Jogging dan jalan-jalan pagi sudah jadi menu
pembuka hariku, setelah Subuh dan menghirup secangkir kopi hangat.
Perumahanku yang terletak di atas bukit dan jalananannya ditumbuhi
pohon-pohon palem dan aneka pepohonan lainnya, cocok untuk berolahraga
pagi, oksigennya benar-benar segar dan belum terkontaminasi. Khusus
Sabtu dan Minggu, rute jogging di perpanjang sampai ke area jogging
track sekitar 2 km dari komplek perumahanku. Biasanya aku menghabiskan
waktu sekitar 2 jam kalau weekend. Hari biasa cukup 30-45 saja agar tak
terlalu letih saat ke kantor.
Pagi ini cuaca cerah, langit bersih dan anginnya
semilir, sejuk sekali, harmoni yang pas untuk mengisi paru-paru dengan
udara bersih. Aku sudah berniat menghabiskan 2 jam berolahraga, menebus
hari-haru kemarin yang terkadang terpaksa libur gara-gara cuaca tak
bersahabat. Tapi belum sampai 20 menit, aku berpapasan dengan seorang
lelaki tua memikul amben bambu. Anda tahu amben? Itu lho,
semacam dipan dari bambu, biasanya di kampung dijadikan tempat duduk
atau tiduran. Mungkin keberadaannya belakangan sudah langka, tergusur
mebel jaman sekarang dari plastik atau bahan lain yang modelnya
minimalis.
Aku menepi dan menghampiri Pak Tua itu. Dia orang
kedua yang kutemui memikul amben. Sekitar 3 minggu lalu aku juga
berjumpa penjual amben yang memikul 3 buah amben di pundaknya. Hanya
saja laki-laki yang kutemui 3 minggu lalu usianya masih muda, awal 30-an
lah. Dia memakai baju dan beralas kaki, jalannya pun masih cukup tegap
meski 3 buah amben dipundaknya tak bisa dibilang ringan. Tapi Pak Tua
yang kutemui kali ini lebih mengundang rasa iba. Tubuhnya kecil, sekitar
150-an cm, kurus, hanya memakai kaos singlet belel dan celana pendek,
tanpa alas kaki. Sayajadi ingat 1000 sandal yang dikirim ke Kapolri.
Segera saja aku bisa melihat pundaknya yang merah
melepuh dan kapalan. Pastilah amben-amben itu telah melukai pundaknya.
Kutanya berapa harga ambennya. Sebuah amben Rp. 60.000,- sedang kursi
malasnya Rp. 75.000,-. Aku berpikir sejenak. Bukan harganya, tapi akan
kutaruh dimana kursi malas ini jika kubeli. Rumahku tidak terlalu luas
dan sudah penuh disesaki perabotku. 3 minggu lalu aku membeli sebuah
amben tanpa pikir panjang dan akhirnya kuletakkan di dapur. Ah, biarlah,
nanti kupikirkan belakangan soal akan ditaruh dimana.
Aku membatalkan acara jalan sehatku, kuajak Pak Tua
itu ke rumah. Sepanjang jalan kuwawancara dia. Namanya Satiri, umurnya
60-an tahun. Kurasa dia juga tak tahu betul berapa usianya. Keempat
anaknya sudah mandiri dan hidup masing-masing. Kutanya asalnya, dia
bilang dari Bojonegare, sebuah dusun beberapa kilometer dari kota
Cilegon. Lelaki muda penjual amben 3 minggu lalu pun asalnya dari
Bojonegare. Kutanya jam berapa dia berangkat dari rumah. Jam 3 dini
hari, jawabnya. Sama dengan penjual amben yang lalu, Pak Tua ini pun
merakit sendiri amben dan kursi malas dagangannya. Hanya saja bambunya
masih harus dibeli. Kalau sudah jadi beberapa buah, dipikulnya ke kota,
berkeliling berharap ada pembeli.
Syukurlah, meski termasuk perabot
langka, selalu ada saja pembelinya. Sekali berkeliling ia membawa 3 buah
barang dan katanya pasti laku meski tak selalu habis. Syukurlah kalau
begitu. Tuhan memang Maha Adil, Maha Pemurah. DIA selalu menjamin
rejeki-Nya mengalir bagi siapa pun yang masih mau berusaha. Tuhan tentu
tak akan membiarkan jerih payah Pak Satiri dan rekan-rekannya
terbengkalai begitu saja.
Sampai di rumah, kuminta Pak Satiri meletakkan
sebuah kursi malasnya di bawah tangga naik ke lantai 2, di samping ruang
tamu. Lalu kuajak Pak Satiri sarapan. Dia tampak lahap menikmati
sepiring nasi plus daging empal dan sambal goreng tempe. Usai makan dia
langsung pamit meneruskan memikul 2 barang dagangannya. Saat Ibuku
menawarkan sebotol air putih untuk bekal minumnya di jalan, Pak Satiri
menolak. Dia sudah merasa kami berlebihan dengan memberinya makan.
Penjual amben yang kubeli 3 minggu lalu bahkan menolak keras ketika
kuajak sarapan. Dia berdalih sudah makan sebelum berangkat dari
rumahnya. Aku tahu dia bohong, tapi aku tak ingin memaksanya, kuhargai
keinginannya untuk menjaga harga dirinya dari terlalu banyak menerima
pertolongan orang lain. Lelaki muda itu hanya mau menerima segelas air
mineral saja, tidak lebih!
Setelah Pak Satiri pulang, aku menggosok-gosok
kursi malas yang baru kubeli. Bambunya cukup bagus, bambu hitam tua,
bukan bambu muda yang rapuh. Rakitannya lebih kuat dan rautan bambunya
lebih halus. Pantas saja harganya sedikit lebih “mahal” ketimbang harga
yang ditawarkan pedagang amben 3 minggu lalu. Kubayangkan proses yang
harus dilalui sebelum barang itu nangkring di rumahku. Pak Satiri dan
para pengrajin amben bambu lainnya harus memotong bambu dengan cermat,
meraut dan menghaluskannya agar tak melukai kulit, lalu merangkainya
menjadi amben atau kursi.
Entah berapa hari dibutuhkan untuk membuat 3-4
barang, lalu dipikul ke kota untuk dijual. Dan untuk semua upaya tak
mudah itu, mereka hanya mematok harga Rp. 50.000,- sampai Rp.
75.000,-saja! Ketika 3 minggu lalu aku terbelalak saat lelaki muda
penjual amben menyebutkan angka 50 ribu, dia langsung menyela : “Mbak
boleh tawar berapa aja, nanti kalo sudah cocok harganya saya anterin ke
rumah Mbak. Gapapa juga biar rumah Mbak di atas” (di atas bukit
maksudnya). Padahal aku terbelalak bukan karena 50 ribu kemahalan, tapi
aku tak menyangka dia bisa menjual 50 ribu untuk hasil tangannya sendiri
dan beratnya bahu memikul. Mana mungkin aku tega menawar?!
Kemarin aku menulis tentang kecerdikan DPR mencari
cara agar kenyamanan mereka tetap terjamin. Mesin cuci dan laptop yang
harganya luar biasa mahal, renovasi toilet 2 milyar, pembuatan parkiran
motor 3 milyar, pengadaan mesin absensi sidik jari yang tidak masuk akal
sampai 4 milyar. Alangkah naifnya amben dan kursi malas bikinan Pak
Satiri dan tetangganya jika dijajarkan dengan semua barang milik para
wakil rakyat.
Pak Satiri dan rekan seprofesinya tak enak hati ketika ada
yang menawarkan makan dan minum. Mereka malu kalau harus menerima lebih
dari sekedar uang pembayar barang yang mereka jual. Aku yakin, Pak
Satiri mau diajak sarapan hanya karena perutnya sudah benar-benar lapar
dan mungkin saja nyaris tak kuat lagi memikul amben dan kursi
dagangannya. Sedang anggota DPR, tiap bulan mereka sudah mengantongi
hampir 50 juta dari gaji dan berbagai tunjangan. Dan untuk semua yang
mereka terima, masih saja tidak malu untuk menuntut fasilitas super
mewah lainnya yang tidak perlu dan bisa mereka beli dari kantong
pribadi.
Pak Satiri, terima kasih banyak untuk semua
pelajaran ketekunan dan kegigihan yang sudah diajarkan pagi ini. Aku
malu pada diri sendiri kalau masih mengeluh soal beratnya pekerjaan di
kantor dan gaji yang gak naik-naik. Pak Satiri katanya sudah
berpuluh-puluh tahun membuat amben dan kursi,memikulnya dan menjual
dengan harga sesuai penawaran pembeli. Pak Satiri bisa saja menaikkan
harga, tapi bukankah ia terpaksa kompromi ketika pembeli menawar? Dari
pada tak laku, orang semacam Pak Satiri lebih memilih meloloskan tawaran
pembeli, asal ada uang yang bisa di bawa pulang untuk istrinya.
Kalau saja semua barangnya laku, paling banyak Pak
Satiri akan mengantongi uang 150 – 200 ribu. Dengan uang itu ia akan
membeli bambu lagi dan tali, lalu mulai merakit amben dan kursi. Dengan
sisa uang pembeli bambu, Pak Satiri bertahan hidup beberapa hari. Bisa
saja sampai seminggu, cuaca yang sering hujan begini tentu berpengaruh
pada pekerjaan Pak Satiri. Anggap saja uang yang tersisai 100 ribu dan
itu harus cukup untuk seminggu sampai ia bisa menghasilkan barang lagi
dan menjualnya.
Orang seperti Pak Satiri tak bisa protes dan berdemo
minta kenaikan upah atau kenaikan harga jual. Pak Satiri juga tak
terlindungi asuransi kalau sewaktu-waktu ia ketabrak mobil di jalan.
Maklum, berjalan sambil memikul barang seberat dan sebesar itu, bisa
membuat pandangan mata terhalang. Yah, orang semacam Pak Satiri
benar-benar bekerja mandiri, makan dari keringatnya sendiri, tak bisa
mengeluh dan protes, tak bisa meminta perlindungan dari kecelakaan
kerja. Semua resiko ada di tangannya. Dan tentu Tuhan menghitung jerih
payah Pak Satiri.
Itulah ibadah riil dan dijamin rejeki yang
diperolehnya halal.
Pak Satiri dan orang sekampungnya yang punya
profesi sama, tentu jauh lebih mulia ketimbang mereka yang duduk manis
di Senayan, berpura-pura memperjuangkan nasib rakyat yang diwakilinya,
padahal sejatinya cuma memboroskan uang rakyat. Kalau saja mereka
bertemu Pak Satiri, kira-kira apa mereka malu ya? Pak Satiri, selamat
berjuang, semoga hari ini semua dagangannya laku, agar tak sia-sia
pundaknya melepuh. Semoga hari ini cuaca bersahabat denganmu Pak.
Hati-hati di jalan, sebab kalau Pak Satiri celaka, Pak Polisi tak akan
berpihak padamu. Semoga Allah melindungi Pak Satiri dan memberkahi
rejekinya. Amin…