan sticker bergambar foto Mega – Hasyim dimana Megawati
mengenakan kebaya berwarna merah agak pink. Tapi menjelang penetapan
pasangan sekaligus pengesahan foto pasangan capres yang akan dicetak di
surat suara, Mega menarik foto itu dari KPU dan menggantinya dengan foto
dirinya berbusana Muslimah plus kerudung warna merah. Ketika
berpasangan dengan Prabowo pada Pilpres 2009, kembali foto berkerudung
itu yang dipakai sebagai foto saat kampanye.
Jadi, seharusnya kita sebagai rakyat paham betul,
bahwa busana yang dianggap identik dengan ciri khas penganut agama Islam
memang selalu digunakan oleh hampir semua calon yang berlaga dalam
pemilu, baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu kepala daerah
(pilkada) bahkan sampai pemilu presiden (pilpres) sekalipun. Ini wajar,
penduduk beragama Islam – setidaknya ber-KTP dengan tulisan “Islam” di
kolom agama – jumlahnya mencapai sekitar 85%-an. Secara proporsional, di
hampir semua daerah – kecuali daerah yang memang secara historis
penduduknya menganut agama selain Islam – pemilih Islam adalah
mayoritas. Maka, mereka perlu “dirayu” dengan penampilan calon yang
“Islami”.
Coba saja perhatikan para kandidat Cagub/Cawagub,
Cawali/Cawawali, Cabup/Cawabup, umumnya jika pria mengenakan baju koko
dan kopiah hitam atau topi putih – yang diidentikkan dengan topi “haji”
padahal berhaji justru tak boleh memakai tutup kepala bagi kaum pria .
Sedangkan calon yang wanita kebanyakan mengenakan busana muslimah plus
jilbab atau kerudung. Apakah kesehariannya memang mengenakan busana
seperti itu? Tentu harus benar-benar dilihat faktanya. Mulai kapan
berbusana muslimah, apakah menjelang ikut dalam ajang kompetisi politik,
atau memang sejak lama.
So, bagi yang masih meributkan busana sebagai
indikator ke”sholeh”an seorang calon atau sebagai tanda religiusitas
sang calon, silakan berpikir, cukup rasionalkah menggugat kadar iman
seorang calon pemimpin dari busananya? Bagaimana kalau pakaian itu hanya
dikenakan sebagai simbol saat menjelang kampanye dan ditanggalkan pasca
terpilih? Kalau pakaian saja bisa dengan mudah dilepas – pakai, maka
rasanya tak pantas energi kita dihabiskan hanya untuk saling serang dan
berdebat kusir soal pakaian yang dikenakan calon dalam foto resminya.
Semoga foto-fot berikut cukup menjadi bukti, bahwa pakaian sama sekali
tak menggambarkan apapun soal pribadi sang calon. Mari mendukung dengan
rasional, bukan dengan emosional.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer