(sumber gambar : dari grup BBM)
Minggu malam lalu, usai taraweh BB saya berdenting pertanda ada pesan masuk di BBM. Tak lama dentingan itu disusul dentingan-dentingan berikutnya. Biasanya, kalau begini pasti grup BBM sedang rame. Ternyata benar, seorang member dari grup BBM kelompok perusahaan tempat saya bekerja, mengirim gambar seperti yang saya unggah di atas. Untaian kalimat yang menggambarkan betapa malang dan tragisnya nasib “karyawan sejati”.
Semula saya tak berminat ikut memberikan komentar. Tapi ketika seorang karyawan senior yang usianya lebih tua dari saya ikut menambahkan komentar yang seolah memperparah fakta, kemudian beberapa teman lain memberikan emoticon “jempol” atau sekedar memberi tanda “tag this picture as a favourite”, mau tak mau nurani saya tergelitik untuk ikut berpendapat.
Saya tulis komen : “Bukankah kita semua masih berstatus karyawan? Kalau kita masih mencari rizki dengan berprofesi sebagai karyawan, kenapa kita harus menjelek-jelekkan profesi sendiri? Kenapa harus menghinakan diri sementara dengan cara itu kita menghidupi diri dan keluarga selama ini? Sebaliknya, jika kita memang yakin bahwa menjadi karyawan itu sungguh tidak enak dan menderita, kenapa tetap bertahan jadi karyawan? Kenapa tak dari dulu berhenti saja jadi “kuli” pemilik perusahaan dan secepatnya membangun bisnis sendiri?
Setelah saya memposting komentar-komentar saya, tak ada lagi yang berkomentar. Entah kenapa. Apa yang dilakukan sebagian teman-teman saya itu adalah gambaran sebagian besar dari kita, yang selalu mengeluhkan kondisi yang dialami, tapi ironisnya tetap merasa nyaman dengan kondisi tersebut. Saya jadi ingat nasehat Pak Mario Teguh ketika beliau menjadi konsultan di perusahaan tempat kerja saya di Surabaya, sekitar tahun 2000-an. “Hanya kuda-kuda buruk yang makannya mundur. Ia makan rumput yang sudah diinjak-injaknya sendiri, bahkan mungkin sudah terkena tai (kotoran)-nya sendiri. Kuda-kuda baik makannya maju. Ia mengunyah rumput yang masih segar di depannya.”, ujar Pak Mario
Tengoklah para pekerja ini, di tengah terik mentari tetap harus kerja keras meski sedang berpuasa (foto : dokumentasi pribadi)
Ungkapan itu diberikannya saat memberikan gambaran tentang karyawan yang pengeluh dan selalu saja menjelek-jelekkan tempat dimana ia bekerja. Padahal, ia cari makan di situ; dari sana pula ia mencukupi seluruh kebutuhannya dan menikmati fasilitas yang diberikan perusahaan. Jadi tak salah kalau diibaratkan rumput yang sudah diinjak-injak, sudah dijatuhi kotoran, masih juga dikunyah. Lebih jauh Pak Mario mengibaratkan seseorang yang makan dari sebuah piring, lalu ia muntah di atas piring itu, tapi tetap memakan nasi dan lauk-pauk yang ada di piring tersebut. Membayangkannya saja sudah menjijikkan bukan?
Kembali ke soal BBM di grup perusahaan saya, agak lama kemudian seorang teman yang rupanya sejak tadi belum membaca postingan itu, kemudian ikut memberikan komentar dengan memberikan beberapa icon “jempol” pada komentar saya. Kontan, karyawan senior yang sedari tadi ikut memperparah kondisi, menambahkan “Mantab ya, loyalitas harga mati” katanya menyindir. Saya pun menimpali : “Ya iyalah Pak X…, wajar kan kita dituntut loyal selama kita masih bekerja di tempat tersebut? Coba bayangkan kalau PRT yang bekerja di rumah kita kemudian membocorkan rahasia rumah tangga kita atau menceritakan isi dan kondisi rumah kita ke tetangga sebelah, tentu kita gak mau kan?. Selama kita tidak bisa berlaku loyal, maka kapan pun dan dimana pun kita akan mendapat perlakuan tak menyenangkan, sebab hakikatnya di dunia ini tak ada yang menyukai pengkhianatan dan ketidaksetiaan.”
Saya menutup komentar saya di grup BBM itu dengan ajakan “Kenapa kita tidak bersyukur bahwa diri kita yang tidak hebat ini masih ‘laku’ jadi karyawan, disaat jutaan orang lainnya jadi pengangguran? Banyak-banyaklah bersyukur kita masih jadi pekerja di perusahaan yang masih eksis, disaat ratusan perusahaan lain gulung tikar, atau disaat para pemilik kios berduka karena pasar tempat mereka berjualan terbakar dan dagangannya amblas, justru menjelang Ramadhan, saat mereka butuh uang. Syukurilah apa yang kita dapat selagi kita belum mampu menggapai yang lebih dari itu.”
Menjelang maghrib, masih tak beranjak dari gorong-gorong. Masihkah kita tak bersyukur? (foto : koleksi pribadi)
Begitulah sebagian dari kita, sering dengan mudah tergiring untuk diajak berkeluh kesah dan menyesali habis-habisan kondisi kita. Tapi ironisnya, keluh kesah itu tak membuat kita “hijrah” dari kondisi itu. Sebenarnya, penyebab dari semua itu adalah ketidakmampuan untuk mensyukuri nikmat Allah. Apa yang sudah kita alami sehari-hari, terkadang terasa seolah “sudah seharusnya demikian”. Sudah seharusnya tiap akhir bulan saya terima gaji. Sudah seharusnya saya dihargai dan tidak dimarahi jika melakukan kesalahan. Sudah seharusnya tiap tahun gaji saya dinaikkan meski yang saya kerjakan dari tahun ke tahun tetap sama dan kemampuan saya tak meningkat. Sudah seharusnya posisi saya tak diutak-atik (tak dimutasi). Sudah seharusnya saya boleh pulang cepat.
Kita lupa bahwa di dunia ini semua terjadi atas sebab-akibat. Allah yang Maha Pengasih sudah menyediakan rizki bagi hambaNYA, tapi semua itu tak turun dari langit begitu saja. Allah yang Maha Tahu sudah punya takaran yang tepat atas rizki yang dibagikan pada hambaNYA, tak mungkin salah ukur, salah alamat atau tertukar dengan orang lain. Jika kita selalu melihat sisi buruk dari apa yang kita miliki, tentu tak ada yang bisa disyukuri. Alih-alih bersyukur, kita malah iri pada orang lain.
Padahal, kita lupa banyak orang lain yang jauh lebih menderita dan lebih susah jalannya menjemput rizki. Pekerja bangunan yang membangun gedung perkantoran di komplek grup perusahaan tempat kerja saya, tetap harus berpanas-panas bekerja kasar meski mereka berpuasa. Sore, 45 menit menjelang Maghrib saat saya pulang, mereka masih disitu sambil berkali-kali mengelap keringat. Sampai di rumah saya tak perlu bingung akan berbuka puasa dengan apa, tapi mereka.., mungkin mengandalkan pembagian takjil seadanya dari masjid.
Ada yang masih di bawah umur lho, mungkin remaja putus sekolah tingkat SMP. Meski kelelahan tetap bekerja (foto : koleksi pribadi)
Seperti kisah seekor ikan kecil yang mencoba mencari tahu apa itu “air”. Ia berenang dari hulu sampai hilir, tapi tetap tak ditemuinya jawaban apa itu air. Ia baru tahu eksistensi air ketika ia diminta meloncat dari pinggir sungai dan berada di atas batu selama beberapa saat. Baru ia sadar air itulah yang menjadi sumber kehidupannya selama ini. Kalau kita resign dan tak kunjung mendapat pekerjaan baru, mencoba berwirausaha tapi gagal karena minimnya pengalaman dan modal justru habis tak berbekas bahkan hutang menumpuk, mungkin baru kita menyadari bahwa menjadi karyawan itu ada enaknya. Setidaknya, tiap akhir bulan dapat gaji, menjelang hari raya dapat THR, mungkin juga sejumlah fasilitas lain bisa dinikmati.
Tentu saja tak ada di dunia ini yang semuanya enak. Pasti ada sisi tak enaknya. Saya pun pernah dimarahi boss saat hasil kerja saya kurang memuaskan, dianggap lambat, atau tindakan keliru dan fatal akibatnya. Tentu saya tak boleh pulang cepat, bukankah saya sudah mengikatkan diri untuk bekerja sesuai jam kerja yang diatur perusahaan? Tentu saya harus loyal, sebab mana ada perusahaan yang mau mempekerjakan karyawan yang suka membocorkan rahasia perusahaan atau menjelek-jelekkan perusahaan kemana-mana. Bukankah kepada pasangan pun kita menuntut kesetiaan? Apakah ada suami yang happy ketika tahu istrinya mengumbar keburukannya atau menceritakan betapa kecilnya gaji suami di arisan PKK? Adakah istri yang tak sakit hati saat tahu suami menceritakan ketidakpiawaiannya mengurus rumah tangga atau betapa borosnya si istri kepada rekan-rekan kantornya? Tidak ada! Begitupun perusahaan, mereka butuh mitra kerja yang loyal. Yang mau diajak bersama-sama menutupi aib perusahaan sambil berusaha memperbaikinya.
Pak Amien yang ikhlas menjalani profesinya, tak pernah menghinakan pekerjaannya berjualan sayuran yang dengan itu ia bisa menyekolahkan putrinya ke pesantren boarding school. (foto : koleksi pribadi)
Ketidakmampuan mensyukuri nikmat karena merasa “sudah seharusnya saya mendapat lebih dari itu”, akan membuat kita jadi enggan berbagi. Bagaimana mau berbagi, lha wong diri sendiri saja masih kurang kok?! Lupa bersyukur akan membuat kita selalu menengadah ke atas dan lupa menengok ke bawah. Akibatnya, kurang, kurang dan selalu kurang. Tak pernah merasa cukup. Kalau merasa cukup saja tak bisa, bagaimana mungkin akan merasa lebih? Padahal, hanya orang yang bisa merasa “lebih” yang mampu berbagi. Selama masih merasa kurang, kita justru akan selalu “minta diberi”.
Itu sebabnya banyak orang rela mengurus SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) saat ada pembagian BLT, meski sebenarnya ia masih cukup mampu. Jangan heran kalau Nopember 2011 di Pacific Place ribuan orang rela terinjak-injak karena memburu BlackBerry Bellagio dengan harga diskon, meski yang antri semuanya pemegang kartu kredit, yang notabene mereka dinilai punya penghasilan yang layak. Tak heran pula saat Dinas Perhubungan Jatim di Surabaya membagikan 3000 tiket mudik gratis, yang antri banyak yang dari penampilannya kelihatan orang “mampu”, sampai-sampai Ibu saya berkomentar : “Orang Indonesia kalau ada gratisan, ya pasti heboh, semua ingin kebagian” saat kami menonton beritanya di TV semalam.
Semua itu fenomena dari rasa “kurang”. Ibarat minum air laut, makin diminum makin haus. Jika kita tak mampu mensyukuri hal-hal kecil yang sudah kita miliki, bagaimana kita akan bersyukur ketika Tuhan memberikan yang lebih besar lagi? Bukankah setiap kali ukuran yang kita pakai makin tinggi? Maka, makin besar pulalah rasa tidak puas, rasa iri dan pelit untuk berbagi.
Bayangkan jika anda harus berjalan menuntun motor tua butut dengan beban seberat ini, kalau tiba-tiba bannya kempes. (foto : koleksi pribadi)
Saya malu hati dengan Bang Amin, tukang sayur langganan Ibu saya. Hari Minggu pagi, saat kami berbelanja, tiba-tiba Bang Amin menyodorkan sekantong kresek belanjaan. Ibu heran karena merasa tak memesan apa-apa, kok sudah disiapkan. Ternyata itu pemberian Bang Amin kepada kami : seekor ayam potong plus satu paket sayuran untuk dibuat sop. Masya Allah…, seorang tukang sayur yang tiap hari jam 3.30 sudah berada di pasar dengan sepatu boot-nya, berbecek-becek mendatangi kios ikan dan daging, memilih aneka sayuran segar, lalu berkeliling komplek sampai semua sayurannya habis terjual dan baru pulang menjelang Dhuhur, terkadang ban motornya kempes dan terpaksa dituntun dengan beban berat, masih mampu berbagi kepada pelanggannya.
Saya selalu berkaca pada Bang Amin, yang ikhlas menjalani profesinya. Ia tak pernah ambil hati meski sering ada pelanggan yang rewel. Bang Amin adalah type pekerja keras yang tak pernah meludahi piring makannya. Ia selalu mensyukuri sumber penghidupannya, merasa cukup dengan apa yang ia peroleh dan karenanya ia mampu berbagi. Moment Ramadhan ini sebaiknya jadi saat yang tepat untuk berkaca : sudahkah kita merawat baik-baik piring makan kita dan bersyukur masih bisa makan dari situ? Atau justru sering meludahinya tapi tetap makan dari situ? Hanya hati nurani kita sendiri lah yang bisa menjawab.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer