Uang adalah alat tukar yang sah untuk
melakukan transaksi baik barang maupun jasa, dalam peradaban masyarakat
modern. Dengan adanya uang, setiap orang yang membutuh barang atau jasa
apapun, tak perlu lagi repot memikirkan alat tukar apa yang setara
dengan barang/jasa yang dibutuhkannya, sebaliknya pemilik barang atau
penyedia jasa juga tak perlu susah memikirkan pengganti apa yang tepat
sebagai penukarnya.
BARTER DAN PRINSIP KESEPAKATAN
Sebelum mengenal uang, masyarakat jaman dulu
melakukan barter dalam bertransaksi. Tak terbayang repotnya kalau saya
ingin masak seekor ayam panggang untuk makan malam sekeluarga. Saya
harus mencari pemilik seekor ayam (hidup) yang bersedia menukar ayam
miliknya dengan barang yang saya tawarkan sebagai penukar. Katakanlah
saya punya sekantong gandum atau sekarung tebu, belum tentu pemilik ayam
membutuhkan kedua benda yang saya tawarkan. Jadi saya harus mencari,
sampai ada pemilik ayam yang ikhlas menukar ayamnya dengan benda
tersebut.
Seorang pemburu yang membawa pulang hewan
buruan seekor rusa untuk ditukar dagingnya tentu beda kadar alat
tukarnya dengan pemburu ulung yang membawa pulang hasil buruan seekor
beruang besar yang telah dikuliti dan kulitnya bisa dipakai sebagai
selimut di musim dingin, saat manusia masih hidup di gua-gua. Jadi dalam
sistem barter, kesepakatan antara “penjual” dan “pembeli” atas alat
tukar yang dianggap setara untuk dipertukarkan, menjadi pertimbangan
utama.
Seorang atau sekelompok pemburu yang akan melepas kulit
beruang miliknya, tentu berhak menentukan alat tukar apa yang
dianggapnya sesuai sebagai pengganti keberaniannya menaklukkan beruang.
Dan mereka yang membutuhkan kulit beruang, juga menyadari bahwa mereka
harus menyediakan penukar yang lebih banyak.
Dalam bahasa agama Islam, jual-beli atau muamalah mensyaratkan adanya “akad” sebagai salah satu syarat sah-nya jual beli. Si
penjual ikhlas melepas barang dagangannya dengan harga tertentu, sedang
pembeli pun ikhlas menebus barang yang dibutuhkannya dengan harga
tersebut. Misalnya sebuah sandal jepit dijual dengan harga Rp.
10.000,- dan pembeli setuju membelinya dengan harga itu, maka sah-lah
jual beli itu. Bahkan seandainya barang yang sama dijual dengan harga
Rp. 15.000,- sepanjang pembeli setuju, maka tak jadi masalah.
Ini
terjadi misalnya ketika saya dan teman-teman harus membeli sebotol air
mineral dengan harga beberapa kali lipat dari harga bandrol, ketika kami
membelinya di perkampungan Baduy Dalam. Pembeli umumnya ikhlas membeli
dengan harga tinggi, mengingat penjualnya pun harus menggendong barang
itu dengan susah payah untuk berjualan di sana. Karena
mensyaratkan adanya kesepakatan harga, maka dalam jual beli sah-sah saja
adanya tawar menawar, sampai tercapai kata sepakat.
JUAL BELI YANG “MEMAKSA” DAN MENGABAIKAN KESEPAKATAN
Kini, dalam peradaban masyarakat modern,
dimana pembayaran tidak hanya dilakukan dengan uang tunai, tetapi bisa
menggunakan kartu debit dan kartu kredit, seringkali harga barang yang
ditawarkan tidak bisa dikonversi dengan nilai nominal mata uang yang
tersedia. Sebut saja harga yang berakhiran Rp. 999,-. Umumnya super
market besar atau hyper market bersaing dengan mengklaim mereka menjual
barang dengan harga termurah. Bahkan berani menggaransi jika ditemukan
barang yang sama di toko lain dengan harga lebih murah, mereka bersedia
mengganti 2x lipat dari harga yang ditawarkan. Akibatnya, harga yang
ditetapkan pun berakhiran Rp. 99,- , Rp 10,-, Rp. 5,- dll, yang penting
bisa dianggap lebih murah.
Tapi benarkah super market konsisten dengan
harga yang mereka tetapkan? Jika harga yang ditetapkan tidak bulat
seperti nilai nominal uang yang diterbitkan Bank Indonesia, apakah
konsekwensinya mereka menyediakan uang kembalian? Ternyata tidak. Dalam
prakteknya, setelah barang belanjaan dijumlah, nilai akhirnya dibulatkan
ke atas. Lalu, apa artinya harga termurah jika ternyata selisih harganya tak bisa dinikmati konsumen? Bukan hanya selisih harga 5, 10, 25 rupiah yang dibulatkan ke atas, seringkali
kembalian yang menjadi hak konsumen pun tidak dibayarkan semestinya,
terutama jika kembalian itu kurang dari seribu rupiah.
Acapkali kembalian dengan akhiran Rp 50,-
dianggap tidak perlu dibayarkan. Sedangkan kembalian Rp. 100,- dan
kelipatannya diganti dengan permen. Permen yang diberikan pun bukan atas
pilihan konsumen. Jadi, pada dasarnya dalam kasus kembalian diganti permen, mengabaikan prinsip “kesepakatan” antara pembeli dan penjual.
Pertama : pembeli tak pernah berniat membeli permen, kedua : belum
tentu permen yang dijadikan sebagai “alat tukar” adalah permen yang
disukai pembeli. Selain itu, benarkah harga nominal permen itu memang mewakili uang Rp. 100,-?
Yang jelas, permen-permen itu untuk selanjutnya tak punya daya beli dan tak berfungsi sebagai nilai tukar.
Tak percaya? Coba kumpulkan kembalian berupa permen dari supermarket.
Kalau jumlahnya sudah mencapai 10 biji atau lebih, coba tukarkan ke
supermarket dengan sebatang wafer atau coklat caramel yang harganya
seribuan. Dijamin kasir pasti akan menolak pembayaran itu. Padahal, sekecil apapun nominal sebuah uang, ia tetaplah punya daya beli. Masih ingat kasus Coin untuk Prita
tahun 2009 lalu? Bukankah dari coin recehan Rp. 100,- - Rp. 500,- bisa
terkumpul uang ratusan juta rupiah? Kini, ada pula gerakan “Coin a Chance”
yang mengumpulkan uang recehan untuk dipakai membiayai sekolah
anak-anak dari keluarga tak mampu yang masih berkeinginan kuat
melanjutkan sekolah. Jadi, jangan remehkan daya beli sebuah uang, itu
jika kita menghargai rejeki, sekecil apapun.
Saya pernah berbelanja di sebuah mini market,
pagi hari saat baru buka dan pegawainya baru datang. Ketika hendak
membayar, kasir yang baru saja menghidupkan komputer dan membuka laci
yang masih kosong, kemudian membuka tas-nya mengambil seplastik besar
uang. Ada beberapa ikat uang kertas yang dipisahkan sesuai nominalnya.
Ada pecahan Rp. 20.000,-an, Rp. 10.000,- dsb. Dan…, beberapa bungkus
permen! Kasir lalu memasukkan uang-uang kertas itu ke laci sesuai
sekat-sekat yang ada, merobek sebungkus permen dan menuangkannya ke
kotak yang tersedia untuk uang receh. Ooh…, jadi rupanya pemilik mini
market memang sudah membekali kasir dengan permen sebagai pengganti uang
receh. Padahal, sebungkus permen itu tentu diambil dari barang
dagangan, yang nota bene harganya adalah harga kulakan, tapi kemudian
dihargai Rp. 100,-/biji.
Artinya, ada pengabaian hak konsumen untuk mendapatkan harga yang semestinya.
Janji akan memberikan harga termurah, jadi tak sesuai karena ternyata
selisih lebih murah yang hanya sekian rupiah itu tak bisa dinikmati
konsumen, bahkan ada kemungkinan konsumen dirugikan karena nilai nominal
kembalian permen tak setara dengan nilai uang kembalian yang
sebenarnya. Semisal kembalian Rp. 375,- hanya akan diganti 3 butir
permen.
SOLUSI AGAR KEMBALIAN PERMEN TETAP BERDAYA BELI
Untuk mengatasi hal itu, ada baiknya jaringan
super market dan minimarket itu menyediakan permen yang mereka kemas
dengan merk mereka sendiri lalu di bungkusnya diberi nominal. Misalnya Rp 75,-, Rp. 100,-. Saya sering melihat di mini market ada produk tissue, kapas, cotton buds, air minum kemasan, cemilan dan aneka produk toiletteries
yang diberi kemasan ber-label nama mini market itu. Memang jaringan
mini market itu tak memproduksi sendiri, mereka hanya bekerjasama dengan
pabrikan untuk menyediakan produk yang mereka inginkan – mungkin dengan
kualitas yang sedikit diturunkan standarnya – lalu dikemas dan dilabeli
nama mini market. Itu sebabnya harga produk ber-merk mini market itu
biasanya harganya lebih murah. Jadi, ide untuk memproduksi permen
sendiri ber-merk mini market itu, sebenarnya tidaklah sulit
direalisasikan.
Sedangkan pemberian nilai nominal untuk
menunjukkan nilai nominal dari permen itu setara dengan uang kembalian
berapa rupiah. Selanjutnya, konsumen bisa saja mengumpulkan
permen-permen itu dan kelak bisa ditukarkan untuk membeli barang di mini
market yang sama. Bukankah dengan demikian permen kembalian itu tak kehilangan fungsinya sebagai nilai tukar? Pun juga hak konsumen tak ada yang terkurangi.
Uang kembalian yang diganti permen selama beberapa kali berbelanja,
tetap bisa ditukar barang yang dikehendaki, sesuai kebutuhan konsumen.
Misalnya ditukar sebotol air minum kemasan atau sebungkus tissue travel pack bahkan sekantong cemilan.
Prinsip “kesepakatan” pun tak diabaikan.
Sebab konsumen sepakat untuk menerima kembalian berupa permen yang
kelak bisa ditukar dengan barang yang dia butuhkan dan penjual sepakat
untuk menerima kembali pembayaran berupa permen untuk nantinya digunakan
kembali untuk membayar kembalian. Ide macam ini tentu baru bisa
diaplikasikan jika ada itikad baik dari pemilik jaringan mini market dan
super market, untuk menghargai hak konsumen dan menghargai uang sebagai
nilai tukar yang memiliki daya beli.
Praktik mengganti kembalian dengan permen ini
hanya ada di Indonesia. Di negara lain, pihak penjual konsekuen
menyediakan uang kembalian sampai nilai terkecil. Di Jepang misalnya,
kembalian 1 Yen pun diberikan kepada konsumen. Di depan kasir memang
tersedia kotak kaca – semacam kotak amal di sini – jika konsumen berniat
ingin memasukkan uang recehan, itu keputusan konsumen sendiri. Bukan
seperti di sini, dimana konsumen digiring untuk mengiyakan saja ketika
kasir menanyakan : “kembaliannya didonasikan saja ya Pak/Bu?”.
Di beberapa negara lain juga tersedia coin
pecahan sen. Misalnya 50 sen Malaysia. Jadi tak ada hak konsumen yang
diambil paksa dan ditukar dengan benda yang belum tentu setara nilai.
Kalau bukan kita yang menghargai nilai uang kita sendiri, siapa lagi?
catatan ira oemar freedom writers kompasianer