Sakura Lounge milik Japan Airlines di Bandara Narita medio Maret. Tersaji kehangatan alami dalam pagutan hawa dingin yang lalu lalang di luar sana. Regukan kopi mengalir hangat dalam kerongkongan saya. Itu memperhangat batang tubuh yang menggamitku menuju jamban umum yang hadir menjauh dari pandangan mata untuk menanggalkan jaket musim salju.
Waktu balik dari jamban umum, tas kecil dan komputer yang saya geletakkan di ruang tunggu khusus yang lapang itu masih tak beranjak dari tempatnya kendati banyak juga manusia lain yang duduk-duduk di sana. Berada dalam lingkungan orang yang menempati executive class, sel-sel benak saya tak mengirimkan sinyal waswas akan lenyapnya barang yang ditinggalkan begitu saja tak terjaga. Obsesi hendak menilep barang orang lain tak hadir dalam lingkungan yang berpunya ini dan memang A rich man never 'menilep'.
Gratis tersedia air mineral, jus, teh, kopi, wine, whisky, dan beragam minuman keras lainnya berderet memenuhi meja panjang ditingkahi makanan yang mewarnai meja di sebelahnya. Lambung saya tak berselera disentuh alkohol, kecuali paruh saya yang berkehendak dibasahi barang satu dua reguk minuman enteng.
Memendek usia saya setengah jam dalam ruangan ini yang diisi dengan memelototi catatan yang sudah dibuat serta melayangkan imel kepada bini yang menunggu di apartemen yang jauh. Tak lama berselang segera saja boarding menunggangi pesawat yang akan tinggal landas dalam waktu dekat.
Pernah dulu saya dan Natsuko pulang pergi ke Padang lewat Singapura menghenyakkan pantat di executive class Singapore Airlines. Andai saja sendirian saya terbang dalam executive class yang beralaskan uang sendiri, tentulah tak berbilang detik pedang samurai yang terpajang di dinding kamar akan diloloskan bini untuk membuat merih saya terbang melayang. Bersebab kantor yang menanggung biaya perjalanan ke Indonesia kali ini, maka bisa saya bersilantas angan merebahkan badan dalam executive class ini.
Seperti biasa, lebih suka saya menjadi salah seorang penumpang terakhir memasuki pesawat karena bisa berlenggang kangkung lewat begitu saja tanpa harus berhenti merayap menunggu penumpang memasukkan bagasinya ke dalam tempat penyimpanannya. Gadis sakura yang (mungkin) lebih cantik daripada bidadari memberi salam penuh senyuman memandu saya ke tempat duduk dalam ruangan pertama dari dua ruangan executive class yang tersedia. Tak lama berselang sudah muncul pramugari lain yang membawakan handuk tangan hangat dan minuman selamat datang (jus, bir, wine, dll.) di kabin yang mereka layani tersebut. Sudah barang tentu lidah kampungan saya lebih berminat pada segelas jus jeruk yang segar.
Tiap penumpang bagai berada dalam ruang tersendiri. Di depannya terpampang monitor televisi 10,4 inchi, ada power outlet untuk sumber listrik komputer, atau telepon khusus yang dibayar dengan kartu kredit. Kursi bisa direbahkan berbaring dengan tingkat derajat sesuka hati tanpa harus mengganggu penumpang di belakang sama sekali karena memang tempat duduk tersebut berada bagai dalam sebuah kotak. Atau bagian kaki saja yang diangkat. Tempat duduk lebar ini juga berfungsi sebagai mesin pijat punggung otomatis yang digawekan dengan hanya menekan tombol saja.
Kelihatannya hanya saya sendiri yang berkulit gelap dan selebihnya adalah manusia yang berkulit putih dengan matanya yang sipit-sipit. Boleh jadi pun ada di antaranya saudara kita yang keturunan Cina, mereka yang belajar dan bekerja rajin demi meraup kehidupan yang lebih baik di Indonesia. Suatu negara yang masih menyisakan udara diskriminasi buat semua mereka yang terlahir sebagai minoritas entah karena keturunan, agama, atau tingkatan sosial. Dalam executive class ini segala macam diskriminasi tersebut tidak menemukan tempatnya, setidak-tidaknya yang tertangkap oleh pancaindera saya.
Sebaris tempat duduknya terdiri dari 7 buah sementara di kelas ekonomi yang orang-orangnya kurang diberkahi Tuhan harus bersempit-sempit dengan tempat duduk yang 11 buah per barisnya. Boleh jadi juga diskriminasi Tuhan atau seleksi alam mampu membangkitkan keputusasaan pada sebagian penghuni economic class tersebut yang membandingkannya dengan kenyamanan di executive class.
Jelas, panorama yang terhampar dalam ruangan executive class jauh dari raungan orang-orang fanatik agama. Kalau semuanya, kecuali saya, dianggap orang Jepang, bolehlah dikatakan bahwa penghuni executive class ini adalah mereka yang terhindar dari pengaruh ajaran agama Semitik. Boleh jadi dari economic class akan mengapung gumamam ritual dari dasar hati penganut agama Semitik tersebut, "Penghuni executive class adalah kaum kafir yang dilaknati oleh Tuhan dan akan dipanggang abadi dalam api neraka."
Kepala-kepala botak memantulkan nipis sinar lembut ruangan yang temaram. Hampir semuanya berkacamata dan bahkan ada yang berkacamata dua untuk melihat jauh dan dekat. Kepala yang jarang bergerak kiri kanan, menghadapi lembaran kertas atau menonton televisi, dan tidak memedulikan orang kiri kanan dalam kesadaran privasinya yang tinggi. Tapi isi benaknya berputar melebihi 15.000 RPM atau 250 putaran per detik dengan konsentrasi yang tinggi, laiknya hard drive komputer yang supercepat membaca dan menulis data yang masuk. Dengan tingkat konsentrasi yang sangat tinggi ini, barangkali tidak akan mereka sadari manakala Tuhan Habe jalan telanjang melenggang di depannya.
Seringnya melamun atau bengong sendirian adalah produk dari kecepatan hard drive benak saya yang telat berevolusi. Waktu itu tersentak saya dari lamunan dan menyadari betapa hampir semua orang di sana tiba-tiba terburu-buru memasang headphone di kepalanya masing-masing sembari memelototi layar televisi besar yang terpampang di depan sana. Apa yang terjadi? Adakah Tuhan Habe jalan telanjang melenggang di layar televisi? Ternyata televisi NHK menayangkan siaran berita tepat pada pukul 11 siang dan ini tidak disia-siakan oleh kaum botak berkacamata yang senantiasa haus akan informasi baru tersebut.
Memang bagi mereka yang terlibat sebagai pengambil keputusan untuk menentukan nasib perusahaan atau negara, informasi yang terkini merupakan aset yang sangat berharga agar tetap bisa eksis kalaupun tidak sampai membanting lawan ke lantai dalam persaingan hidup yang kian mengglobal dewasa ini. Informasi yang bertumpuk akan mudah dimanfaatkan untuk mematahkan lengan atau batang leher lawan dan bahkan bisa memiuh merih suatu negara dari jarak jauh sebagaimana yang gampang dilakukan oleh pialang currency speculator atau stock investor kelas kakap sekaliber George Soros.
Kaum botak berkacamata ini memang pantas beroleh buah dari apa yang diperbuatnya selama ini, yaitu memanfaatkan waktunya yang sangat berharga dengan belajar dan bekerja sungguh-sungguh tanpa memedulikan hal-hal trivial seperti agama. Sementara itu mereka yang tidak menggunakan nalarnya secara optimal dan tidak mau berpikiran kritis akan tetap terbelenggu dalam kesempurnaannya yang bodoh tanpa menyadari kebodohannya yang sempurna.
catatan edizal the indonesian freedom writers