Siang tadi saat jam istirahat
kantor saya keluar sebentar. Begitu menyeberangi pelataran kantor,
sebuah angkot warna merah melaju perlahan dan langsung berhenti tepat
di depan saya. Saya pun langsung naik dan meletakkan pantat di bangku
sebelah kiri dekat pintu masuk. Hanya ada seorang penumpang – remaja
yang pulang sekolah – duduk di depan saya. Sementara di jok depan
samping sopir ada seorang penumpang pria sedang mengajak bicara
sopirnya.
Saat sudah duduk manis, mata
saya baru menangkap jelas sosok sopir yang mengemudikan angkot ini.
Ternyata dia seorang perempuan! Rambutnya yang melewati bahu diikat ke
belakang dengan seutas kain warna hijau muda. Sementara anak-anak
rambutnya yang belum cukup panjang untuk diikat, disatukannya dengan
sebuah bando plastik kecil warna hitam. Sepotong kaos motif garis
berlengan pendek dan celana dari bahan kaos, melengkapi penampilannya.
Sesaat saya cermati raut wajahnya dari samping. Sama sekali tak nampak
kesan tomboy atau kelelakian. Ah, mungkin ia sedang menggantikan bapak atau suaminya yang sedang berhalangan menyopir, pikir saya.
Saya perhatikan caranya
mengemudi, sangat piawai, sama sekali tak tampak canggung dan ragu.
Hanya saja dia memang tak ngebut seperi umumnya sopir angkot laki-laki.
Sesekali tangannya melambai sambil telunjuknya memberi isyarat jurusan
yang dituju, menawarkan pada orang-orang di tepi jalan untuk ikut
angkotnya. Body languange-nya tampak sudah terbiasa melakukan
gerakan khas sopir angkot. Siang itu mentari terik sekali dan sepi
penumpang. Hampir semua yang ditawarinya menggelengkan kepala.
Tiba di depan sebuah SMP, angkot
melambat dan berhenti sebentar, menawari sekelompok ABG cowok untuk
naik. Mereka tersenyum sembari menggeleng. Angkot kembali berjalan. Di
depan sebuah SD, angkot berhenti, mengajak anak-anak SD yang sedang
jajan es, untuk naik ke angkotnya. Anak-anak itu berteriak akan ikut
tapi masih sibuk antri es. Si sopir perempuan ini tersenyum lalu
memajukan angkotnya beberapa meter dan menepi. Dengan sabar ia menunggu
anak-anak itu selesai dilayani Abang penjual es. Saya lihat raut
wajahnya setengah tersenyum di balik sepucuk sapu tangan warna keunguan,
melihat tingkah polah anak-anak SD.
Umumnya sopir angkot enggan
mengangkut penumpang anak SD, sebab bayarnya cuma seribu perak bahkan
tak jarang “gopek” doang. Tapi si “ibu” ini justru dengan sabar menunggu
calon penumpangnya. Begitu pun saat salah satu anak SD itu berteriak
“Kiriii!!”, ia menepikan angkot dan berhenti, tapi anak-anak itu tak
segera turun karena masih sibuk berkutat dengan plastik es-nya.
Si sopir hanya tersenyum, menunggu mereka sampai siap turun, pun bersabar ketika anak-anak itu lama merogoh sakunya mencari sisa uang jajan untuk membayar ongkos angkot.
Si sopir hanya tersenyum, menunggu mereka sampai siap turun, pun bersabar ketika anak-anak itu lama merogoh sakunya mencari sisa uang jajan untuk membayar ongkos angkot.
Saat berhenti agak lama itulah saya sedikit menegakkan punggung dan melirik dashboard
angkotnya. Di kaca depan persis di depan posisinya menyetir, ada 2 buah
spion bekas motor tahun ’70-an (bentuknya bulat dan kecil) yang
ditempelkan menggunakan karet penempel hiasan kaca mobil. Kedua spion
itu ditempel sejajar berjarak 40an cm kira-kira, persis mengapit
posisinya menyetir.
Di gagang kedua spion itu ada gantungan hiasan kayu yang umumnya digantung di depan pintu rumah atau kamar anak gadis. Keduanya sama bentuk dan tulisannya : “Home Sweet Home” di bagian atas dan “Rumahku Surgaku” di bagian bawah.
Di gagang kedua spion itu ada gantungan hiasan kayu yang umumnya digantung di depan pintu rumah atau kamar anak gadis. Keduanya sama bentuk dan tulisannya : “Home Sweet Home” di bagian atas dan “Rumahku Surgaku” di bagian bawah.
Persis di tengah dashboard ada
sebuah jam meja berbentuk layaknya bagian depan sebuah rumah dengan
kedua pilar di sisinya. Jam meja yang umum di jual di kaki lima. Bentuk
dan warnanya girly banget. Di bagian atas kepalanya, tergantung sekotak tissue. Melihat semua assesories dashboard
angkotnya, saya menarik kembali pikiran bahwa perempuan ini sedang
menggantikan ayah atau suaminya. Mungkin dia memang asli pengemudi
angkot ini sehari-harinya. Umumnya angkot yang saya naiki penuh dengan sticker
bertulisan lucu, konyol bahkan jorok.
Tapi ini assesoriesnya “lembut” dan kewanitaan. Apalagi melihat caranya mengemudi dan gayanya menawarkan pada penumpang, membuat saya yakin perempuan ini sudah sangat terbiasa menjalankan angkot.
Tapi ini assesoriesnya “lembut” dan kewanitaan. Apalagi melihat caranya mengemudi dan gayanya menawarkan pada penumpang, membuat saya yakin perempuan ini sudah sangat terbiasa menjalankan angkot.
Ah, baru kali ini saya melihat
sopir angkot perempuan, di Cilegon, sebuah kota yang relatif kecil.
Kalau itu terjadi di Jakarta atau Surabaya – meski selama 22 tahun
tinggal di Surabaya pun saya hampir tak pernah menemui sopir angkot
perempuan – yang penuh dengan kaum urban yang kepepet urusan ekonomi,
mungkin saya tak terlalu heran. Di kota ini, khususnya angkot warna
merah jurusan Merak – Cilegon, jumlah armadanya sangat banyak. Tiap
menit bisa 3-4 angkot lewat dengan penumpang rata-rata cuma 2-3 orang
saja. Mungkin ramai hanya saat jam berangkat dan pulang sekolah.
Karena melamunkan sopir angkot
itu, nyaris terlewat tujuan saya. Begitu turun, saya ulurkan pembayar
ongkos angkot dan bergegas pergi. Mungkin si Mbak bingung karena dia
masih mencari kembalian. Sampai di tujuan, saya masih tercenung
mengingat perempuan itu. Usianya sekitar akhir 20-an atau awal 30-an
tahun. Dia tampak menikmati pekerjaannya tanpa mengeluh meski penumpang
sepi dan sempat direpotkan anak-anak SD.
Yang sering saya tahu, sopir angkot biasanya ngedumel saat penumpang sepi, sewot saat orang yang berdiri di pinggir jalan cuek ditawari naik angkotnya dan marah saat anak sekolah banyak tingkah. Tapi si Mbak, dengan sifat kewanitaannya, sama sekali tak menampakkan kegalauan seperti itu. Sifat-sifat keperempuanannya masih tampak meski profesi yang digelutinya adalah profesi kaum pria.
Yang sering saya tahu, sopir angkot biasanya ngedumel saat penumpang sepi, sewot saat orang yang berdiri di pinggir jalan cuek ditawari naik angkotnya dan marah saat anak sekolah banyak tingkah. Tapi si Mbak, dengan sifat kewanitaannya, sama sekali tak menampakkan kegalauan seperti itu. Sifat-sifat keperempuanannya masih tampak meski profesi yang digelutinya adalah profesi kaum pria.
“Rumahku Surgaku”, slogan yang
ditempelkannya di kedua sisi kaca depan mobil. Sayangnya, ia harus tak
berada di “surga”nya saat mentari terik menyengat. Ia harus rela
terpapar debu jalanan kota industri ini dan tak mengenyam “manis”nya
rumah seperti makna “home sweet home” yang digantungnya. Kalau
saja boleh memilih, tentu ia lebih senang tinggal di rumah bersama
anak-anaknya, menunggu mereka pulang sekolah.
Atau kalaupun harus mencari uang, mungkin ia lebih suka menjalankan bisnis dari rumahnya. Tapi kalau saat ini faktanya ia masih saja mengemudi angkot, tentu karena belum ada pilihan lain yang lebih baik yang mendekatkannya pada “surga”nya.
Atau kalaupun harus mencari uang, mungkin ia lebih suka menjalankan bisnis dari rumahnya. Tapi kalau saat ini faktanya ia masih saja mengemudi angkot, tentu karena belum ada pilihan lain yang lebih baik yang mendekatkannya pada “surga”nya.
Saya teringat betapa seringnya
saya mendengar atau membaca pro-kontra boleh tidaknya perempuan bekerja.
Mereka yang tak setuju perempuan bekerja, umumnya selalu punya konotasi
negatif tentang perempuan bekerja. Banyak dari mereka yang berargumen
seharusnya perempuan memilih bekerja dari rumahnya. Lengkap dengan aneka
contoh pekerjaan yang semuanya bisa dimanage dan diatur dari rumah, ibarat memencet tombol remote control
saja.
Sayangnya, mereka sering melupakan faktor-faktor yang tak mereka ketahui. Betapa banyaknya perempuan yang tak punya cukup alasan untuk memilih pekerjaan yang diinginkannya. Entah karena desakan ekonomi, sempitnya peluang, ketatnya persaingan atau keterbatasan kemampuan dan kompetensi diri.
Sayangnya, mereka sering melupakan faktor-faktor yang tak mereka ketahui. Betapa banyaknya perempuan yang tak punya cukup alasan untuk memilih pekerjaan yang diinginkannya. Entah karena desakan ekonomi, sempitnya peluang, ketatnya persaingan atau keterbatasan kemampuan dan kompetensi diri.
Perempuan itu menjalani profesi
sopir angkot, apapun motivasi yang melatarbelakanginya. Ia tak memilih
pergi ke manca negara untuk mengadu nasib, bisa jadi karena ia ingin tak
jauh-jauh meninggalkan “surga”nya. Ia memilih pekerjaan yang berat,
berpanas-panas dengan penghasilan tak menentu, ketimbang jalan pintas
menjual kehormatannya.
Semoga si Mbak terus diberi kesehatan, kekuatan dan kesabaran menjalani profesinya, kalau ia tetap harus menjalaninya. Semoga saja rizkinya membawa barokah bagi keluarganya. Keringat yang berleleran di lehernya karena panasnya udara siang kota Cilegon, lebih mulia ketimbang sejuknya AC ruang rapat mewah yang dinikmati mereka yang tertawa-tawa di gedung wakil rakyat karena “proyek” yang mereka “atur” bersama bisa goal.
Setidaknya, lembaran uang ribuan lusuh dan recehan gopek yang dibayarkan anak-anak sekolah itu lebih bisa dipertanggung-jawabkan di akhirat kelak, jika ia ditanya dari mana uang yang di dapatnya. Selamat bekerja Mbak, semoga penumpangnya banyak, amiin.
Semoga si Mbak terus diberi kesehatan, kekuatan dan kesabaran menjalani profesinya, kalau ia tetap harus menjalaninya. Semoga saja rizkinya membawa barokah bagi keluarganya. Keringat yang berleleran di lehernya karena panasnya udara siang kota Cilegon, lebih mulia ketimbang sejuknya AC ruang rapat mewah yang dinikmati mereka yang tertawa-tawa di gedung wakil rakyat karena “proyek” yang mereka “atur” bersama bisa goal.
Setidaknya, lembaran uang ribuan lusuh dan recehan gopek yang dibayarkan anak-anak sekolah itu lebih bisa dipertanggung-jawabkan di akhirat kelak, jika ia ditanya dari mana uang yang di dapatnya. Selamat bekerja Mbak, semoga penumpangnya banyak, amiin.
(foto-foto diambil dengan menggunakan kamera BB)
catatan ira oemar freedom writers kompasianer