sumber : matanews.com |
Sudah 10 bulan rakyat Indonesia disuguhi tontonan
drama kolosal ala Partai Demokrat. Awalnya, aktor utamanya adalah
Nazaruddin. Peran Nazar di beberapa episode awal sangatlah sentral dan
rekan-rekannya hanyalah pemeran figuran. Sampai kemudian ia tertangkap
di Kolumbia dan dideportasi ke Indonesia, mulailah peran aktor lainnya
mendapat porsi yang lebih besar. Kini bahkan sudah ada pemeran utama
wanita dan beberapa pemeran pembantu pria, yang bisa jadi pada
gilirannya nanti justru berganti menjadi pemeran utama pada episode
selanjutnya.
Drama ini jadi makin rumit melebar ceritanya, ketika muncul figuran-figuran yang muncul tanpa melalui proses “casting”.
Mereka tiba-tiba hadir meramaikan sebuah episode dengan dialog yang
menyimpang dari skenario. Sebutlah Diana Maringka, Ismiyati, Dani
Sriyanto dan Hablur. Para figuran ini muncul dengan membawa serta
property pelengkap. Ada jaket, box Blackberry Gemini, kwitansi tanda
terima, dll. Dialog yang mereka ucapkan pun diluar naskah yang sudah
ditulis sutradara. Alhasil, para sutradara pun merasa perlu membuatkan
alasan pembenar atas munculnya figuran tak diundang dan bukti-buktinya.
Adalah Max Sopacua, salah satu Wakil Ketua DPP
Partai Demokrat, yang menyatakan bagi-bagi uang, Blackberry dan atribut
lainnya dalam kompetisi memperebutkan kursi Ketua Umum itu, halal
sepanjang dananya berasal dari kantong pribadi kandidat. Mau memberi
uang berapa pun banyaknya pada calon pemilih, silakan saja asal kandidat
mampu. “Mampu tidak memberi segitu?” tanya Max. Jika kandidat mampu,
tak perlu dipersoalkan, itu sah-sah saja!
Inilah pokok pangkal dilegalkannya gratifikasi,
suap dan sejenisnya. Katakanlah sang kandidat memang seorang milyarder
yang punya uang pribadi untuk dibagi-bagikan pada calon pemilih, atau ia
memakai dana dari usahanya pribadi, apa iya jika kelak sudah terpilih
ia tak akan berupaya mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan? Tentu
dengan tambahan keuntungan, ibarat seseorang berinvestasi pada sebuah
bisnis, berapa modal yang ditanamkan, maka yang kembali harus lebih
banyak dari itu.
Begitupun halnya jika kandidat memang mengeluarkan
uang “pribadi”, tapi sesungguhnya uang itu bantuan dari kiri-kanan.
Misalnya dari seorang pengusaha yang menginginkannya mendapatkan posisi
yang diperebutkan. Atau dari tokoh politik lain yang merasa dirinya tak
akan mampu bertarung, sehingga cukup jadi sponsor saja. Kelak, jika
kandidat sudah terpilih, ia akan dikendalikan oleh sponsornya. Ia akan
menjadi ketua boneka, atau si pengusaha yang menjadi sponsornya akan
menuntut imbal balik yang memadai. Ingatlah bahwa tak ada makan siang
yang gratis, apalagi di dunia politik. Dalam kasus suap cek pelawat,
Miranda Goeltom pun tidak membagi-bagikan cek pelawat miliknya, tapi
kabarnya ada pengusaha besar yang menjadi sponsor.
Apapun alasannya, mau pakai uang pribadi atau dana
yang berasal dari sumbangan “teman”, suap tetaplah suap. Membagikan uang
dan barang berharga kepada calon pemilih itu bentuk suap. Tak perlu
dilihat dari mana asal dananya. Sebab dana dari kantong pribadi pun akan
diperhitungkan sebagai modal yang harus kembali saat menjabat nanti.
Kini, Soetan Bathoegana yang bicara. Menurutnya pengaduan
beberapa bekas pengurus DPC Partai Demokrat ke Komisi Pengawas soal
adanya politik uang dalam Kongres PD 2010 belum bisa dikatakan mewakili
DPC yang berjumlah sekitar 520 cabang. Memang, saat ini yang
mengaku baru baru 4 orang, tapi masing-masing orang menyatakan dirinya
bersama DPC lainnya. Diana Maringka misalnya, mengaku bersama 11 DPC
lainnya dari Sulut. Ibu Ismi juga bersama beberapa DPC lainnya. Dani
Sriyanto dari DPD Jawa Tengah mengaku membawa belasan gerbong DPC.
Demikian pula Hablur dari Tapanuli yang berdemo bersama rekan-rekannya,
mengaku dirinya dan belasan DPC sama-sama menerima uang.
Sebetulnya, bukankah ini bukan forum rapat
yang baru bisa dibuka saat sudah memenuhi kuorum sebanyak 50% + 1 yang
hadir? Pengakuan 4 orang ini berasal dari 4 daerah yang berbeda dan jika
saja pengakuan mereka benar dirinya bersama rombongan belasan DPC, maka
jumlah 4 DPC ini sesungguhnya hanyalah puncak gunung es saja. Ada DPD
dari Jawa, DPC dari Sumatera, DPC dari Sulawesi, tidakkah ini cukup
mewakili? Dan pengakuan mereka pun sama : rata-rata per DPC
menerima/ditawari uang Rp. 30 juta + $ 7.000 USD atau semua dalam bentuk
dollar sebanyak $ 10.000 USD. Apakah Komisi Pengawas perlu menunggu
sampai ada pengakuan dari 261 DPC agar bisa disebut lebih dari separuh
DPC yang mengaku?
Semua logika itu hanyalah penyesatan semata.
Seperti juga Soetan yang selalu menyatakan “beda-beda tipislah itu”
antara uang suap dan uang transport. Jika tujuannya memberikan pengganti
transport, bukankah akan lebih praktis jika diberikan dalam bentuk
tiket pesawat? Panitia pemenangan bisa bekerjasama dengan travel biro
dan memesan tiket ke sejumlah daerah di seluruh Indonesia. Kalau 1 DPC
mengirim 4 orang utusan sebagai peserta Kongres, dan jika 1 propinsi ada
15 DPC, misalnya, maka ada 60 orang yang harus dibelikan tiket sampai
ke ibukota propinsi. Bukankah akan lebih murah membeli langsung ke
travel biro? Pembelian dalam jumlah besar dan mencakup segala jurusan,
pastilah akan mendapatkan potongan harga. Dan itu sah dalam bisnis
penjualan tiket.
Justru aneh ketika uang transport diberikan
dalam mata uang USD. Mereka yang tak terbiasa dengan transaksi penukaran
mata uang asing, bisa saja sedikit merugi ketika menukarkannya di money changer
yang nakal, sehingga kurs yang didapat adalah kurs terendah. Dari sini
saja seharusnya Komisi Pengawas curiga : kenapa uang transport diberikan
dalam mata uang USD? Bukankah mereka akan kembali ke daerah asal di
wilayah Indonesia, bukan di Amerika? Dan bukankah jumlah itu jauh lebih
tinggi dari harga normal tiket pesawat?
Alasan Soetan Bathoegana ini sesungguhnya
telah dipatahkan oleh Max Sopacua, yang membantah pernyataan Bathoegana
bahwa sejak semula sudah ada kesepakatan panitia Kongres tidak
menanggung biaya transportasi peserta dan itu menjadi tanggungan
kandidat yang berlaga untuk memberikan langsung kepada peserta Kongres
yang mendukungnya. Menurut Max panitia OC menyediakan semua
transportasi, akomodasi dan konsumsi.
Semalam, dalam acara Indonesia Lawyers Club
di TV One, Soetan Bathoegana pun meralat sendiri ucapannya. Ia
mengatakan serupa dengan Max : semua kebutuhan peserta telah ditanggung
panitia Kongres. Tampaknya pernyatan ini dibuat karena ada pendapat dari
pakar hukum pencucian uang yang menyebut bahwa organisasi yang menerima
dana uang hasil kejahatan dapat disebut sebagai penerima pencucian
uang. Karena itu bisa dikenakan sanksi hukum bahkan bisa dibubarkan.
Inilah yang kemudian membuat elit-elit PD kebakaran jenggot dan
buru-buru menyebut partai mereka bukan partai korup. Partai tidak
terlibat dalam proses bagi-bagi uang, itu hanya “oknum”.
Tapi jika oknum-oknum yang menyebarkan pemikiran dan paham bahwa money politics
adalah halal, pemberian “uang transport” itu boleh, adalah para elit
partai, bisakah disebut partai itu bersih? Jika para pelakunya adalah
tim pemenangan dari kandidat yang kini justru menjadi Ketua Umum partai
dan para tim pendukungnya menduduki posisi-posisi strategis di partai,
bisakah ini disebut hanya ulah segelintir orang di luar sepengetahuan
petinggi partai?
Tampaknya para elit PD kini sedang sibuk
mencari alasan untuk menyelamatkan institusi PD dari tuduhan menjadi
ajang pencucian uang. Sebab itu mereka mencoba mengarahkan pada tindakan
oknum yang membagikan lah yang salah. Dan yang lebih dulu disalahkan
justru DPC yang menerima, kenapa dulu mau menerima. Beginilah tampaknya
upaya menyelamatkan diri saat kapal sudah hampir karam.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer