Partai Demokrat tahun 2004, nyaris tak ada yang
mengenalnya. Sebagian masyarakat yang cukup melek informasi, hanya tahu
itu partai politik baru bentukan SBY dan bakal mengusung SBY sebagai
Calon Presiden. Meski katanya sudah berdiri sejak tahun 2001, bisa
dibilang tak ada yang pernah mendengar kiprahnya. Mungkin karena waktu
itu SBY masih aktif menjabat sebagai Menkopolhukam di kabinet Presiden
Megawati.
Pasca Pemilu Legislatif, publik terhenyak. Demokrat, partai berlambang bintang Mercy itulah yang tiba-tiba jadi the new winner,
perolehan suaranya mensejajarkan diri dengan PAN dan PKS yang sudah 2x
ikut Pemilu. Harian Jawa Pos kala itu sempat mengulas figur-figur baru
yang beruntung terpilih jadi anggota DPRD I Jawa Timur maupun DPRD II
Surabaya. Kebanyakan dari mereka sama sekali tak menyangka bakal
terpilih. Berawal dari kesulitan mencari kader yang bersedia didaftarkan
jadi caleg, akhirnya keluarga dan kerabat pengurus partai lah yang
ditawari menjadi caleg. Kemenangan para caleg itu ibarat blessing indisguise di tengah ketiadaan pengurus dan calon legislatif.
Jadi, sejak kelahirannya “alam” (baca : dunia politik) memang sudah memberikan previlege
kepada Partai Demokrat. Sejak didirikan tahun 2001, PD memang tak
banyak bergerilya menjaring kader dan berkiprah di masyarakat.
Menghadapi Pemilu 2004, gaung kampanye Partai Demokrat dan para
calegnya nyaris tak terdengar gegap gempitanya. Sekedar pembanding,
Partai Gerindra yang baru berumur 1 tahun menjelang Pemilu 2009, heboh
kampanyenya lebih meriah dan kader-kadernya pun sudah ada. Tampaknya PD
memang sepenuhnya mengandalkan popularitas SBY.
Kemenangan SBY pada 2 putaran Pilpres 2004 membuat
Demokrat bak gadis manis yang siap menerima pinangan siapa saja. SBY
yang menang karena jadi idola – terutama kaum ibu – berbekal citra diri
sebagai purnawirawan militer yang cerdas dan santun, benar-benar magnet
yang luar biasa untuk menarik banyak orang bergabung ke Demokrat. “Orang
cenderung ingin bergabung bersama pemenang”, kata Andi Mallarangeng
yang kala itu masih jadi pengamat politik.
Maka, pasaca Kongres PD tahun 2005, berbondong-bondonglah orang bergabung dengan PD. Para politikus avonturir
segera melepas jas mereka, berganti jas biru. Akademisi dari PTN-PTN
ternama, merasa “terpanggil” untuk ikut bergabung dengan PD, tak peduli
status mereka PNS yang seharusnya dilarang jadi pengurus parpol.
Begitupun seorang politisi muda, mantan Ketua Umum sebuah organisasi
kemahasiswaan kawakan, sekaligus pengamat politik dan komisioner KPU.
Dialah Anas Urbaningrum. Citra Anas kala itu sangat cemerlang, politisi
muda berbobot, potensial dan bersih. Citra bersih didapat dari
penolakannya menerima mobil dinas Kijang Innova dari KPU.
Sayang, Anas lompat pagar ke Demokrat di saat yang
tak tepat. Saat itu para komisoner KPU sedang terlilit kasus dugaan
korupsi dan suap seputar pengadaan barang dan jasa untuk logistik Pemilu
dan Pilpres 2004. Satu demi satu komisioner KPU digelandang KPK dan
harus duduk di kursi pesakitan pengadilan tipikor. Anas pun sempat jadi
saksi dan ia disebut ikut menerima uang. Tapi sejak bergabung dengan
Demokrat, kasus yang terkait dengan Anas tak lagi dilanjutkan.
Partai Demokrat terus menggelembung berkat
kemampuan SBY memelihara citra dirinya. Fraksi Demokrat yang ketika itu
tak terlalu banyak meraih kursi di DPR, juga bisa mencitrakan diri
sebagai partai yang cerdas dan santun. Ujung tombak PD pada periode itu
Syarif Hasan, sang Ketua Fraksi. Setiap acara talk show dan
dialog di TV, hampir selalu Syarif Hasan-lah yang diutus. Dengan
penampilan Syarif Hasan yang kalem dan argumentasinya yang tidak
meledak-ledak, citra Demokrat makin terpelihara dan mengundang simpati.
Pemilu 2009, PD tak kekurangan kader untuk
dimajukan sebagai caleg. Di barisan artis ada Adjie-Angie yang memang
sudah duduk di parlemen sejak 2004. Menyusul Inggrid Kansil (istri
Syarif Hasan), Venna Melinda (mantan Putri Indonesia) dan There. Juga
para pesohor lainnya seperti Ruhut Sitompul dan Roy Suryo. Kerabat SBY
pun berbondong-bondong masuk DPR, ada Edhie Baskoro, Ramadhan Pohan dan
Hartanto Edhie Wibowo. Tentu saja tak lupa Anas Urbaningrum yang
kemudian didapuk jadi Ketua Fraksi. PD benar-benar di puncak kejayaan,
bertabur bintang karena suksesnya menjual citra.
Sayangnya, pencitraan bukanlah pil ampuh yang
menyelesaikan semua penyakit di negeri ini. Memasuki periode ke-2 masa
jabatannya, SBY yang terlalu sering jaim dan dianggap hanya mementingkan
pencitraan, mulai menuai kritik dari semua kalangan yang tak kunjung
melihat hasil kerjanya. Sayangnya, Partai Demokrat sebagai pengusungnya
tak menyadari hal ini. Kesuksesan mendadak dan rasa bangga menjadi
pemenang, sudah melenakan Demokrat.
Para oprtunis yang memang sengaja bergabung dengan
PD karena ingin seperahu dengan pemenang, benar-benar memanfaatkan
kejayaan ini untuk mencari keuntungan bagi dirinya. Contoh nyata adalah
Nazaruddin, yang kabarnya dalam setiap transaksi bisnisnya kerap
“menjual” nama PD dan meminta sekian persen keuntungan untuk kas PD,
seperti dalam kasusnya dengan Daniel Sinambela. Tentu yang memanfaatkan
kedudukan mereka di PD bukan hanya Nazar seorang. Di berbagai daerah
banyak politikus PD baik di legislatif maupun di eksekutif yang jadi
terdakwa kasus korupsi. Ya, kader-kader Demokrat telah menjual citra
partainya dan kini menuai citra yang buruk.
Dalam kondisi terpuruk seperti ini, PD bukannya
berbenah dan mengkonsolidasikan diri. Para elitnya seperti tak
terkoordinasi saling melontarkan pendapat di depan publik, lalu saling
tuding dan berbantahan. SBY seperti kehilangan kontrol untuk mengerem
libido asbun para kadernya, seperti Soetan Bathoegana, Ruhut Sitompul,
Ramadhan Pohan, Marzuki Alie, bahkan Ahmad Mubarok yang sudah senior
sekalipun.
Ironisnya, sebagai partai yang berjualan citra, ternyata fungsi public relation
PD justru mandeg. Maklumlah, yang ditunjuk menjadi penjaga gawang
komunikasi publik justru bagian dari masalah, yaitu Andi Nurpati. Jadi
wajarlah jika Andi Nurpati seperti menjaga jarak dari media. Kader
lainnya, bukannya berusaha menutupi kekurangan Andu Nurpati, malahan
seperti memanfaatkan kekosongan fungsi PR, mereka justru berlomba
menonjolkan kepiawaiannya berdebat di ruang publik, tanpa mengindahkan
etika dan logika. Hancur sudah slogan “partai yang cerdas dan santun”.
Kini, Demokrat berada di titik nadir. Para
pentolannya mulai Ketua Umum, Wakil Sekjen, Bendahara Umum dan Wakil
Bendum semuanya disebut-sebut terlibat kasus suap Wisma Atlit dan
Hambalang. Sulit menghindari anggapan bahwa ini memang kejahatan
korporasi. Makin hancurlah citra yang dibangun lewat iklan “Katakan
TIDAAAKK pada korupsi!!”. 2 bintang iklannya justru terjerat pusaran
suap dan money politics pemenangan Ketua Umum.
Bermula dari keingintahuan anggota DPR dari Fraksi Demokrat, saya meng-click situs resmi PD. Di halaman depan terpampang “Klik disini jika anda ingin menjadi Anggota Partai Demokrat” dan disampingnya ada polling yang terbuka untuk umum. Bunyinya : Sebagai
partai pendukung kinerja pemerintah, Partai Demokrat menjadikan Tahun
2011-2013 sebagai tahun bekerja untuk rakyat, bukan tahun berpolitik.
Bagaimana menurut Anda? Begitu bunyi polling yang hanya menyediakan 2 pilihan jawaban : “Setuju” dan “Tidak Setuju”. Lagi-lagi sebuah polling yang sia-sia dan hanya untuk pencitraan semata. Kenapa begitu?
Sebagai sebuah partai politik, Demokrat tak mungkin
menghindari untuk “berpolitik”. Bukankah membesarkan PD melalui cara
menjual citra ketimbang kerja nyata di masyarakat adalah juga sebuah
pilihan strategi politis? Dengan bentuk pertanyaan tertutup seperti itu,
PD seolah hanya butuh publik meng-“iya”-kan pendapat
mereka. Akan lebih elok jika PD membuat polling dengan pertanyaan
terbuka, yang memberi kebebasan pada responden untuk memberikan
pendapatnya. Misalnya dengan pertanyaan : “Menurut anda, apa yang sebaiknya dilakukan Partai Demokrat untuk meraih kembali kejayaannya?”.
Dengan pertanyaan semacam ini PD akan mampu
menjaring aspirasi masyarakat dan tahu apa harapan pemilih akan sebuah
partai politik. Setidaknya PD bisa mengelompokkan jawaban menjadi 5
kelompok besar action plan yang bisa dijadikan pijakan untuk melangkah. Tapi, beranikah Demokrat melakukan polling semacam ini?
Sebab bisa diprediksi jawaban terbanyak adalah yang menyarankan agar PD
tak ragu menonaktifkan kader-kadernya yang disinyalir terlibat dalam
kasus suap dan money politics, baik dari kepengurusan partai maupun dari keanggotaan di DPR.
Demokrat, lahir karena sebuah kebetulan ketika nama SBY melambung tiba-tiba. Kemudian dibesarkan dengan modal pencitraan, kini harus terpuruk karena citra yang dibangun ternyata semu
belaka. Ketua Umumnya gagal mengabaikan rayuannya dan katakan TIDAAAKK
pada korupsi ketika ia terbentur pada keniscayaan bahwa untuk
memenangkan suara daerah-daerah butuh dana ratusan milyar. Wakil
Sekjennya lupa menutup telinga, menggelengkan kepala dan katakan
TIDAAAKK ketika ada yang menawarinya apel Malang, apel Washington dan
semangka.
Di tengah badai, mereka masih mabuk citra
dan tetap yakin bisa memenangkan suara pada 2014. Mabuk citra itu
mengejawantah dalam komunikasi politik para kadernya yang enggan
mendengar pendapat masyarakat, menolak kenyataan yang terjadi dan
mengabaikan persepsi publik. Bahkan dalam pollingnya pun pelibatan
pendapat publik hanya sebatas dipaksa untuk menjawab “setuju” atau
“tidak setuju” dengan pola pencitraan yang mereka gagas, tanpa
menyampaikan apa yang dimaksud dengan “bekerja untuk rakyat”. Kalau
sudah begini, PD tinggal menunggu kehancurannya saja. Easy come easy go, semudah itu pula sebuah citra luntur.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer