kami dikejutkan oleh berita yang kami terima dari keluarga salah seorang sepupu kami yang mengabarkan bahwa sepupu kami itu sedang terbaring di ruang ICU di Rumah Sakit Melia di Cibubur. Dia kebetulan sedang di Jakarta mengunjungi anaknya yang tinggal dibilangan Cibubur. Domisilinya sebetulnya di Padang, Sumatera Barat.
Sejak beberapa waktu yl di Padang ybs juga sudah bolak-balik ke rumah sakit. Keluarganya sepakat membawa beliau ke Jakarta, supaya lebih dekat dengan dan langsung dapat dirawat oleh anaknya.
Maka meluncurlah saya berdua dengan isteri saya ke Cibubur. Tiba di ruang ICU kami dipersilahkan masuk bergantian. Taferil yang kami lihat bukanlah sesuatu yang sejuk : sepupu saya itu tergolek dengan sekian banyak slang tersambung dari tubuhnya dengan alat-alat monitor medis terpampang diatas tempat tidurnya.
Tubuhnya nyaris menggelapar-gelepar karena kesulitan bernapas. Jelas dia tidak bisa lagi berkomunikasi. Tak lama saya diruang itu. Segera saya pun keluar ruangan. Saya tak kuasa menahan sedih ketika saya lihat anak perempuannya (seorang dokter sebagaimana juga ayahnya yang sedang terbaring itu pun seorang dokter pula) kepayahan menahan tangisnya dan berucap lirih “..Papa sangat menderita…”. Berceritalah anaknya itu kepada kami mengenai sederet organ tubuh papanya yang nyaris tidak lagi berfungsi secara normal. Dari paru-paru, jantung dan ginjal yang sudah “erratic” semua.
Ingatan saya melayang ke taferil-taferil yang sama di waktu lampau, dan juga ke beberapa kali pengalaman saya sendiri ketika harus menjalani perawatan diruang ICU. Berada dalam ruang ICU – baik sebagai pengunjung apalagi sebagai pasien – memang bukanlah sesuatu yang perlu diidamkan apalagi dirindukan. Tubuh yang didera derita berkepanjangan yang kadang-kadang, bahkan seringkali, bermuara pada kematian, bukanlah sesuatu yang nyaman untuk dilihat apalagi dijalani.
Pernah kejadian serupa menimpa salah seorang kerabat isteri saya. Kejadiannya juga di ruang ICU suatu rumah sakit di bilangan Jakarta Timur. Saya masih ingat bahwa kami mengunjunginya (sekarang sudah almarhum) pada suatu hari Ahad. Sekian banyak slang juga “menghias” tubuhnya yang kian lama kian layu. Dua hari setelah itu dia dinyatakan meninggal dunia. Dengan separuh berbisik salah seorang dokter pada waktu itu menyampaikan kepada isteri dan anak-anak almarhum bahwa sebenarnya almarhum “sudah almarhum” sejak Ahad dua hari sebelumnya. Hanya saja para dokter “terikat dengan sumpah” sehingga tidak berani mencabut selang-selang alat-alat penyangga hidup almarhum ! Sungguh terpana kami dibuat oleh keterangan dokter itu. Jadi rupanya ketika kami berkunjung pada hari Ahad dua hari sebelum kerabat kami itu dinyakatan sudah meninggal, sebenarnya dia SUDAH meninggal….
Juga ada suatu kejadian yang menimpa seorang adik teman anak saya baru-baru ini. Saya lupa persis apa penyakit yang diidapnya. Yang jelas pada akhirnya penyakitnya itu membawa dia ke ruang ICU suatu rumah sakit terkenal di Jakarta. Berbulan dia terbaring disitu dalam keadaan coma. Tak ada lagi komunikasi dengan keluarganya.
Berbagai upaya dilakukan para dokter untuk menyangga hidupnya yang bergantung pada obat-obatan dan alat-alat penyangga canggih yang dibalik tampilannya yang futuristik ternyata sungguh tidak berdaya menahan datangya sakratul maut. Sehingga pada akhirnya itulah juga yang berbicara : Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun.
Tapi sebelum ajal datang menjemputnya, entah berapa ratus juta rupiah (konon lebih dari 1 M) telah dirogoh dari kantong almarhum – dan tentunya juga dari kantong para kerabat – untuk membeli obat-obatan dan peralatan tertentu yang kebetulan tidak tersedia di rumah sakit ybs. Konon ada satu macam obat yang satu kapsul saja berharga sekitar empat juta rupiah. Bukan jumlah yang sedikit memang.
Tapi sebelum ajal datang menjemputnya, entah berapa ratus juta rupiah (konon lebih dari 1 M) telah dirogoh dari kantong almarhum – dan tentunya juga dari kantong para kerabat – untuk membeli obat-obatan dan peralatan tertentu yang kebetulan tidak tersedia di rumah sakit ybs. Konon ada satu macam obat yang satu kapsul saja berharga sekitar empat juta rupiah. Bukan jumlah yang sedikit memang.
Ada pula suatu peralatan khusus yang perlu dibeli oleh keluarga yang harganya mencapai 800-an juta rupiah. Mengingat reputasi rumah sakit itu yang cukup wah, tentulah obat dan alat yang perlu diadakan itu – dengan dana almarhum dan dana keluarganya – amat sangatlah supercanggih. Tapi lagi-lagi langkah sakratul maut tidak dapat dihambat. Setelah sekian ratus juta rupiah dan konon malah sudah mencapai tataran “M” perjalanan juga berakhir dengan “Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun”.
Yang kita persoalkan disini bukanlah sakratulmaut yang datang dengan sangat perkasa seperti biasanya. Itu adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditampik. Setiap orang akan mengalaminya. Itu pasti. Itu niscaya. Bukan nitu yang kita persoalkan. Tapi yang kita persoalkan adalah justru sistem yang berujung pada pengorbanan harta dan jiwa yang dipaksa harus dilur-ulur.
Yang kita persoalkan disini bukanlah sakratulmaut yang datang dengan sangat perkasa seperti biasanya. Itu adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditampik. Setiap orang akan mengalaminya. Itu pasti. Itu niscaya. Bukan nitu yang kita persoalkan. Tapi yang kita persoalkan adalah justru sistem yang berujung pada pengorbanan harta dan jiwa yang dipaksa harus dilur-ulur.
Sebab dalam kasus terakhir yang saya tampilkan diatas ternyata almarhum juga sudah almarhum jauh sebelum pada akhirnya dinyatakan resmi almarhum. Mengapa pasien harus dipaksa melalui proses yang begitu menyakitkan dan melelahkan sebelum dinyatakan sudah wafat secara resmi ?
Perlukah keberpura-puraan itu dilakukan hanya karena sumpah dokter ? Berapa banyak sesungguhnya dana yang dapat dihemat hanya dengan mengubah sikap menjadi realistis dan menyatakan bahwa pasien sudah tidak dapat tertolong lagi, dan karenanya diserahkan kepada keluarga untuk mengikhlaskan ybs ? Berapa banyak waktu, tenaga dan dana yang bisa dihemat dan dimanfaatkan untuk hal-hal yang jauh lebih bermanfaat ? Begitukah budaya yang membina perilaku kita supaya kelihatan benar-benar kita itu sayang pada keluarga kita yang kebetulan menjadi pasien yang secara medis tidak punya harapan hidup lagi ? Diulur-ulur begitu ?
Saya yakin kita tidak sedang membincangkan aspek euthanasia. Jauh dari itu. Yang kita pertanyakan adalah etika kedokteran yang sengaja menyembunyikan fakta kematian seseorang hanya karena tidak berani melepas alat-alat penyangga hidup pasien padahal pasien sebenarnya sudah dalam keadaan mati. Yang menjadi alasan adalah “sumpah dokter” yang samasekali tidak boleh dilanggar.
Saya yakin kita tidak sedang membincangkan aspek euthanasia. Jauh dari itu. Yang kita pertanyakan adalah etika kedokteran yang sengaja menyembunyikan fakta kematian seseorang hanya karena tidak berani melepas alat-alat penyangga hidup pasien padahal pasien sebenarnya sudah dalam keadaan mati. Yang menjadi alasan adalah “sumpah dokter” yang samasekali tidak boleh dilanggar.
Mungkin perlu definisi kapan manusia itu danggap sudah mati ? Apa saja kriteria yang harus terpenuhi sebelum seseorang dinyatakan mati ? Apakah kelangsungan hidup yang semata-mata disangga oleh alat-alat medis tertentu masih boleh dianggap hidup by definition ? Apa definisi medis tentang “hidup” dan “mati”. Dan karena hal ini menyangkut etika, mungkin para pemuka agama pun perlu diminta fatwanya masing-masing tentang hal yang sama : kapankah hidup boleh dianggap telah berakhir dan seseorang sudah dapat dinyatakan telah meninggal dunia ?
Perlukah para dokter meneruskan bersikap begini ?
Perlukah para dokter meneruskan bersikap begini ?
catatan arifin abubakar the indonesian freedom writers