foto koleksi pribadi
Melihat topik Freez minggu ini soal “tersesat di jalan” saya jadi senyum-senyum sendiri. Masalahnya, saya termasuk orang yang tak mudah hapal jalan, apalagi kalau hanya diberi ancer-ancer yang tak begitu jelas. Kalau cuma tersesat karena salah naik kendaraan/salah jurusan, solusinya gampang : tinggal turun lalu naik kendaraan arah sebaliknya, kembali ke titik awal berangkat. Kalau tersesat di jalan besar yang banyak billboar dan papan nama toko, perusahaan, kantor, yang bisa kita baca alamatnya atau banyak orang yang bisa ditanya, tentu tak terlalu repot. Tapi bagaimana kalau kita tersesat sendiri di tengah “hutan”, tak ada satupun orang yang bisa ditanya, bahasa penduduk setempat tak kita pahami dan sebaliknya mereka tak paham bahasa kita, sementara ada kemungkinan binatang buas muncul? Saya pernah mengalaminya,
Melihat topik Freez minggu ini soal “tersesat di jalan” saya jadi senyum-senyum sendiri. Masalahnya, saya termasuk orang yang tak mudah hapal jalan, apalagi kalau hanya diberi ancer-ancer yang tak begitu jelas. Kalau cuma tersesat karena salah naik kendaraan/salah jurusan, solusinya gampang : tinggal turun lalu naik kendaraan arah sebaliknya, kembali ke titik awal berangkat. Kalau tersesat di jalan besar yang banyak billboar dan papan nama toko, perusahaan, kantor, yang bisa kita baca alamatnya atau banyak orang yang bisa ditanya, tentu tak terlalu repot. Tapi bagaimana kalau kita tersesat sendiri di tengah “hutan”, tak ada satupun orang yang bisa ditanya, bahasa penduduk setempat tak kita pahami dan sebaliknya mereka tak paham bahasa kita, sementara ada kemungkinan binatang buas muncul? Saya pernah mengalaminya,
EKSPEDISI WISATA KE BADUY DALAM
Dua tahun lalu – tepatnya tanggal 1 & 2 Mei
2010 – saya ikut acara ekspedisi wisata ke Baduy Dalam, yang diadakan
oleh teman-teman kantor. Saat itu saya baru tepat 2 bulan pindah ke
Banten. Semula acara itu akan diadakan bulan April, tapi karena cuaca
masih tak bersahabat – sering turun hujan deras dan angin kencang –
panitia menunda sampai bulan Mei. Karyawan boleh mengajak serta keluarga
atau teman, asal membayar biaya kontribusi yang ditetapkan panitia.
Mendengar saya akan jalan-jalan ke Baduy Dalam, Marnie, teman Facebook
saya yang baru saya kenal beberapa hari sebelum pindah ke Banten,
tertarik untuk ikut. Begitu pula Kiki, sahabatku di Surabaya yang
kebetulan sedang berada di rumah kakaknya di Tangerang, langsung ingin
ikut karena tujuannya sampai ke Baduy Dalam. Ia sudah pernah sampai di
Baduy Luar, tapi belum pernah ke Baduy Dalam.
Singkat cerita, rombongan kami berangkat dari
Cilegon dan tiba di desa Ciboleger – desa terakhir sebelum masuk ke
Baduy Luar – sekitar jam 12 siang. Setelah istirahat sholat Dhuhur dan
makan siang, kami mulai naik sekitar jam 1 siang. Di desa Ciboleger
sudah menunggu sekumpulan orang Baduy Dalam yang siap menjemput
pengunjung dan rela menyediakan jasa memanggul barang bawaan kami,
dengan upah tertentu. Kami semua sepakat men-sub-kan urusan membawa
ransel-ransel kami yang beratnya minta ampun, kepada pemuda-pemuda Baduy
itu. Sebab perjalanan ke Baduy Dalam diperkirakan mencapai 4 jam bagi
pemula yang belum pernah ke sana, dengan kondisi jalan menanjak dan naik
turun.
Pada 30 menit pertama, rombongan kami masih bisa
menjaga kekompakan. Maklum usia peserta sangat beragam, ada yang masih
awal 20-an tahun, 30-an tahun sampai lewat 40-an tahun. Jadi tanpa
terasa peserta berkelompok-kelompok sesuai kecepatan jalan kakinya.
Semula, kelompok yang paling cepat sesekali menunggu kami yang di
belakang. Tapi lama kelamaan mereka berjalan terus, sedang siapa saja
yang kelelahan silakan berhenti sejenak untuk istirahat. Alhasil, saya,
Kiki, Marnie dan 1-2 teman kantor saya tertinggal jadi “kloter”
terakhir. Sejak awal berangkat, sebenarnya sudah terlihat kalau Kiki
agak kurang bisa mengejar ketertinggalan. Saya dan Marnie harus
berkali-kali berhenti menunggu dia.
Ketika sudah lewat setengah perjalanan, hutan makin
lebat, jalanan makin licin dan terjal, sampai-sampai ada seorang pria
Baduy yang baru pulang dari desa di Baduy Luar, ketika melihat Kiki, dia
tak tega dan atas inisiatif sendiri dia bersedia mendampingi kami.
Alasannya dia kuatir kalau kami kemalaman di hutan, keburu macan keluar,
katanya. Singkat kata, kami akhirnya tiba juga di kampung Baduy Dalam
sebagai 3 peserta terakhir. Waktu tempuh kami 4 jam lebih, sementara
teman-teman saya rata-rata 4 jam bahkan peserta pertama yang tiba di
sana kurang dari 4 jam.
Oya, kami menginap di perkampungan Baduy Dalam
yang di atas, dimana lokasinya se-area dengan rumah Pu’un
(Kepala Suku). Dua rumah yang kami jadikan tempat menginap kira-kira 50
meter saja dari rumah Pu’un yang jadi zona terlarang untuk didekati
kecuali oleh orang Baduy Dalam yang berkepentingan.
Karena yang akan saya ceritakan soal tersesat, maka
cerita perjalanan menuju ke Baduy Dalam dan selama menginap di sana tak
akan banyak saya singgung. Esok paginya, kami memutuskan pulang sekitar
jam 8 pagi, dengan pertimbangan kondisi fisik kami masih segar, udara
belum panas, mentari belum terik. Sedang rutenya diputuskan berbeda
dengan rute berangkat kemarin. Sebab menurut pimpinan rombongan kami,
jalan yang kami lalui kemarin adalah jalur yang terjauh dan relatif
tidak terlalu terjal. Sedang jalanan yang akan kami tempuh nanti lebih
singkat tapi lebih curam.
Tapi karena perjalanan pulang lebih banyak
menurun, panitia memutuskan tak apalah lebih curam, karena menuruni
jalanan lebih mudah ditempuh ketimbang menaiki tanjakan seperti kemarin.
Tentu saja kami tetap dikawal serombongan pemuda Baduy yang membawakan
ransel kami, sekaligus jadi penunjuk jalan.
Perjalanan pulang lebih sulit lagi menjaga
kekompakan rombongan. Maklum kami bukanlah rombongan pecinta alam yang
punya kode etik dalam menjaga kekompakan rombongan. Kondisi sebagian
peserta yang sudah kelelahan kemarin sore, membuat sebagian dari kami
makin sering berhenti sejenak untuk istirahat. Kali ini, Kiki pun tak
ubahnya kemarin, tetap jadi peserta paling bontot. Saya dan Marnie
berkali-kali terpaksa berhenti lama untuk menunggunya, khawatir dia
kehilangan jejak kami. Lama kelamaan, kami berpikir juga : kalau kami
berdua sama-sama menunggu Kiki, bisa-bisa kami bertiga kehilangan jejak
dan tersesat.
Akhirnya saya putuskan kami “estafet”. Marnie saya
persilakan jalan duluan dan menjaga jarak dengan teman saya di depan
kami, agar dia masih tetap bisa melihat teman kami sebagai penunjuk
arah. Saya akan menyusul Marnie sambil sesekali menunggu Kiki, dengan
tetap menjaga jarak agar saya tetap bisa melihat Marnie sekaligus juga
tetap terlihat oleh Kiki. Marnie setuju dan dia pun mendahului saya
yang masih menunggu Kiki.
KEHILANGAN JEJAK ESTAFET DAN MULAI TERSESAT SENDIRI
Semula skenario estafet ini berjalan baik. Sesekali
saya mempercepat langkah agar tetap bisa melihat sosok Marnie, tapi
sering pula saya menoleh ke belakang sambil meneriaki Kiki apa dia masih
bisa melihat atau mendengar saya. Sampai suatu ketika, saya tak lagi
bisa melihat Kiki dan saat saya teriaki pun dia tak menjawab. Saya
putuskan berhenti untuk menunggunya. Kejadian ini sempat terjadi 2-3
kali dan yang terakhir saya terpaksa menunggunya lama sekali
sampai-sampai tak lagi bisa melihat Marnie. Saya tetap berusaha menunggu
Kiki, sampai lama tetap tak ada tanda-tanda ia muncul. Saya mulai
khawatir, sementara saya sendiri pun sudah kehilangan jejak Marnie.
Akhirnya saya putuskan untuk mempercepat langkah
agar bisa segera mengejar Marnie dan teman-teman lain, barulah nanti
saya laporkan soal “hilang”nya Kiki. Kalau saja ada sinyal ponsel, tentu
komunikasi mudah, tapi begitu masuk Baduy Dalam sudah tak ada sinyal
sama sekali. Satu-satunya jalan saya harus ngebut. Dengan kondisi lelah,
saya berusaha mempercepat langkah, tapi sosok Marnie tetap tak
terlihat. Saya makin putus asa, rasa sepi mulai mengelayuti. Tak satu
pun rombongan pengunjung lain yang saya temui, seperti di awal-awal
berangkat tadi. Semua sudah jauh meninggalkan saya. Rasa ngeri mulai
mencekam dan ketakutan menguasai pikiran saya.
Akhirnya sampailah saya di tikungan. Kalau
sepanjang jalan tadi yang saya lalui hanya 1 jalur, saya yakin tak salah
jalan. Kini, di hadapan saya ada sebuah belokan ke kiri dan sebuah
jalan yang sedikit lurus dan berkelok ke kanan. Sejenak saya lihat jalan
yang belok ke kiri lebih sempit dan sedikit gelap. Saya ikuti insting
saja, pasti jalan yang lebih lebar ini yang dilewati pengunjung. Sambil
terus berdoa, saya putuskan memilih jalan itu. Dan benarlah, makin lama
jalannya makin lebar dan dikejauhan saya lihat seorang bocah Baduy
bermain sendiri. Kali ini, kembali saya bertemu tikungan 2 arah,
dua-duanya lebar. Saya sempat bingung, mau bertanya pada bocah Baduy
Dalam – yang saya taksir usianya sekitar 9 tahunan – saya tak yakin dia
bisa berbahasa Indonesia.
Saya coba panggil dia “Dik, Dik”. Bocah itu melihat
saya dengan tatapan tak mengerti. Rupanya ia paham saya ingin berbicara
dengannya. Lalu dengan bahasa “Tarzan”, saya memberi isyarat tanya
jalan mana yang harus saya tempuh. Ia menunjukkan salah satu jalan. Lalu
saya mencoba bertanya dengan bahasa isyarat tangan, apakah ia melihat
orang lain sebelum saya lewat situ. Ia mengangguk. Merasa berhasil
berkomunikasi, saya coba bertanya apakah ia melihat seorang wanita
dengan perawakan seperti saya dan mengenakan jilab (sambil menunjuk pada
jilbab saya). Ternyata lagi-lagi bocah itu mengangguk. Saya lega,
berarti Marnie belum lama juga lewat sini. Saya ucapkan terimakasih pada
anak kecil itu dengan mengacungkan jempol dan menganggukkan kepala.
Saya mempercepat langkah dengan harapan bisa
mengejar Marnie. Tapi lagi-lagi setelah sekian lama berjalan, saya
menemukan tikungan. Kali ini malah ada 3 persimpangan jalan. Kondisinya
tak lagi seperti hutan, tapi lebih berupa padang dengan rumput
tinggi-tinggi. Posisi saya di titik tikungan itu agak tinggi, jalanan
berikutnya menurun. Tapi saya tak bisa melihat ada orang di bawah.
Tiba-tiba rasa takut dan sedikit panik menyergap saya, bagaimana kalau
ada macan yang keluar dari semak-semak? Belum lagi kalau saya salah
arah, saya harus kembali ke puncak bukit ini dan masih ada 2 jalan yang
harus saya pilih. Duh.., saya benar-benar putus asa! Akhirnya saya
bersimpuh sejenak dan berdoa, kemudian memutuskan untuk menuruni bukit
memilih salah satu jalan yang saya yakini benar.
Karena jalanan kali ini tak sesulit tadi, saya
lebih bisa bergegas. Tak lama saya mulai mendengar suara orang
tertawa-tawa. Ternyata serombongan anak muda – saya perkirakan mahasiswa
– dari candaannya saya yakin mereka orang dari Jakarta. Saya pun
menyapa mereks. Semula mereka kaget melihat saya sendirian. Setelah saya
jelaskan, mereka mengajak saya gabung. Katanya tadi mereka sempat
melihat Marnie – cirinya perawakan setinggi saya dan berjilbab hitam –
bersama seorang teman laki-laki. Bahkan katanya sempat istirahat
bersama, hanya saja Marnie lebih dulu melanjutkan perjalanan. Saya pun
bisa berlega hati, kini ada teman perjalanan, tak tanggung-tanggung : 11
anak muda, pria dan wanita. Hanya saja, mereka ini benar-benar santai
dan tanpa target jam berapa harus sampai di desa.
Sepanjang jalan mereka terus ber-haha-hihi,
sebentar-sebentar berhenti untuk berfoto ria, terkadang melihat apa-apa
yang mereka anggap menarik. Ketika ada pancuran air dari atas yang
sangat jernih, mereka samperin meski harus berbelok dari arah yang
seharusnya. Salah seorang mencicipi airnya, katanya itu mata air yang
masih murni dan bersih, jadi sangat aman untuk diminum. Mereka mengisi
botol air minumnya dengan air dari mata air itu. Saya pun ikut mengisi
botol air minum saya yang sudah kosong sejak tadi. Saya pikir, soal
nanti sakit perut biarlah toh nanti juga sudah sampai di kota, daripada
dehidrasi di tengah hutan. Tapi ternyata airnya memang benar-benar
bening, bersih dan segar. Belum pernah saya cicipi air sesegar ini di
kota.
Bersama dengan 11 mahasiswa ini sudahkah selesai
masalah yang saya hadapi? Belum, sebab mereka tak bisa diajak buru-buru,
sehingga saya harus mencari teman perjalanan lainnya. Nantikan
kelanjutannya di bagian 2 kisah tersesat ini.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer