Kemarin kantor saya kedatangan tamu tak
diundang. Jarum jam dinding masih di kisaran angka 10, ketika seorang
pemuda tanggung tiba-tiba berdiri di anak tangga ke-4 dari atas dan
menyapa Pak Henry, Manajer Keuangan perusahaan kami. Ruang kerja saya
memang di lantai 2, anehnya, tamu itu tak naik sampai ke lantai 2. Ia
menghentikan langkahnya saat masih kurang 3 anak tangga lagi untuk
sampai di ruangan kami. Kontan semua mata berpaling ke arah si tamu.
Semula ia menanyakan Pak Zainal – sebut saja begitu
– Manajer Komersiil perusahaan kami. Karena Pak Zainal sedang tidak di
tempat, kami menjawab “tidak ada”. Pak Henry sepertinya kurang berkenan
dengan sikap pemuda itu, jadi ia cuma menjawab sepatah kata saja dan tak
melanjutkan. Akhirnya saya berinisiatif menanyakan apa keperluannya
agar bisa saya sampaikan saat Pak Zainal kembali nanti. Pemuda itu
menjawab “mau menanyakan lamaran kerja”. Aneh juga, biasanya tamu yang
mencari Pak Zainal pasti utusan dari customer.
Spontan rekan saya yang
tadi disapa pertama kali, langsung menunjuk saya sambil menegaskan “Kalo
soal lamaran kerja ya tanyakan ke Ibu ini”.
Pemuda itu masih tetap berdiri kaku di anak tangga,
akhirnya saya menyuruhnya masuk ke ruangan agar kami bisa berbicara
dengan nyaman. Dia hanya naik sampai ujung tangga, tapi tetap berbicara
dari ujung ruangan itu. Saya sampai setengah memaksanya untuk masuk dan
duduk di kursi di depan saya. Saya taksir usianya sudah di atas 25
tahun, mungkin 27 tahunan-lah. Tampangnya kaku dan tampak rikuh. Dia
mengaku sudah memasukkan lamaran kerja melalui Pak Zainal tapi kok belum
ada keputusan. Saya tanyakan siapa namanya, Satyo jawabnya (bukan nama
sebenarnya). Saya coba buka tumpukan berkas dan amplop lamaran yang
masuk dalam 3 bulan terakhir, tak satu pun atas nama Satyo.
Lalu saya tanyakan kapan dia ketemu Pak Zainal.
Katanya sekitar bulan Maret. Wah, mestinya lamarannya masih “gres” tapi
kok tak ada dalam arsip saya? Saya tanyakan apa pendidikannya, dia jawab
pernah kuliah tapi ijazahnya SMA. Ooh.., mulailah saya paham sebab
ingat curhat Pak Zainal beberapa waktu lalu pada saya. Tapi saya
pura-pura tak tahu, lalu berjanji akan menanyakan pada Pak Zainal nanti
kalu beliau sudah kembali ke kantor. Tampaknya pemuda itu berusaha
mendesak saya menelpon Pak Zainal. Saya sampaikan kalau Pak Zainal
sedang meeting penting dengan customer dan kami tak tahu pasti
jam berapa beliau kembali ke kantor, biasanya langsung ke pabrik. Dia
tampak kecewa sekali.
Saya tanyakan alamat dan nomor Hpnya untuk
disampaikan ke Pak Zainal. Saat dia sebut nama jalan dan komplek
rumahnya, saya makin yakin dengan dugaan saya dan langsung menebak bapak
dari si Satyo ini pastilah seorang “pejabat” di sebuah BUMN. Herannya,
saat ditanya nomor HP Satyi tampak ragu dan sejenak kemudian
mengeluarkan HP lalu mencari-cari dari phonebook barulah disebutkannya
sederet nomor. Umumnya, orang hafal luar kepala nomor HP-nya sendiri.
Ketika Satyo menyebut alamatnya, kembali seisi ruangan menoleh ke
arahnya.
Satyo kemudian meminta saya menyampaikan pada Pak
Zainal dan besok dia akan kembali datang. Khawatir Satyo akan datang
lagi, saya langsung bilang : “Maaf Mas, data Mas Satyo sudah saya catat,
nanti saya sampaikan ke Pak Zainal. Soal bagaimana nantinya, sebaiknya
tunggu kabar saja dari Pak Zainal. Sebab saya yakin Pak Zainal
mencarikan pekerjaan buat Mas Satyo bukan di sini, mungkin saja di
perusahaan teman-teman atau koleganya. Saya sebagai HRD di sini, bisa
jawab, saat ini perusahaan kami sedang tidak butuh karyawan untuk posisi
apapun. Begitu juga di perusahaan sebelah – saya sebut nama perusahaan
yang juga grup perusahaan kami – intinya 3 perusahaan yang ada di sini
semuanya sedang tidak melakukan rekrutmen. Jadi percayalah, Pak Zainal
sedang berupaya mencarikan pekerjaan untuk anda, tapi saya yakin bukan
di grup perusahaan ini”. Satyo tampak tercengang dan sejurus kemudian
dia mengangguk-angguk lalu pamit pulang.
ANAK MANJA, SEMAU GUE SAMPAI DEWASA
Begitu Satyo menghilang dari pandangan kami, seisi
ruangan langsung bertanya : “Siapa sih anak itu, Bu Ira?”. Saya bilang
saya tak tahu pasti, tapi saya mengira pemuda itu pastilah yang pernah
diceritakan Pak Zainal. Ceritanya Pak Zainal mendapat keluhan dari
rekannya, seorang pejabat di sebuah BUMN. Dia sedang gulana, putranya
yang sudah 6 tahun dibiayainya kuliah, ternyata tak kunjung selesai
bahkan berhenti. Anaknya kuliah di sebuah PTN paling terkemuka di
Surabaya. Katanya sejak awal si anak suka pindah jurusan dan entah
kenapa akhirnya tak mau lagi melanjutkan setelah sekian lama kuliah.
Saya kira bukan berhenti, bisa jadi malah di-DO.
Saat ini si bapak bingung melihat anak lelakinya
sudah dewasa tapi tanpa masa depan yang jelas. Pendidikannya terhenti
tanpa hasil. Satu-satunya kompetensi yang dimiliki – masih pengakuan si
bapak – fasih berbahasa Inggris. Tapi kemampuan ini juga bukan hal
langka di jaman sekarang. Anak lulusan SMA yang lancar cas-cis-cus
ber-Inggris ria juga banyak. Bapaknya meminta Pak Zainal menerima
anaknya bekerja di perusahaan kami, terserah mau diposisikan sebagai
apa, nanti gajinya akan dibayar oleh bapaknya, melalui Pak Zainal,
dibayarkan bersamaan saat gajian. Jadi seolah-olah dia digaji oleh
perusahaan seperti karyawan lainnya.
Tentu saja secara profesional ini tak bisa
dibenarkan. Perusahaan kami bukan lembaga sosial tempat penampungan anak
bermasalah sosial. Dengan ijazahnya yang hanya sampai SMA, rata-rata
yang melamar pada kami untuk ditempatkan di pabrik, sebagai buruh yang
menangani pekerjaan non skilled dan cenderung mengandalkan kekuatan
fisik semata. Upahnya pun standar UMK plus uang makan, transport, shift,
lembur, dll. Lalu, apakah si bapak terima anaknya dipekerjakan seperti
itu dengan bekal ijazah SMA-nya? Lalu kalau tak mau pekerjaan di pabrik,
pekerjaan “kantoran” macam apa yang bisa kami berikan? Semua pekerjaan
di kantor sudah dihandle dengan baik dan kami tak merasa perlu tambahan staff.
Saya mencoba menyampaikan alasan dari sisi
psikologis. Pemuda itu tentunya “bermasalah”. Kalau sesuai pengakuan
bapaknya sebenarnya ia tergolong pintar, aneh jika ia tak mampu
menyelesaikan kuliahnya sampai 6 tahun. Setahu saya anak kuliahan
sekarang 4 tahun sudah jadi sarjana. Pelamar fresh graduate rata-rata
usianya 21 – 23 tahun. Nah, jika dia sendiri tak mampu menyelesaikan
masalah yang dihadapinya sampai membengkalaikan kuliahnya, bagaimana ia
akan memasuki dunia kerja yang penuh dengan kompetisi, dituntut
kemandirian, kedewasaan berpikir, inisiatif dan tanggung jawab penuh?
Katakanlah karena ewuh pakewuh pada si bapak yang juga customer
kami, lalu kami terima anaknya bekerja di perusahaan ini, apa yang akan
dia kerjakan? Kalau akhirnya hanya menganggur sepanjang hari, apa tak
makin bikin stress? Belum lagi kalau dia justru menimbulkan masalah baru
dalam interaksinya dengan rekan kerja atau responnya terhadap tanggung
jawab pekerjaan. Dengan pertimbangan itu, tegas saya tolak untuk
menerima seseorang tanpa alasan yang dapat diterima akal secara
profesional. Pak Zainal terpaksa membawa lamaran anak itu kembali dan
mungkin sekarang entah ngendon dimana. Saat sore harinya saya sampaikan
perihal si Satyo, Pak Zainal hanya tertawa kecil dan tak menanggapinya
serius.
———————————————————————
Begitulah orang tua, seringkali lupa menyadari
bahwa anak mereka sudah dewasa dan sudah saatnya diajari untuk menerima
akibat dari perbuatannya dan menanggung resiko dari pilihan hidup yang
dibuatnya. Seorang anak yang sudah lulus SMA tentunya sudah bisa diajak
bicara baik-baik, sudah mulai mengerti kepentingan masa depannya
sendiri. Jika toh dia memilih untuk selengekan dan mengacaukan
pendidikannya, dia sudah tahu resikonya apa. Tak sepatutnya orang tua
terus mengambil alih tanggung jawab yang harus diemban anaknya yang
sudah dewasa. Bukankah tugas orang tua adalah “mengantarkan”
anak-anaknya menuju pintu gerbang kedewasaan?
Orang tua tak akan selamanya bisa menemani dan mem-back up
anaknya. Bukankah umur bukan di tangan kita? Sampai kapan orang tua
mampu terus menerus mensupport materi bagi anaknya? Akan ada masanya si
anak berumahtangga, menikah, punya istri lalu anak-anak. Akankah sampai
beranak pinak tetap jadi tanggungan orang tua yang tentunya makin renta?
Si bapak yang pejabat BUMN itu akan tiba masanya pensiun, masihkan ia
sanggup terus menerus “menggaji” anaknya meski sebenarnya anaknya hanya
jadi pengangguran terselubung?
Saya jadi ingat ibu kost saya di Surabaya dulu.
Ketiga putrinya sukses jadi dokter spesialis, justru putra pertamanya
yang DO kuliahnya, meski sempat mengenyam bangku kuliah di sebuah
Institut Teknologi terkemuka. Sesungguhnya si anak pintar, hanya saja
“nakal”. Sejak kecil, putra semata wayang yang juga anak pertama ini
memang “anak mama”. Segala kebutuhannya dibantu oleh PRT sampai besar.
Ketika SMA, ia suka membolos dan menghabiskan waktunya kongkow di
jalanan. Kebetulan tantenya sering memergokinya bolos sekolah. Jika si
tante melaporkan pada ibunya, si ibu tak terima, bahkan berbalik si
tante yang dituduh ingin menjelek-jelekkan putranya. Akhirnya, ketika
sudah kuliah, ancaman DO tak bisa lagi dihindari.
Celakanya, si ibu bukannya menyadari kesalahannya
memanjakan anak. Putranya ini kemudian terpaksa menikahi pacarnya yang
terlanjur dihamili. Selama itu pula ibunya terus menerus mem-back up
dengan memberikan modal kerja, meski selalu dibohongi anaknya. Modal
kerja habis, hasilnya tak tampak sama sekali, asset terjual tapi uang
penjualannya tak berwujud apapun. Kejadian ini berulang berpuluh-puluh
kali, sampai 3 anak dari pernikahannya mulai besar. Cucu pertama masuk
kuliah pun, si nenek yang menanggung.
Lebih celaka lagi, anak laki-laki manja yang waktu
itu sudah berumur pertengahan 40-an, bukannya sadar bahwa jalan hidup
yang dipilihnya salah, ia malah menjalin hubungan dengan wnaita lain dan
lagi-lagi harus menikahi karena menghamili. Begitulah, 2 rumah tangga
dari “anak mama” ini terpaksa jadi tanggungan ibunya. Kini, si anak
manja ini usianya sudah 51 tahun. 2 putranya dari istri pertama sudah
sarjana bahkan yang tertua sudah menikah. Putri bungsunya dari istri
pertama sudah kuliah. Sementara 2 anaknya dari istri kedua sudah SD dan
SMP. Tapi perilaku tak bertanggungjawab dan menggantungkan pada orang
tua tetap saja tak berubah.
Dari 2 kasus ini, ada hikmah besar yang bisa
diambil para orang tua : hati-hati dalam memanjakan anak. Sebaiknya,
ketika anak kita mulai menginjak remaja, tanamkan rasa tanggung jawab
terhadap masa depannya sendiri. Bahwa pendidikan itu untuk
kepentingannya, bukan kepentingan orang tua. Jadi yang ingin berhasil
haruslah dirinya, bukan orang tuanya. Harus pula ditanamkan bahwa orang
tuanya tak akan lagi membantunya secara finansial kalau ia sudah
mencapai usia tertentu, katakanlah maksimal 25 tahun. Dan tentu orang
tua harus “tega” mendidik anaknya mandiri, sebelum keterusan manja dan
bergantung pada orang tua sampai tua. Sebab, jika terlanjur salah,
ternyata makin tua usia anak, makin sulit memperbaikinya dan sudah
melekat jadi karakter si anak. Semoga bermanfaat.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer