Premium By
Raushan Design With
Shroff Templates
Suatu hari di tahun 932 M di Baghdad, ibukota Dinasti Abbasiah yang
sedang resah..
Temali telah mengikat erat tubuhnya yang tirus ke tiang eksekusi, tetapi
Sufi besar Manshur Al-Hallaj, masih sempat berujap:
“Ana al-Haqq!”
Ketika pedang Algojo mengayun menebas kakinya, ia tersenyum. “Kaki ini
hanya kuperlukan untuk berjalan di muka bumi, padahal aku selangkah lagi
ke langit.” Ketika kemudian pedang algogo menebas lengannya, darah
segarpun kembali muncrat membasahi bumi, dia masih tersenyum.
Seorang murid setia yang duduk terpana dipojok menyempatkan diri untuk
bertanya dengan terbata-bata:
“Guru, apakah Tasawuf itu?”
“Inilah tasawuf itu,”
jawab Sang Guru yang masih tetap tersenyum dalam keadaan yang mulai
melemah karena kehilangan darah.
“Ana al-Haqq”, “Akulah Kebenaran”, ujar Al-Hallaj berkali-kali dalam
keadaan ekstase. Banyak para ahli agama terperangah, menyangka dengan
pernyataannya itu dia mendakukan dirinya sebagai Tuhan, Sang Mahabenar,
dan menganggap itu bidah.
Tetapi sejauh manakah kita paham terhadap pendakuan dari seorang
pencinta dan pencari Tuhan tanpa lelah, yang mengamalkan secara ketat
tradisi Nabi dan hidup dalam kezuhudan yang keras, yang merasa segala
hijab yang menutup segenap rahasia telah terangkat dan tersingkap, yang
bagi sebagian kita dianggap waham?
Ungkapan Al-Hallaj tersebut, serta pernyataan-pernyataannya keinginan
dan hasratnya untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan
menjadikan dirinya "hewan kurban" serta keberpihakan berikut
pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam
posisi berseberangan dengan kelas penguasa, yang dari dulu sampai
sekarang, selalu lebih mendahulukan stabilitas ketimbang keadilan, tidak
paham apapun kecuali bahasan kekuasaan, tidak mencintai apapapun kecuali
dirinya kemewahan dan kehidupan duniawi
Pada 918 M ia diawasi, dan pada 923 M ia ditangkap.
Sang penasehat khalifah termasuk di antara sahabat al-Hallaj dan untuk
sementara berhasil mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara
hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa
antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan
kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan
dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan
kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah.
Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas
angin, dan sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan
hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Eksekusi yang justru sudah lama dihasratinya.
Kepalanya dipenggal sehari kemudian. Sesudah itu tubuhnya disiram minyak
dan dibakar. Keesokan harinya debunya dibawa ke menara di tepi sungai
Tigris, dicampakkan keluar dan diterpa angin lalu serta hanyut di sungai
itu.
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi
sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan
berbagai pelajaran yang diajarkannya.
Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Maulana Jalaludin Rumi mengatakan,
"Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur,
sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."
Rumi, tidak menjemput dan menginginkan kematian secara tragis seperti
Al-Hallaj. Tetapi seperti ditulis Majalah TEMPO 23 Desember lalu, Ia
menyebut hari kematiannya ‘malam pengantin’ atau ‘Seb-I Arus’ Saat
itulah, tak ada lagi yang dapat menghalanginya bertemu Sang Kekasih.
Sufi besar itu wafat dengan sebuah pesan: jangan ratapi kematianku. Itu
sebuah reuni dengan pencipta.
catatan darwin bahar the indonesian freedom writers