Bukan maksud saya membela orang keturunan Cina yang mana memang banyak jadi teman saya. Kebetulan istri saya juga separuh keturunan Cina dan separuh Flores. Namun memang perbedaan dan pembedaan itu masih ada. Sejauh pengamatan saya memang masih berupa diversity ketimbang diskriminasi kecuali untuk beberapa kasus seperti peristiwa 98. Dan di Solo masih saja ada pemeo, “mesakke ya cilik-cilik wis Cino”.
Waktu kelas satu SD saya pindahan dari Cibinong ke Yogyakarta, guru-guru di Cibinong menyayangkan dengan berujar pada ibu saya, “Sayang sanget lho jeng, Anton menika satu-satunya pribumi yang selalu masuk 5 besar”. So what? Walaupun yayasan Katolik namun di SD saya itu ada aturan tidak tertulis kalau Cina harus masuk gandeng pribumi, supaya tidak berkesan SD-nya kaum Cina. Tapi jelas saya ini bukan sembarang pribumi gandengan. Saya punya prestasi.
Di SD saya di pinggiran kota Yogyakarta memang tidak banyak terdapat orang Cina. Karena mereka adalah makhluk aneh maka beberapa kawan ada yang melakukan misi memata-matai Cina dengan pura-pura main ke rumah mereka dan melihat apa yang dimakan. Di rumah Edi makanannya banyak udang tapi Edi itu otaknya bodho seperti otak udang. Edi dua kali tinggal kelas. Wawan agak mending, tapi makanan sehari-hari sama dengan kita-kita, tempe dan sayur asem.
Prestasinya di sekolah juga biasa, yang tidak biasa adalah dia selalu dibedakin ibunya setiap pagi pakai talk merek Rita sebelum ke sekolah. Lina satu2nya gadis keturunan yg putih mulus malah langganan ranking terakhir. Gadis itu pun di mata-matai sekaligus diajak main mata oleh kawan-kawan saya yang agaknya puber terlalu dini. Saya yang sering rangking satu kok tidak dimata-matai? Lha, buat apa, dengan bapak saya yang statusnya pengangguran itu kawan-kawan sudah tahu persis kalau keluarga kami bisa menanak nasi ya sudah syukur.
Yogyakarta seperti digambarkan dalam lagu Kla Project adalah tempat paling damai di muka bumi. Namun tahukah anda Kalau di Jogja ada peraturan tidak tertulis bahwa Cina tidak boleh berdagang di kecamatan Kotagede demi melindungi pedagang Jawa lokal? Aturan macam mana pula itu, apakah dengan begitu lantas pedagang lokal memiliki daya saing kelas dunia?
catatan anton dewantoro the indonesian freedom writers