UNTUK melanjutkan literair ini perlu saya jelaskan posisi saya. Pergi
bersama tokoh politik bukanlah barang langka. Sebagai blogger diajak
sosok seperti Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, sudah biasa. Dan kepada
panitia yang mengundang selalu saya sampaikan bahwa saya bebas menulis
dengan langgam dan angle tersendiri. Mereka semua tak masalah.
Begitupun pada kesempatan menonton kesebelasan kita berlaga di negeri jiran.
Di benak saya sebuah kesempatan langka pula. Saya hadir sebagai
reporter. Lain tidak. Maka dari segala kehebohan, segenap indera saya
gunakan menyimak segala yang ada. Dari kerendahan hati memasang mata
menyimak dari hal heboh ihwal laser, soal petasan masuk ke lapangan
bola, saya malah lebih mengedepankan menemukan kata di pintu-pintu kamar
hotel para pemain.
Apakah kata itu luar biasa?
Ada kalimat lengkap di pintu kamar pemain seperti ini: “Saya yang
terbaik, saya boleh melakukannya, harapan negara tak akan dipersia, saya
akan menjadi juara.”
Dipersia, dalam bahasa Malaysia: disia-siakan.
Bila kalimat motivasi seperti ini terus dipompakan, dari bangun
tidur, ke luar kamar, pergi makan, masuk kembali ke kamar bahkan duduk
jongkok di closet kamar mandi, membaca terus berulang tulisan macam itu,
alam bawah sadar Anda akan menggerakkan segala energi; melecut semangat
kata yang ditabalkan, di-uar-kan berulang-ulang; bergemuruh di lubuk
hati nan dalam.
SEBELUM menuju stadion sepak bola di kawasan kompleks Sukan Bukit
Jalil, petang sekitar pukul 16, pemain Malaysia turun ke bagian bawah di
lobby hotel Mines itu. Mereka menuju sebelah kanan, di mana sudah
tersedia makanan. Di sebelah kiri lobby, juga ada makanan sama, lengkap
dengan kue kecil seperti kue mangkok. Bika Ambon juga tersedia, dipotong
tipis dengan warna kuning gading.
Di bagian kiri itulah, sebelum rombongan Timnas Malaysia turun,
rombongan Bung Anas meminjam tempat makan nasi Padang bungkus yang
dibelikan panitia di luar hotel. Nasi Padang itu sengaja disuguhkan
kepada rombongan Bung Anas mengingat jadwal semula untuk makan bersama
di komples KLCC, sudah tak keburu waktu.
Saya pun menikmati nasi berlauk rendang, ayam goreng dengan serundeng
kelapa gongseng, sayur toge, sambel ijo dan potongan kecil goreng
tempe. Rendangnya berdaging lembut, pedasnya kurang. Namun makan Padang
di petang itu, di hotel bintang lima plus itu, tetap membuat peluh
mengalir di kepala, badan berkeringat.
Tak lama kemudian saya lihat rombongan pemain Indonesia turun. Ada
Gonzales di bagian depan. Irfan Bahdim tampak di belakang berjalan
sendiri. Begitu saya mengabadikan momen itu dengan kamera, saya lihat
muka marah pelatih Ridle. Benar saja tak lama kemudian pihak keamanan
hotel mengur saya dengan santun.
Setelah berganti kostum kaos Timnas, rombongan Bung Anas, langung
menuju Bukit Jalil. Parkir kendaraan di kiri kanan mengular lebih 1 km
menuju stadion; berderet memanjang jalanan. Namun bis kami dan kendaran
lain tetap dapat melewati jalur, kendati dengan kecepatan pelan. Tiba di
pelataran stadion sudah berarak pendukung Indonesia.
Gema lagu, “Garuda di dadaku…” terus berkumandang.
Kami tidak melalui jalur VIP, apalagi VVIP. Kendati berdesakan masuk
di tiket 30 ringgit namun semuanya berjalan tertib. Tak sampai hitungan
sepuluh menit kami sudah berada di bagian atas tribun di sayap kanan.
Dari tribun itu saya perhatikan lautan penonton dengan dominan kuning,
biru, merah menyemut di kanan dan sebagian tribun kiri.
Dari posisi kami duduk menatap ke bagian kiri nuansa Merah Putih
menyala. Ada rasa bangga di dada. Apalagi kemudian gemuruh kata
“Indo-nesia” seakan diucapkan dengan nada dua kata, lalu disambut dengan
dua kali tiupan terompet mainan dan gas.
Heboh.
Bila sorak-sorai begini terjadi, langsung disambut genderang drum dan
terompet di barisan penonton Malaysia. Di saat gemuruh penonton
Malaysia, sebuah Merah Putih besar sengaja digerakkan bersama oleh
penoton di atas kami, lalu diturunkan di atas kepala kami, termasuk Bung
Anas ikut tertutupi Merah Putih. Ia ikutan menggerakkan Merah Putih
naik dan turun.
Adegan kreatif itu tidak dimainkan supporter Malaysia.
Suasana di bagian kami duduk, berhimpun beberapa mahasiswa, TKI,
wajah-wajah dengan merah putih dominan. Beberapa TKW, yang wajahnya bak
mahasiswa, sengaja memberi stiker Merah Putih pipinya dominan. Mereka
umumnya berkulit putih. Satu dua saya tanya, mereka berasal dari Jawa
Barat. Ada juga di antaranya yang melanjutkan kuliah di jurusan
pertanian.
Ada beberapa anak muda pria men-cat Merah Putih segenap wajahnya.
Bagaikan seorang pemain pantomim, sosok ini melakukan yel-yel Garuda di
dadaku. Suasana bergairah itu seakan terhenti sejenak, panitia Malaysia
entah disengaja atu tidak menempatkan supporter Malaysia persis di
tribun paling atas. Adegan botol air mineral berhamburan ke bagian kami
di bawah, menjadi “minuman” lain lagi.
Saya perhatikan Max Sopacua, mantan penyiar Olahraga TVRI, duduk di
sebelah kanan Bung Anas menutup kepalanya dengan tangan. Bung Anas
menunduk. Kala itu panitia lokal menggeser duduk Bung Anas ke arah atas
bagian yang terlindung dari lemparan air dari penonton Malaysia.
Untung tak lama kemudian pertandingan segera dimulai. “Kerusuhan” kecil itu berhenti.
Sebagaimana telah Anda saksikan di layar televisi, saya tak akan
mengulang laporan pandangan pertandingan langsung. Saya melihat dengan
mata kepala sendiri bagaimana sorotan laser bewarna hijau, seakan dibuat
senada dengan rumput digerak-gerakkan oleh penonton di sayap kanan kami
oleh barisan VIP supporter Malaysia.
Saya juga mencatat beberapa kali petasan diletuskan di pinggir lapangan.
Setidaknya tiga kali petasan besar masuk ke lapangan hijau.
Lalu apakah kita harus marah dengan keadaan itu?
Protes pelatih Ridle kepada panitia sudah dilakukan pada menit 58. Kala
itu kedudukan 0-0. Dari apa yang yang saya baca di media online seusai
pertandingan rupanya pertandingan dapat diteruskan setelah mendapatkan
jaminan dari Kepala Kepolisian Malaysia, plus pula pengurus Sukan
Malaysia, di antaranya dijamin oleh sosok Sultan Pahang. Kendati
demikian yang namanya jaminan di tengah ribuan penoton, petasan tetap
berbunyi dan laser satu dua kali tetap menggili-gili lapangan hijau.
Lalu apakah karena itu kita kalah?
Bagi saya pribadi olaharaga utamanya sportifitas. Urusan menang kalah,
namanya juga sebuah pertandingan. Lebih jauh dari apa yang saya baca dan
pahami, sebuah pertandingan itu, hanya bagaimana sebuah kali yang
lebarnya lima meter, dalam keadan biasa tak dapat terlompati, namun
ibarat orang dikejar macan, kali lebar terlompati. Selebihnya: urusan
teknik dan latihan fsisk.
Dan ketika saya terbangun di pukul 03.30, di hotel di kamar hotel Mines
di lantai 6 di sayap kanan, di mana ada beberapa pemain Malaysia juga
berkamar di sana, saya membuka berita di internet di media online
Jakarta. Saya baca pelatih Rajagobal, mengisahkan kiat menangnya. Ia
bilang di saat istirahat, ia mempompa semangat pemain agar agresif
menyerang. Jangan hanya bertahan.
Dan kuat dugaan saya, bukan di saat jeda saja semangat itu dipompakan.
Tetapi sudah sejak jauh hari. Jauh agaknya, sebelum para pemain turun
kamar, termasuk di cermin ruang ganti di stadion:
“Saya akan juara”
“Saya yang terbaik.”
“Saya boleh melakukannya.”
“Harapan negara tak akan dipersia.”
“Saya akan menjadi juara.”
Rupanya pompaan kata dari Rajagobal itu berbuah peluang. Kendati bagi
Max Sopacua, yang turut menemani Bung Anas, hanya satu gol yang pantas
dilakukan pemain Malaysia. Dua lagi karena keteledoran kita.
Bola memang bundar. Di berita online dari Kualalumpur, Malaysia, saya
baca, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan optimismenya, “Kita
masih punya 90 menit lagi.”
Saya senang dengan kalimat optimis demikian.
Apalah gunanya kita membahas laser, apatah pula berguna memperdebatkan
petasan, wong itu barang; sudah terjadi. Dan lagi jika kita menang,
urusan laser dan petasan tinggal dikenang.
PR kita bersama bagaimana menjadi “macan” penguber segenap lubuk hati
dalam para pemain untuk bisa melompati kali secara logika tak terlewati,
di tengah segala motiovasi sudah terlebih dulu jauh mengaum tinggi di
dada pemain Malaysia.
Lebih dari itu, sepak bola adalah olahraga, permainan yang begitu hadir
di segenap jutaan lubuk hati warga dunia. Lubuk hati bangsa kita juga.
Ketika berpisah di saat transit di Bandara Hang Nadim, Batam, kepada
saya Bung Anas, juga menyampaikan optimisnya terhadap laga Timnas di
Jakarta 29 Desember 2010 nanti. Tak ada nada kecewa dari mulutnya,
kendati harapannya untuk minimal 0-0, bahkan berharap 1-0 untuk
Indonesia di pertandingan kemarin, tidak tercapai.
Bukanlah latah kiranya, baik semua pemain dan kita semua sebangsa dan
setanah air mengucapkan kata berulang-ulang: Saya juara! Kalau mau
ditambah, Saya juara, kami bangsa pemenang!
Di tengah ranah kehidupan dominan bicara wanprestasi, gelora optimisme: itulah premis Sketsa kali ini. Lain tidak..
catatan iwan piliang the indonesian freedom writers