Tugas utamaku pagi hari selepas menuruni tangga rumah adalah mempersilakan para ayam ke luar dengan melepaskan palang pintu kandang mereka. Hal yang sama pun diperbuat oleh kawan selapik seketiduranku yang acapkali berkumpul bermalam di rumahku. Ayam-ayam jantan akan berebutan cepat-cepat keluar tunggang-langgang menjauhkan diri dari sang maharaja yang berpredikat paling jago dalam kandang tersebut.
Kondisi ini baru terjadi kalau prasyaratnya terpenuhi yaitu sang jagoan berdiri menjauh dari pintu tersebut. Andai tak satu pun ayam yang keluar dari kandangnya, walau sudah lebar pintu terkuak, dapat dipastikan sang raja diraja lagi berkacak pinggang dekat pintu. Semua ayam merasa kecut nyalinya berlalu dekat raja, kecuali ayam betina yang merasa nyaman berada di sampingnya sebagai pelindung dan sekaligus berharap agar dia menindihnya demi kelahiran turunan yang bermutu hidup yang tinggi.
Tak lama berselang sang raja ini akan menyembulkan wajahnya mengayunkan langkah perlahan berwibawa bagai seorang jenderal melewati pintu kandang yang akan diikuti oleh para selir dan anak kemenakannya yang lain. Seperti biasa, dia mau tampil beda, melompat terbang ke ketinggian dan menunaikan kewajibannya lagi berkokok berhaleluya menyongsong pagi yang ceria. Boleh jadi juga dia memperingatkan pejantan lain akan keberadaannya yang menguasai teritori sekitar rumahku. Boleh jadi juga peringatan yang sama diarahkan kepada kami yang lagi bersilunjur di batu besar yang tak begitu jauh dari tenggerannya.
"Ayam kinantanku jagoan sekali," ucapku sembari mengaguminya.
"Berani sekali dia," sahut Cilik.
"Tapi, seringkali dia lari terbirit-birit dikejar ayam jantanku!" imbuh Siih.
"Tampangnya kapalan," kataku Kalonok.
"Dia kafir, tidak disunat," ucap Irin yang sering menentang tradisi sunat yang tidak pernah diperintahkan Tuhan lewat Qoran.
"Dan, doyan berpoligami," tambah Kalonok sembari membayangkan nabi dan kyai fanatiknya.
Alhamdulillah ayamku itu tak mengikuti percakapan kami. Andai paham bahasa manusia, tentulah sudah dilapurnya pula kami dengan paruhnya yang sekeras kayu dan tajinya yang setajam duri mawar. Anjing Kalonok yang gagah pemberani dan selalu ikut berburu babi pun sering berpapasan agak menjauh dari ayam kinantanku yang bersorot mata tajam dingin dan mudah naik pitam itu. Agaknya anjing Kalonok adalah makhluk yang arif bijaksana yang lebih menyukai kedamaian ketimbang pertikaian dengan si sinting itu.
Beberapa saat berlalu sang kinantan merasa sudah selesai menunaikan kewajiban, turun dari ketinggian, dan mulai asyik menikmati sarapan paginya untuk menumpuk energi sembari mata cabulnya meloncat ke sana ke mari mereka-reka betina mana yang bisa digoda dan ditindihnya. Itu juga semacam isyarat bagi kami untuk mengingsut pinggul, turun dari bebatuan yang besar tempat kami berleha-leha, dan mengarahkan langkah menuju tepian sungai tempat mandi.
Namun, kegiatan ini baru bisa berlaku sesudah Kalonok bergabung dalam grup kami. Di samping harus pulang ke rumah untuk meloloskan palang pintu kandang ayam, dia juga harus memotongi rumput segar di pinggir bandar untuk sarapan pagi kudanya. Bapaknya seorang yang rajin, cepat bekerja, dan memelihara ayam yang banyak. Dan, Kalonok juga termasuk salah seorang anak yang rajin dan sibuk melayani ayam-ayamnya.
Ayam kami harus mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Beda dengan ayam broiler yang dipingit di kota, ayam dusun beroleh hak prerogatif penuh untuk bebas ke mana saja dia hendak hengkangg. Sebagai kompensasinya, kami juga bebas memunguti telur yang ditinggali dalam kandang. Suatu simbiosis natural lewat konsensus yang tak tertulis jauh-jauh hari sebelum Gunung Merapi masih sebesar telur inyiak. Kendati bebas bepergian ke dusun lain atau luar negeri, selalu saja mereka balik berkumpul ke kandangnya sebelum gelap mulai mewarnai pedusunan kami yang senyap.
catatan edizal the indonesian freedom writers