Sudah sejak Pebruari 2004, saya punya kartu kredit
Citibank. Setelah bertahun-tahun para sales kartu kredit tak pernah
berhasil membobol pertahanan saya untuk tidak punya kartu kredit,
akhirnya saya menyerah juga, setelah mempertimbangkan sisi positif punya
kartu kredit. Tentu saja demi kepraktisan transaksi, bukan dengan
perspektif seolah kita punya dana simpanan yang bisa dibelanjakan sesuka
hati. Saya tetap ingat bahwa kartu kredit itu prinsipnya adalah hutang.
Itu sebabnya penggunaannya harus smart dan betul-betul dijaga agar tak sampai melebih kemampuan kita membayar tagihannya.
Dulu saya tinggal di Surabaya, sedangkan Ibu saya
tinggal di Bekasi bersama adik saya. Tiap 2-3 bulan sekali saya
sempatkan ke Jakarta untuk menengok Ibu. Nah, disinilah manfaatnya kartu
kredit, saya bisa membeli tiket pesawat via online, memilih sendiri
tanggal dan jam keberangkatan, serta memilih tiket yang paling murah
diantara maskapai LCC yang menawarkan tiket online.
Selebihnya, kartu
kredit itu saya gunakan untuk mengalihkan pembayaran tagihan HP saya,
baik yang GSM maupun CDMA (waktu itu saya masih pakai CDMA untuk telpon
lokal). Dengan dialihkan menjadi autodebt, saya terhindar dari
resiko pemblokiran karena lupa/telat membayar tagihan. Termasuk ketika
saya bepergian lama atau saat saya tinggal ke luar negeri sekalipun.
Bermula dari hanya punya satu kartu saja – Citibank
Master Clearcard – akhirnya dengan mempertimbangakan track record saya
sebagai nasabah. Citibank memberikan 1 kartu lagi Citibank Visa
Cashback. Meski punya 2 kartu, tapi saya tetap disiplin mengelola
pemakaian kartu kredit saya.
Jika berbelanja menggunakan kartu kredit,
saya selalu ikuti kasirnya dan saya perhatikan baik-baik bagaimana ia
menggesek kartu kredit saya. Sebab ada teman saya yang kartu kreditnya
dibobol setelah transaksi terakhir ia membayar makan siang bersama
seluruh keluarganya di sebuah resto pizza. Rupanya kasirnya atau oknum
lain mencatat 3 angka yang tertera di balik kartu, lalu nomor kartu
kredit dan no CVV itu dipakai untuk bertransaksi di internet sampai over limit.
Selama 8 tahun memegang kartu kredit, saya tak
pernah bermasalah. Tagihan selalu saya upayakan dibayar penuh dan tidak
telat dari tanggal jatuh tempo. Kalaupun saya telat membayar, itupun
hanya 2-3 hari saja, karena saya lupa atau sedang ada kesibukan sehingga
belum sempat membayar. Ini juga terkait dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran. Dulu, tanggal jatuh tempo pembayaran sekitar tanggal 10,
bukan seperti sekarang tanggal 24 setiap bulan.
Perubahan tanggal jatuh tempo pembayaran ini juga
dilakukan sepihak oleh Citibank, tanpa persetujuan saya sebelumnya.
Setidaknya ini berpengaruh pada cashflow saya. Sebagai karyawan yang
menerima gaji setiap tanggal 27, tentu saya lebih suka jika tanggal
jatuh tempo pembayaran dibuat seperti dulu : tanggal 10, jadi sudah
lewat gajian. Tapi dengan diganti menjadi tanggal 24, artinya sebelum
terima gaji saya sudah harus membayar tagihan. Ini memang sangat tidak
menyenangkan. Tapi meski saya sempat complaint, Citibank tak menggubrisnya. Oke-lah, saya anggap itu kewenangan Citibank mengubah tanggal jatuh tempo tagihan.
Rincian tagihan saya setiap bulan dikirimkan melalui email. Sudah bertahun-tahun saya mengaktifkan layanan e-billing
ini, alasannya juga demi kepraktisan. Untuk apa tiap bulan saya
menerima sebuah amplop, selembar kertas tagihan dan berlembar-lembar
pamflet dan booklet promo lainnya. Hanya memenuhi keranjang sampah saya
saja. Tapi saya juga tahu, alamat domisili riil masih tetap perlu
dilaporkan pada bank penerbit kartu kredit, sebagai data. Meski saya
bukan termasuk nasabah macet yang perlu diuber-uber debt collector, tapi
saya tetap punya itikad baik melaporkan setiap perubahan alamat
domisili.
28 Pebruari 2010, saya resmi pindah ke kota
Cilegon. Saya melaporkan ke pihak Citibank alamat domisili saya yang
baru serta nama dan alamat perusahaan tempat kerja saya saat itu. Semula
tak ada masalah. Ketika kemudian pada Penruari 2011 saya pindah rumah
lagi masih dalam 1 kompleks, hanya bergeser sekitar 300 – 400 meter dari
rumah kontrakan yang lama, saya kembali melapor pada Citibank. Hanya
nama jalan dan nomor rumah yang berganti, bahkan RT pun tidak berubah.
Sayangnya, itikad baik saya kali ini tak dianggap oleh Citibank. Meski
saya berinisiatif menelpon Citiphone banking dan berbicara dengan
Customer Service-nya, mereka punya banyak alasan untuk tak memproses
laporan perubahan alamat domisili.
Saya tidak berhenti mencoba, saya pikir mungkin lagi apes saja saya ketemu dengan CS yang tidak kooperatif. Tapi ternyata, meski sudah beberapa kali melapor, perubahan alamat itu sama sekali tidak diindahkan dan tidak diproses oleh Citibank. Ini baru saya ketahui ketika pada September 2011 kartu saya yang Visa Cashback Card kadaluarsa. Pihak
Citibank mengirimkan kartu baru itu ke alamat perusahaan saya,
diserahkan kepada resepsionis di depan, dan OB yang mengantarkan pada
saya. Perusahaan tempat kerja saya adalah sebuah grup
perusahaan yang memiliki beberapa perusahaan dengan bisnis yang
berbeda-beda. Dan dinamika karyawan di situ, bisa kapan saja – jika
dirasa diperlukan – mendapat penugasan ke perusahaan lain dalam 1 grup.
Kebetulan saat itu saya sudah dipindahtugaskan ke perusahaan yang lain.
Jadi, tindakan Citibank secara sepihak mengubah
alamat pengiriman kartu, tidak bisa saya terima. Sebab sejak dulu saya
tidak pernah mau tagihan apalagi kartu kredit asli, dikirim ke kantor.
Apalagi hanya cukup dititipkan ke resepsionis atau OB. Setahu saya, bank
penerbit kartu kredit umumnya menjaga standar kehati-hatian dalam
memberikan kartu asli. Yaitu tidak boleh diterimakan kepada sembarang
orang, yang namanya tidak tercantum di kartu tersebut atau diberi kuasa
untuk menerima. Kalau dikirim ke rumah masih mending, penerimanya pasti
anggota keluarga. Nah, kalau dikirim ke kantor, siapa saja bisa
menerimanya bukan?
Saya langsung memprotes keras cara Citibank yang
sama sekali tak menghargai customer dan tidak mengindahkan prinsip
kehati-hatian. Protes ini saya sampaikan melalui telepon ke call centre Citiphone banking,
sekaligus menegaskan kembali perubahan alamat domisili saya. Sayangnya,
sepertinya protes ini hanya dianggap angin lalu. Alamat saya tetap tak
berubah. Setiap kali ada pihak Citibank menelpon, entah menawarkan
kredit, personal loan, asuransi, dll, saya selalu sempatkan complaint soal alamat itu. Sudah tak terhitung lagi berapa kali.
Memang pernah salah satu personil Citibank yang
menerima keluhan saya, mengatakan jika perubahan alamat rumah saya sudah
dilakukan. Tapi, saat Pebruari 2012 kartu kredit Master Clearcard saya expired,
seharusnya saya menerima kiriman kartu baru.
Anehnya, sampai saat ini
kartu baru belum saya terima, tapi saya sudah dibebani biaya iuran
tahunan pada tagihan bulan Pebruari. Memang kartu Master Clearcard itu
beberapa bulan terakhir hanya digunakan untuk autodebt pembayaran
tagihan langganan HP dan BB serta donasi rutin untuk UNICEF. Jadi
kartunya tidak lagi dipakai berbelanja di merchant. Tapi tetap saja saya berhak menerima kartu baru.
Tadi siang jam 11.36, seorang personil Citibank bernama FANI dari Citibank Pondok Indah Jakarta, menelpon
saya untuk mengingatkan jatuh tempo pembayaran kartu kredit saya.
Memang saya akui saya telat beberapa hari dan baru melakukan pembayaran
tanggal 31. Hal ini karena kartu ATM Bank Mandiri saya – yang biasa saya
pakai untuk melakukan pembayaran kartu kredit – hilang dan saat ini
sedang dalam proses penggantian. Sementara kartu ATM baru belum jadi,
saya memang minta rekening saya diblokir. Karena cabang bank penerbit
ATM saya di Surabaya, maka perlu proses konfirmasi dulu dan itu membuat
agak lama proses penggantian kartu ATM baru. Karena itu saya pun telat
membayar tagihan kartu kredit, tapi toh sudah saya bayar lunas akhirnya.
Telepon dari Fani itu tidak saya sia-siakan,
sekalian saya juga melapor soal saya belum menerima kartu Master
Clearcard pengganti yang expired. Saya pun menumpahkan
kekesalan pada Fani, bahwa selama ini saya sebagai nasabah yang baik,
tak pernah nunggak apalahi ngemplang, beritikad baik melaporkan
kepindahan alamat rumah, kok bukannya disambut baik malah dicuekin oleh
pihak Citibank. Padahal melapornya bukan sekali dua kali.
Jika dipikir baik-baik, saya tidak dirugikan dengan
tidak dicatatnya kepindahan saya. Kalau saja saya bermental maling,
sudah dari bulan-bulan kemarin kedua kartu kredit itu saya belanjakan
atau saya gesek sampai limit, lalu saya tak membayar tagihannya.
Apa
susahnya ganti alamat email dan menon-aktifkan email lama? Citibank toh
hanya punya alamat email saya dan alamat kantor lama. Alamat rumah pun
lama. Jadi, kalau mereka akan kirim debt collector untuk
mengintimidasi saya, dijamin saya aman, sebab saya tak lagi berada di
kedua alamat itu. Argumen ini sudah beberapa kali saya sampaikan kepada
personil Citibank, agar mereka sadar sepenuhnya bahwa kepentingan meng-up date alamat nasabah itu adalah kepentingan Citibank. Pelanggan tak akan dirugikan jika alamatnya tidak di-up date. Bahkan bagi nasabah nakal, terbuka celah peluang untuk melakukan pembangkangan pembayaran.
Tapi lagi-lagi prosedur yang harus saya lalui
berbelit. Karena ini bukan laporan pertama kali dan sudah masuk bulan
ke-15 sejak saya melapor pertama kali, akhirnya saya minta kepastian
pada Fani, kapan alamat saya di-update, apakah saya akan menerima
konfirmasi tertulis via email agar saya punya bukti bahwa Citibank sudah
merespon laporan saya dan kapan saya bisa menerima kartu baru yang
menjadi hak saya. Sayangnya, Fani berkelit dan sama sekali tak bisa
menjamin saya menerima semua itu. Katanya, alamat saya baru berubah
sebulan kemudian.
WHAT??!!! Bank sebesar Citibank yang sudah online begini perlu waktu sebulan hanya untuk meng-update nama jalan dan nomor rumah?! Dan soal konfirmasi via email, Fani bilang tak dikenal email dalam sistem mereka. Hallooouuww…, bukankah tagihan saya sudah memakai sistem e-billing selama bertahun-tahun?! Mudah sekali bukan mengirim email konfirmasi ke alamat email saya? Lalu, kalau untuk update alamat saja perlu waktu sebulan, kira-kira berapa bulan lagi kartu baru bisa saya terima?!
Saya minta Fani menghubungkan dengan pihak yang
punya otoritas untuk meng-update data. Semula Fani berusaha
menyambungkan saya dengan Customer Service, tapi saya tolak keras, sebab
CS itulah justru biang kerok pangkal berlarut-larutnya persoalan ganti
alamat saja. Fani terus saja buying time dengan berbagai dalih,
sampai akhirnya setelah 40 menit bertelepon, ia mengatakan akan
menghubungkan saya dengan atasannya. Saat itu jam sudah menunjukkan
pukul 12.15 WIB, jadi seandainya jam istirahat kantor Citibank jam
12.00, tentu Fani sudah paham bahwa itu lewat jam istirahat. Tapi kenapa
dia yang sejak tadi buying time dan menolak untuk menyambungkan dengan
pihak berwenang, kini tiba-tiba menawarkannya.
Saya sepakat dan bersedia menunggu. Cukup lama saya
menunggu sampai telepon saya hold, Fani kembali hanya untuk mengatakan
ini sudah jam istirahat sehingga saya tak bisa disambungkan dengan
atasannya. How come?! Bukankah dia tahu itu memang jam istirahat?! Lalu
kalau hanya untuk mengatakan itu jam istirahat, kenapa Fani harus
membuat saya menunggu lamaaa sekali?! Apakah mereka sedang mengarang
alasan baru di belakang saya? Entahlah! Tapi bagi saya yang selalu
berpikir logis untuk setiap kejadian, ini sangat janggal.
Pertama : saya menolak disambungkan dengan CS dan minta dihubungkan dengan pihak yang punya kewenangan untuk melakukan updating data. Fani menolak dan terus buying time.
Kedua : ketika jam sudah lewat jam 12.00, dia tiba-tiba menawarkan
menyambungkan dengan atasannya. Kenapa tidak dari tadi? Bukankah dari
tadi itu yang saya inginkan? Ketiga : Fani membuat saya menunggu lama
hanya untuk mengatakan itu jam istirahat. Aneh bukan? Cukup dengan
melihat jam dia sudah tahu. Dan saya tidak percaya kalau di tempat Fani
berada sama sekali tak ada jam!
Setelah saya paparkan seluruh kecurigaan saya,
tampaknya Fani menyerah dan tak bisa lagi berkelit. Akhirnya sekali lagi
ia janji menghubungkan saya dengan atasananya. Saya sudah mengancam
akan menulis ini di media dan saya tidak main-main. Lagi-lagi Fani
meminta saya menunggu. Penghitung waktu di HP saya sudah menunjukkan
pembicaraan kami 1 jam! Dan tiba-tiba hubungan terputus. Saya tak tahu
kenapa, apakah karena terlalu lama menunggu atau di sana di tutup. Yang
jelas, jika Fani benar-benar menyambungkan saya dengan atasannya dan
ketika kembali ternyata hubungan terputus, maka tentunya ia akan
menelpon saya lagi. Tapi sampai saat saya posting tulisan ini, sudah 2,5
jam berlalu, tak ada satupun telepon masuk dari Citibank.
Inilah Citibank, sebuah bank besar dari Amerika,
yang terkenal kejam memperlakukan nasabahnya yang dianggap “nakal” tapi
oknumnya bisa bebas mengemplang dana nasabah prioritas. Pasca kasus
kematian Irzen Octa dan kasus Malinda Dee, Citibank mengirim email
kepada semua nasabahnya, meminta maaf atas kejadian itu dan berjanji
akan melakukan pembenahan. Sayangnya, nasabah yang baik dan tak
bermasalah seperti saya, yang punya itikad baik untuk melaporkan
perubahan data, justru dipermainkan dan tidak dianggap. Lucunya lagi,
uopdate data alamat saja butuh waktu sebulan. Memangnya masih pakai
mesin ketik manual? Di kelurahan saja, ganti KTP tak selama itu
prosesnya. Jadi, Citibank yang manajemennya dari Amerika itu ternyata
kalah dengan administrasi Kelurahan dong? Semoga ada orang Citibank yang
membaca tulisan ini.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer