Ketika kehidupan masih sederhana, piranti teknologi
komunikasi masih sangat terbatas, interaksi umat manusia hanya sebatas
interaksi langsung. Tapi dengan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi, terlebih setelah internet mendominasi hampir semua sisi
kehidupan, manusia hidup di 2 dunia : dunia nyata dan dunia maya. Betapa
tidak, ada beragam situs jejaring sosial yang memungkin orang
berinteraksi dengan banyak orang sekaligus, meski berada di belahan
dunia yang berbeda dan meski tak saling kenal sebelumnya. Di dunia maya,
seperti halnya di dunia nyata, orang bisa menyatakan pendapat, bisa
curhat, bisa mengekspresikan emosinya, bisa bertanya banyak hal, bisa
berdiskusi bahkan bisa berbisnis.
Bedanya, jika di dunia nyata seseorang harus jelas
identitasnya, maka di dunia maya justru sebaliknya : bisa dengan bebas
menyembunyikan identitas. Toh alamat di dunia maya tak mudah untuk
dilacak, apalagi jika online menggunakan jaringan yang
berbeda-beda dan pindah-pindah tempat, semisal di warnet. Karena itu,
pilihan untuk menampilkan jati diri atau tidak, sepenuhnya ada di tangan
pengguna. Alasannya pun beragam. Ada yang memang merasa perlu menutupi
identitasnya karena alasan keamanan atau sekedar untuk having fun,
namun ada pula yang menyembunyikan identitas agar bisa berbuat sesuka
hati tanpa perlu bertanggungjawab. Semua alasan dan tujuan itu pun
terpulang kepada penggunanya.
Kita tak bisa serta merta men-judge bahwa
sebuah akun di media sosial yang menggunakan nama samaran serta memasang
bukan foto diri adalah akun yang pemiliknya bertujuan jelek. Sebab hal
itu baru bisa diketahui dari bagaimana penggunaan akun itu. Ada akun
dengan nama dan foto palsu yang dalam berinteraksi cukup santun,
beretika dan tak pernah berbuat buruk pada sesama pengguna internet.
Tapi ada pula akun yang sengaja dipakai untuk menyerang pendapat pihak
lain atau bahkan menyerang pribadi seseorang, untuk menyebarkan suatu
paham tertentu atau bahkan sekedar “menyampah” di dunia maya, mumpung
tak kelihatan jati dirinya.
Sebaliknya, akun yang jelas menggunakan nama asli lengkap sesuai yang tercantum dalam KTP, memasang foto diri close up,
tapi akunnya digunakan untuk hal-hal yang kurang baik dan tak
bertanggungjawab. Sebagai contoh, di Kompasiana misalnya, pernah ada 3
akun milik bapak Iman Rachman, ibu Novi Touristiani Susan dan seorang pelajar Rifka Novia
yang ternyata mereka satu keluarga (bapak-ibu-anak), dimana akun-akun
mereka digunakan untuk membuat tulisan plagiat antar mereka, lalu
diikutsertakan dalam lomba-lomba yang diadakan sponsor Kompasiana. Cukup
satu tulisan, lalu didaur ulang menjadi 3 tulisan, supaya probabilitas
menang lebih besar.
Ketika saya tanyakan mengapa mereka melakukan
kebohongan dan kecurangan seperti itu, baik pak Iman maupun ibu Novi
berkilah bahwa semua itu hanya fitnah, namun tak mampu menjelaskan
bantahan atas bukti-bukti otentik, termasuk foto keluarga mereka yang
dimuat di media lain. Mereka beragumen bahwa bagi mereka Kompasiana
hanyalah bagian kecil saja dari kehidupannya. Secara tak langsung,
keduanya memamerkan bahwa mereka memiliki kehidupan yang cukup mapan di
dunia nyata dan punya bisnis yang baik.
Nah, justru disinilah letak kejanggalannya menurut
saya. Jika kita punya kehidupan mapan di dunia nyata, punya reputasi
baik dan bisnis yang sukses di dunia nyata, kenapa kita harus mencemari
nama baik sendiri dengan perbuatan tak terpuji di dunia maya? Pengalaman
Ibu Novi memenangi lomba penulisan yang diadakan oleh produk teh, yang
tujuannya untuk memberikan testimoni positif atas produk tersebut,
rupanya membuat keluarga itu berambisi untuk memenangkan lomba-lomba
sejenis. Nah, dengan melakukan plagiat antar keluarga lalu
bukti-buktinya ditulis di media sosial dan di-share ke FB dan Twitter,
bukankah ini justru merusak reputasi Ibu Novi? Dan justru menutup
peluangnya untuk menang.
Itu hanyalah sebuah contoh akun dengan nama dan
foto asli, tapi digunakan untuk maksud tak baik dan justru jadi bumerang
mencoreng nama baik mereka sendiri. Contoh lain adalah Kompasianer AS
yang bulan Maret lalu sudah berpamitan untuk “pisah ranjang” dengan
Kompasiana. Meski memasang foto diri jelas, mencantumkan alamat blog
pribadinya, dimana pada blog pribadi beliau mencantumkan “titel” haji
dan sederet profesi yang digelutinya, tapi ternyata di Kompasiana bapak
AS ini tak segan-segan melakukan plagiat dan daur ulang dari tulisan
sesama Kompasianer, bahkan terakhir menebar fitnah keji kepada 15
Kompasianer yang dianggap telah “menelanjangi” aksi kebohongannya dalam
menulis.
Memang, dalam dunia maya, tanggung jawab atas
perbuatan kita tak diterima secara langsung dan instant. Kalau di dunia
maya anda memukul/menggampar seseorang, maka anda akan mendapat balasan
pukulan/gamparan atau bisa lebih parah diadukan ke polisi dengan tuduhan
melakukan penganiayaan. Jika di dunia nyata anda mencuri karya orang
lain, bisa langsung dipidanakan dan dapat berakibat denda yang sangat
besar. Tapi di dunia maya, anda bisa mencerca orang sesuka hati,
“menghantami”nya sampai babak belur, mem-bully secara psikis sampai mental lawan anda down,
mencuri karyanya, paling-paling cuma akan berbalas cacian, makian, atau
akun anda ditutup/diblokir karena dianggap melanggar ketentuan yang
berlaku.
Sejak awal mengenal internet, saya memang memilih
menggunakan identitas asli. Alamat email saya sejak dulu sampai sekarang
tak berubah, nama asli saya. Begitupun ketika membuat akun di FB,
tujuan saya ingin menemukan kembali teman-teman saya di masa lalu – SD,
SMP, SMA – dan menjalin silaturahmi lagi dengan mereka. Benar saja,
hanya dalam hitungan 4 bulan sejak punya akun FB, saya “bertemu” kembali
dengan teman-teman sekolah dulu dan bahkan menggagas reuni akbar bulan
depannya. Tak terbayang kalau akun FB saya memakai nama samaran dan
bukan foto diri. Seorang teman pernah mengeluhkan dirinya sering ditolak
ketika meminta pertemanan pada eks teman sekolahnya dulu. Teman saya
yang lain langsung menyahuti : “bagaiman orang tahu kalau itu dirimu?
Nama, bukan namamu. Foto, bukan fotomu. Jangan salahkan yang me-reject dong”.
Pun juga ketika mulai tertarik untuk membuat akun
di Kompasiana, saya memakai nama asli. Buat saya sendiri, memakai nama
asli dan memasang foto diri membuat saya lebih berhati-hati dalam
berinteraksi di dunia maya. Ini jadi semacam fungsi kontrolbagi diri
saya, untuk tak melakukan kebohongan publik atau melakukan perbuatan
tercela lainnya. Bagaimana tidak, teman FB saya mayoritas adalah
orang-orang yang mengenal saya secara langsung : teman SD, SMP, SMA,
kuliah, teman kantor di Surabaya dulu, teman kantor saat ini, sanak
saudara dekat maupun jauh. Jadi dengan begitu saya terbiasa menampilkan
diri apa adanya.
Setelah mengenal Kompasiana lebih jauh, saya juga
bergabung dengan sebagian Kompasianer dalam grup-grup di FB bahkan
sebagian dari mereka punya pertemanan pribadi di FB saya. Meski sebagian
besar belum pernah kopdar - maklum, yang sering bertemu saya baru sebatas Mbak Mira
- tapi saya merasakan persahabatan yang tulus dan hangat dari sesama
Kompasianer. Solidaritas mereka sangat tinggi. Ketika ada yang “nyampah”
atau berkomentar tak sopan di tulisan salah satu, yang lain akan ikut
berkomentar atau melaporkan akun yang dianggap melanggar etika itu.
Di
sinilah saya makin merasakan bahwa mayoritas Kompasianer adalah
orang-orang yang bertanggungjawab, meski interaksinya sebatas di dunia
maya, namun mereka sadar betul bahwa perilaku di dunia maya pun dituntut
memperhatikan etika. Meskipun mungkin ada yang tak menggunakan nama
asli, namun tujuannya bukan agar bisa bebas berbuat apapun tanpa harus
bertanggungjawab.
Pertemanan di dunia maya yang dilandasi kejujuran,
keterbukaan, keikhlasan dan ketulusan, buat saya pribadi membuahkan
banyak manfaat, yang terkadang membuat saya terharu. Beberapa hari lalu
saat saya memposting status di FB bahwa saya sedang sakit batuk kering
dan dulu pernah sembuh berkat syrup obat batuk yang saya beli di Arab
ketika umroh, seorang teman FB dan teman Kompasiana saya langsung
bereaksi, mengirim BBM kepada adiknya yang sedang umroh dan sudah
bersiap pulang, untuk membelikan obat itu. Kemarin, kiriman obat itu
sudah saya terima, karena dikirim dengan paket same day service. Sungguh saya terharu dengan ketulusan Ibu Srie Kusumandari Dradjat ini. Meski kami belum pernah sekalipun berjumpa langsung.
Seorang teman FB lainnya yang seorang pengusaha
UMKM, sering men-tag foto-foto koleksi Rumah Sulam miliknya. Usahanya
memang memberdayakan perempuan-perempuan putus sekolah dengan pendidikan
hanya SD/SMP, diajari membordir dan menyulam, diajari internet, dididik
menjadi admin bagi akun FB Rumah Sulam-nya. Ketika beberapa minggu lalu
saya tertarik memesan selembar kain sulam dan selembar kain bordir,
betapa kagetnya saya saat 3 hari kemudian pesanan saya sampai, di
dalamnya ada selembar jilbab sulam dan sepasang sepatu pesta berbahan
beludru yang disulam. Saya pikir pegawainya telah melakukan kesalahan
pengiriman. Saat saya SMS, ternyata si pemilik Rumah Sulam itu sendiri
yang memberikan bonus benda-benda itu. Sungguh, pertemanan yang didasari
keikhlasan, sering membuat kita tak percaya bahwa sahabat di dunia maya
bisa sedemikian dekatnya dengan kita. Bukan semua pemberian itu yang
membuat saya terharu, tapi kepercayaan mereka untuk berbagi apa yang
mereka punya, meski tak kenal langsung.
——————————————————-
Kemarin pagi, saat sedang menunggu obat di apotik,
saya mendapat telpon dari seorang Kompasianer, sebut saja si A. Dengan
sedikit tegropoh-gopoh si A bercerita kalau tulisan salah seorang
Kompasianer diserang oleh seorang Kompasianer yang memang sudah lama
dikenal sebagai tukang rusuh. Si A sendiri tahu hal ini dari Kompasianer
B, yang saat itu sedang chating di Yahoo Messenger dengannya. Karena si
A tak bisa login Kompasiana, dia meminta saya membuka Kompasiana.
Sayang sekali, saya sendiri sedang tidak di rumah. Sampai di rumah pun
saya lebih memilih istirahat setelah minum obat.
Sorenya baru saya buka Kompasiana dan tahulah saya
tulisan yang dibikin rame itu. Ternyata itu tulisan lama, sudah tayang
10 hari sebelumnya dan saat itu sempat HL. Jadi si penyerang memang
kelihatan mencari-cari perkara. Dia membalas beberapa komentar orang
lain, sambil memprovokasi menjelek-jelekkan penulis artikel tersebut.
Fokusnya bukan pada adu argumen terhadap isi tulisan, tapi lebih kepada
menyerang pribadi dan menghina penulisnya. Baik hinaan secara fisik
maupun psikis. Kompasianer yang menyerang ini memang dikenal suka
menghina orang lain, merendahkan, membodoh-bodohkan atau menghina fisik.
Meski akunnya sudah diblokir 3x oleh Admin, ia tak jera juga mengulangi
kelakuannya.
Maka tak heran jika kemarin komentarnya langsung
mendapat “sambutan” perlawanan dari Kompasianer lain. Si penulis sendiri
baru muncul kemudian, karena saya dengar dari teman, ia sedang
terbaring sakit, jadi tak bisa merespon saat itu juga. Saya – seperti
juga 2 komentator yang telah menjawab komentar si penyerang sebelum saya
– jadi bertanya-tanya : apa ya tujuannya selalu merusuh ke lapak-lapak
orang lain? Kalau saya perhatikan, terutama yang dirusuh biasanya
tulisan yang HL, Terekomendasi atau masuk dalam salah satu kategori
ter-ter-an. Mungkinkah si penyerang merasa lebih eksis jika “aksi”nya
dibaca banyak orang? Sebab tulisan yang HL atau Terekomendasi umumnya
hit-nya tinggi dan yang berkomentar pun banyak.
Masih keheranan yang sama dengan Kompasianer lain,
kenapa ya si penyerang itu tak memaksimalkan energinya untuk berkarya
dan menghasilkan tulisan-tulisan bermutu yang bermanfaat atau setidaknya
disuka banyak orang? Salah satu komentar disitu menyebut “kayak kurang kerjaan”,
saya rasa ungkapan ini tepat karena untuk apa berkeliaran ke
lapak-lapak orang lain, mencari-cari tulisan yang sudah diposting
beberapa hari lalu, hanya untuk sekedar di rusuh.
Komentar lainnya bahkan secara sarkastik menulis : “beraninya sama perempuan. Pake rok aja lu XXXX”.
Pernyataan ini pun benar, sebab saya perhatikan penulis-penulis yang
dimusuhinya hampir semuanya perempuan. Mungkinkah ia lupa dirinya
terlahir dari rahim seorang perempuan? Mungkinkah ia lupa istri, ibu
dari anak-anaknya adalah seorang perempuan? Sungguh saya heran, jika ada
seseorang yang mengaku berjenis kelamin pria, tapi kerjanya memusuhi
kaum perempuan. Terkadang serangannya kepada pribadi Kompasianer lain
sangatlah tidak esensial : yang bedaknya tebal-lah, yang fotonya
menor-lah, yang giginya tonggos-lah, yang bodoh-lah.
Padahal, si pelaku mengaku dirinya seorang
entrepreneur. Kebetulan, selama puluhan tahun tinggal di Surabaya dulu
saya banyak mengenal teman yang jadi entrepreneur, baik yang sukses
banget maupun yang biasa saja. Setahu saya ciri khas mereka adalah
selalu mengembangkan pertemanan, menjaga silaturahmi dan berbaik-baik
dengan semua orang. Sebab siapapun bisa berpotensi menjadi pengembang
bisnisnya, peluas rizkinya. Ini juga sejalan dengan ajaran yang selalu
disampaikan motivator dan konsultan bisnis seperti Mario Teguh atau
Adrie Wongso.
Jadi, jika benar si penyerang itu memang punya
kehidupan baik di dunia nyata, untuk apa ia merusak citranya di dunia
maya? Untuk apa ia “bertopeng” dan mengindentikkan diri dengan tokoh
kartun jahat? So…, mungkinkah dia berkepribadian ganda? Entahlah. Yang
jelas, kemunculan akunnya yang ke-4 ini sudah dibicarakan di FB maupun
di YM oleh teman-teman Kompasianer, tepat saat pertama kali ia muncul.
Artinya, akun ini memang sudah jadi sorotan banyak pihak dan banyak pula
yang geram serta melaporkannya pada Admin, lagi dan lagi. Semoga saja
yang bersangkutan segera sadar, sudah banyak yang mendoakannya agar jadi
orang baik-baik. Tapi doa itu akan dijawab Tuhan hanya jika yang
bersangkutan juga mau berubah menjadi baik.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer