Jumat
(1/6) lalu, kita serentak memperingati kelahiran Pancasila. Kelahiran
yang sebenarnya masih dipersoalkan oleh sebagian kalangan. Politikus PAN
yang kini anggota senator (DPD) dari DKI Jakarta, AM Fatwa misalnya,
dengan tegas menolak 1 Juni sebagai kelahiran Pancasila. Menurutnya, 1
Juni hanya memperingati pidato Soekarno, sementara Pancasila sudah
menjadi perbincangan sebelumnya. Artinya, Pancasila sudah lahir jauh
sebelum Soekarno menyampaikan pidato.
Selain kelahirannya, Pancasila sendiri
sebagai dasar negara masih sering digugat, meskipun tidak secara
eksplisit. Sejumlah kalangan yang menghendaki berdirinya khilafah
(Negara Islam), jelas merupakan penolakan terhadap Pancasila. Begitu
pun partai-partai yang menghendaki Indonesia berdasarkan syariat
Islam—meskipun bukan dalam bentuk khilafah—diakui atau tidak, juga bisa
dikatakan bentuk lain dari penolakan Pancasila.
Penolakan terhadap Pancasila juga
tercermin dari banyaknya pengabaian atau bahkan pengharaman terhadap
pluralisme, yakni paham yang meyakini keberagaman sebagai realitas
objektif yang tak bisa dihindarkan. Menyebut Pancasila sebagai dasar
negara seraya menistakan orang-orang yang berbeda paham dengan kita
sama artinya dengan mencampakkan Pancasila.
Uniknya, Pancasila justru
diimplementasikan di Amerika. Dari segi keragaman, kondisi negara yang
popular disebut Paman Sam ini memang mirip dengan Indonesia, yakni
termasuk paling pluralistik di dunia, penduduknya berasal dari
berbagai suku bangsa, juga beragam agama. Toleransi beragama di
Amerika dijunjung tinggi karena kebebasan beragama merupakan
bagian terpenting dari implementasi hak-hak asasi manusia (HAM).
Inilah saya kira yang menjadi dasar
utama kenapa para Presiden AS seperti Bill Clinton, George Bush, dan
Barack Obama secara rutin menggelar ”buka bersama” saat Ramadhan tiba.
Selain sebagai bentuk penghormatan, juga sebagai simbol bahwa
negara adidaya itu ”bersahabat” dengan agama apa pun, termasuk dengan
Islam yang disinyalir oleh Samuel Huntington sebagai musuh Barat.
Pada saat berkunjung ke Indonesia
beberapa waktu lalu, Presiden Barack Obama juga memuji-muji Pancasila
sebagai temuan yang luar biasa, sebagai pedoman hidup bernegara
yang mengagumkan. Kekaguman Obama itu antara lain dikemukakan
karena dalam Pancasila ada semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Pada saat Obama mendukung upaya
aktivis Muslim Amerika untuk mendirikan masjid dan Islamic Center di
lokasi bekas reruntuhan gedung World Trade Center (WTC), New York, pada
dasarnya Obama tengah menjalankan Pancasila dalam versi Amerika.
Karena seperti Pancasila, konstitusi negara yang dipimpinnya juga
menjamin kebebasan beragama. Dan, pendirian tempat ibadah merupakan
bentuk ekspresi keberagamaan yang harus dihormati.
Meskipun banyak yang mengecam Obama
karena dukungannya itu, ia tetap bergeming. Ia memang sadar betul
dengan suasana batin warga AS, terutama New York, yang masih
terkenang dengan kegetiran tragedi 9/11. Tapi suasana batin tak boleh
menjadi hambatan bagi kebebasan beragama. Akal sehat tak boleh
dikalahkan oleh sekadar rasa empati dan fanatisme. Oleh karena itu
pula, Wali Kota New York, Michael Bloomberg juga ikut mendukung sikap
Obama.
Tapi, lain di Amerika, lain pula di
Indonesia. Di negerinya sendiri, Pancasila banyak diabaikan. Dalam
soal pendirian tempat ibadah, di negara kita masih menjadi persoalan
yang cukup pelik. Di wilayah-wilayah mayoritas muslim, pendirian
gereja menjadi persoalan. Begitupun di wilayah-wilayah yang mayoritas
Kristen, pendirian masjid tidak mudah dilakukan.
oleh jeffrie geovanie