Kemaren Senin malam, saya saksikan tayangan di acara “Suara
Anda”, Metro TV – karena di TV One berita semacam ini pasti tak bakal
tayang – sekelompok warga korban luapan lumpur panas Lapindo bentrok
dengan polisi. Jika dibandingkan dengan demo menolak rencana kenaikan
harga BBM sekitar akhir Maret lalu, demonstrasi yang dilakukan warga
korban lumpur itu tak ada apa-apanya. Mereka hanyalah sekelompok warga
yang putus asa, bersama-sama bergerak, ada yang naik truk, menuju ke
jalan raya Porong. Tapi polisi memperlakukan mereka dengan kasar,
digebukin dan dikejar-kejar seolah mereka akan melakukan demo anarkhis.
Padahal mereka hanya ingin menuntut hak-nya saja, yang seharusnya sudah
sejak lama dibayarkan.
Tadi pagi, saya baca judul tulisan di Kompasiana : “Apa Kabar Lapindo?” Rupanya bukan kabar baik. Kemarin, saya baca running text di Metro TV : “warga korban lumpur Lapindo menduduki tanggul di titik 25 (mungkin maksudnya km 25)”. Masih running text yang sama : “PT. Minarak Lapindo Jaya menyerah tak mampu lunasi ganti rugi akhir Juni”.
Ini sungguh mengejutkan bagi saya, yang kebetulan tahu tentang
kronologi peristiwa meluapnya lumpur panas hingga merendam daerah hunian
warga dan pabrik-pabrik di sekitarnya, sekitar 6 tahun lalu.
PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) adalah anak
perusahaan dari Lapindo Brantas Incorporation (LBI) yang dibentuk
beberapa bulan setelah semburan lumpur panas menelan korban dengan
menenggelamkan ribuan rumah di wilayah 4 Desa, yaitu Siring,
Jatirejo, Kedungbendo, dan Renokenongo. PT. MLJ ditunjuk sebagai “juru
bayar” yang mengurus ganti rugi tanah dan bangunan milik warga yang
menjadi korban, yang dalam perspektif Lapindo adalah jual-beli asset.
Padahal, sebetulnya transaksi itu tak layak
disebut jual beli, sebab warga tak pernah berniat menjual assetnya
kepada Lapindo dan harga yang ditetapkan pun bukan atas persetujuan
kedua belah pihak. Para korban harus menerima begitu saja nilai “jual”
tanah dan bangunan milik mereka yang sudah terlanjur terendam lumpur.
Belum lagi ditetapkannya sejumlah persyaratan administratif dan
legalitas formal yang diminta oleh MLJ, yang pada prakteknya menyulitkan
sebagian besar warga yang sudah terlanjur menjadi korban.
Skema pembayaran pun di tentukan sepenuhnya
oleh MLJ, yaitu 20% dibayar tunai setelah dokumen diverifikasi,
sedangkan sisanya 80% akan dibayar 2 (dua) tahun kemudian. Dalam
kenyataannya, ganti rugi yang 80% inilah yang paling rentan
dimanipulasi. Karena tanpa persetujuan dan tanpa ada payung Keppres,
Perpres atau apapun, tiba-tiba saja MLJ menetapkan sisa ganti rugi yang
80% itu diangsur Rp. 15 juta setiap bulan, tak peduli berapapun total
nilai ganti rugi yang harus dibayarkan. Bayangkan seorang pemilik tanah
sawah yang luas yang dimiliki dari hasil warisan, dimana nilai sawah
dihargai Rp. 1 milyar, baru dibayar Rp. 200 juta, sisanya yang Rp. 800
juta dicicil Rp. 15 juta, maka butuh waktu 54 bulan baru lunas dan itu
berarti hampir 4,5 tahun kemudian. Itupun dengan catatan angsuran lancar
dibayar setiap bulan tanpa menunggak. Faktanya?!
Menurut pengakuan Andi Darussalam Tabussala, MLJ memiliki kewajiban membayar ganti rugi senilai Rp 3,9 triliun. Sampai saat ini Lapindo masih baru membayar sebesar Rp 2,8 triliun dan sisanya masih kurang Rp 1,1 triliun. Perlu diketahui bahwa kewajiban membayar ganti rugi yang dibebankan kepada Lapindo hanyalah sebatas peta area terdampak sampai Desember 2006 saja.
Sedang sisanya kemudian di tanggung oleh negara melalui APBN, pasca
ditetapkannya semburan lumpur panas di Sidoarjo itu sebagai “bencana
nasional” oleh Komisi VII DPR periode 2004 – 2009.
Dengan kata lain, kewajiban sebesar Rp 3,9 Triliun itu seharusnya paling lambat sudah dilunasi pada tahun 2009,
jika mengacu pada perjanjian bahwa ganti rugi yang 80% harus sudah
dilunasi setelah 2 (dua) tahun suatu daerah terkena dampak luapan
lumpur. Lalu, kalau sekarang, hampir 6 tahun pasca semburan lumpur
keluar dari jarak 100 meter dari lokasi pengeboran minyak si sumur
Banjar Panji – 1 milik LBI, barulah MLJ menyatakan tak sanggup memenuhi
kewajiban ganti rugi, bagaimana nasib para warga yang sudah menjadi
korban selama 6 tahun?
Perlu diketahui, MLJ menyatakan “MENYERAH” setelah
pengajuan kreditnya sebesar lebih dari Rp 900 milyar kepada Bank Jatim
resmi ditolak pada 11 April 2012. Semula, Lapindo meminta Gubernur Jatim
agar mendesak Bank Jatim untuk mengabulkan kredit yang diajukan MLJ.
Ini tercermin dari pernyataan Gubernur Jatim, Soekarwo : “…meskipun mereka selalu bilang pemerintah harus menekan Bank Jatim, ya tetap ndak bisa.”.
Karena menurut Soekarwo agunan yang disampaikan MLJ nilainya hanya
sebesar Rp. 200 milyar sedangkan kredit yang diajukan nilainya lebih
dari Rp. 900 milyar. Artinya, semula ada upaya Lapindo untuk meminta
Pemerintah Propinsi mengintervensi dan menekanBank Jatim agar meloloskan
kreditnya.
Kalau karena faktor ditolaknya kredit oleh
Bank Jatim ini kemudian MLJ menyatakan menyerah, maka di mana letak rasa
tanggung jawab MLJ?! Bukankah kewajiban membayar ganti rugi itu sama
sekali tidak memerlukan persyaratan jika Bank Pemerintah memberikan
pinjaman kepada MLJ? Apa saja yang sudah dilakukan MLJ sampai kini, 6
tahun kemudian belum juga merampungkan kewajibannya? Bahkan kemudian
mereka menjadikan penolakan atas kredit itu sebagai kambing hitam untuk
mangkir dari tenggat waktu pada Juni 2012 nanti.
———————————————————-
KILAS BALIK TERJADINYA SEMBURAN LUMPUR PANAS
Dalam buku “Banjir Lumpur Banjir Janji – Gugatan Masyarakat Dalam Kasus Lapindo” terbitan
Kompas, yang berisi kumpulan tulisan, berita, reportase dan artikel
yang ditulis oleh wartawan Kompas maupun para pakar, para saksi
peristiwa dan operator pengeboran, yang semuanya pernah di muat di
Kompas dalam kurun waktu 2006 – 2007, tampak jelas bahwa semburan lumpur
panas itu sama sekali tak ada kaitannya dengan gempa yang terjadi di Jogja pada 26 Mei 2006. Berikut kutipan dari buku tersebut halaman 18 – 19 :
Berdasarkan kronologi kejadian pada tanggal 27 Mei 2006, pengeboran dilakukan dari kedalaman 9.277 kaki ke 9.283 kaki. Pukul 07.00 hingga 13.00
pengeboran dilanjutkan hingga ke kedalaman 9.297 kaki. Pada kedalaman
ini sirkulasi lumpur berat masuk ke dalam lapisan tanah. Peristiwa ini
disebut loss. Lumpur berat ini digunakan sebagai semacam
pelumas untuk melindungi mata bor sekaligus untuk menjaga tekanan
hidrostatis dalam sumur agar stabil.
Peristiwa loss yang lazim dalam pengeboran pada umumnya diikuti munculnya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas atau disebut kick. Untuk mengantisipasi kick, pipa ditarik ke atas untuk memasukkan casing sebagai pengamanan sumur. Sebagai catatan, casing terakhir dipasang di kedalaman 3.580 kaki. Saat proses penarikan pipa hingga 4.241 kaki pada 28 Mei 2006 pukul 08.00 – 12.00, terjadilah kick. Kekuatannya 350 psi. Kemudian disuntikkan lumpur berat ke dalam sumur.
Ketika hendak ditarik lebih ke atas, bor macet atau stuck
di 3.580 kaki. Upaya menggerakkan pipa ke atas, ke bawah, maupun
merotasikannya gagal. Bahkan pipa tetap bergeming saat dilakukan
penarikan sampai dengan kekuatan 200 ton. Upaya ini berlangsung mulai pukul 12.00 hingga 20.00. Selanjutnya untuk mengamankan sumur, disuntikkan semen di area macetnya bor. Akibat macet, akhirnya diputuskan bor atau fish diputus dari rangkaian pipa dengan cara diledakkan. Pada 29 Mei 2006 pukul 05.00, terjadilah semburan gas berikut lumpur k epermukaan.
Ahli Geologi Perminyakan, Andang Bachtiar
menyatakan persoalan lumpur panas pertama-tama muncul karena adanya
ketidakstabilan atau peningkatan tekanan dalam formasi. Menurut Andang, persoalan utama dipicu adanya kekeliruan dalam pemasangan selubung (casing implementation). “Menurut perkiraan saya, casing tidak kuat. Maka ketika terjadi kick atau pada saat memompakan killing mud, formasi di sekitar casing pecah”, kata mantan Ketua Ikatan Asosiasi Geolog Indonesia (IAGI). (kutipan dari halaman 20)
Menyimak dari fakta dan keterangan ahli di atas,
pantaskah Lapindo lari dari tanggung jawab? Wajarkah jika kemudian
negara (Pemerintah) menyerah pada sebuah korporasi dan bersedia
menanggung kewajiban ganti rugi akibat kesalahan dan kelalaian
pengeboran yang dilakukan sebuah korporasi? Mestinya, jika Partai Golkar
benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, ketimbang menggagas
interpelasi untuk Dahlan Iskan – tanpa bermaksud membela Dahlan Iskan –
bukankah lebih besar dampak dan manfaatnya melakukan interpelasi pada
Presiden karena dengan mudah terus menerus menaikkan alokasi dana APBN
untuk pembayaran ganti rugi pada korban lumpur Lapindo, sementara pihak
Lapindo sendiri dengan mudah dan seenaknya menyatakan “menyerah” begitu
saja.
Interpelasi untuk Dahlan Iskan didasari dugaan
tindakannya “berpotensi” menyebabkan terjadinya penyalahgunaan wewenang
oleh Direksi BUMN. Sedangkan penyalahgunaan APBN – yang nota bene uang
yang diperoleh dari pajak rakyat dan seharusnya menjadi hak rakyat –
telah terbukti selama bertahun-tahun selama masa Pemerintahan SBY
dipakai untuk mem-back up kewajiban Lapindo. Ini bukan lagi sekedar dugaan dan bukan pula “berpotensi”, tapi sudah terjadi.
Sementara, rakyat Sidoarjo yang sudah 6 tahun
terusir dari kampung halamannya, mendadak jadi tuna wisma, harus tinggal
di barak penampungan di Pasar Baru Porong yang belum sempat diresmikan,
berdesakan dalam kios ukuran 4×5 meter untuk ditinggali 3 (tiga)
keluarga. Belum lagi dampak sosialnya dan gesekan horisontal antar warga
karena kondisi psikis yang tak lagi sehat karena sekian lama hidup di
pengungsian dengan fasilitas jauh dari memadai.
Pada awal 2007 saja, Disnaker Sidoarjo mencatat
setidaknya 15 pabrik yang mempekerjakan sekitar 1.736 karyawan terpaksa
menghentikan produksinya karena pabriknya terendam lumpur. Pengusaha
bangkrut dan pekerja mendadak jadi pengangguran tanpa pesangon. Pekerja
sektor informal dan wirausahawan mandiri pun banyak yang terpaksa
menghentikan usahanya. Kondisi perekonomian warga yang semula relatif
cukup, mendadak lumpuh. Tanpa penghasilan, tanpa pekerjaan dan tanpa
rumah tingal. Kini, tanpa kepastian ganti rugi! Lengkaplah sudah nestapa
para korban lumpur panas Lapindo. Jika Minarak Lapindo menyerah, seharusnya
Pemerintah jangan menyerah menuntut Lapindo agar bertanggung jawab.
Jika bukan negara (Pemerintah) yang melindungi rakyatnya, siapa lagi?!
catatan ira oemar freedom writers kompasianer