Di dalam Munas-nya medio Juni 2010 ini Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berinisiatif ingin memulihkan hak politik, pilih TNI, prajurit. Entah apa logika dasarnya, partai yang berusaha membangun citra baru sebagai partai tengah ini, telah menyulut pemikiran “blunder”, bak balita main api, tak paham lagi akan membakar rumah sendiri. Setelah urusan Dana Aspirasi digiring Golkar, ini fakta kedua bahwa partai terindikasi tajam menabalkan diri memundurkan mutu logika sekaligus mutu peradaban. Hari ini saya pun menegur Jenderal!
SEMBARI menunggu pertandingan bola dunia antara Spanyol lawan Honduras, Senin, 21 Juni 2010, semalam, telepon genggam saya bergetar. Seorang Jenderal aktif di Cilangkap, Jakarta Timur, menelepon. Siangnya ia saya SMS soal ide PKS yang memberikan hak pilih kepada TNI. Di benak saya, langkah ini bisa menjadi angin segar bagi prajurit TNI, dalam berdemokrasi, lalu berhak memilih.
Sebaliknya saya juga merasa amat sangat cemas. Bukankah sejarah telah membuktikan, bahwa blunder kasus Partai Komunis Indonesia (PKI), di dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, bentuk dan fakta nyata kelakuan melibat-libatkan tentara ke kancah politik sipil, kekuasaan.
Hingga perjalanan setelah reformasi ini, tidak pulih pun hak memilih prajurit TNI, fakta yang ada di lapangan, terjadi gesekan. Misalnya di urusan penanganan teroris, antara TNI dan Polri. Lantas jika TNI dipulihkan hak memilihnya, otomatis Polri juga sama. Bukankah dualisme itu menjadi kian melembaga?
Saya menunggu komentar sang Jenderal.
Tentu komentar pribadinya.
Di luar dugaan saya, ia dengan tegas menyambut kecemasan saya.
Ia menyampaikan jumlah suara TNI itu sekitar 500 ribuan saja. Jika target PKS adalah penambahan suara signifikan, jelas bukan alasan, wong cuma 500 ribu? Dan atau anggaplah ada 1 juta prajurit, tetap saja angka itu tidak signifikan bagi penambahan suara partai!
Jika targetnya kuasa atau power yang dimiliki TNI, yang akan memperkuat partai, inilah logika blunder itu. Sang Jenderal di seberang telepon kepada saya dengan tegas mengatakan, etika profesi TNI itu jelas di dalam Saptamarga-nya. Ia prajurit pembela, mempertahankan negara.
Jika saja saya dapat melihat wajah sang jenderal, saya pastikan dia sedang geleng-geleng kepala akan ide PKS itu. Baginya selain absurd dikaji dari sudut manapun, premis utamanya: tak ada manfaat dari segala lini.
Justeru, katanya, negara akan berada dalam bahaya. Untuk sebuah logika waras mendatangkan bahaya, mengapa pula ide memulihkan hak pilih prajurit TNI itu diusung oleh mereka yang mengaku sangat terdidik di dalam partai?
Ketika saya menulis kolom opini ini saya mencoba menghubungi salah satu pengurus PKS di tingkat Cabang. Ia tak mau memberikan komentar. Ia hanya mengatakan segala sesuatu yang sudah menjadi keputusan tertinggi, melalui Munas, sudah menjadi keputusan partai.
Saya menjadi teringat kepada kalimat segala sesuatu yang jelek, bahkan sesuatu yang keliru pun, jika diakui secara bersama dan di-endorse aklamasi oleh sekelompok orang, dan digelindingkan lalu mendapatkan sambutan, maka sesuatu itu, juga bisa menjadi pembenaran kebenaran.
Apakah kita sebagai rakyat saat ini digiring ke dalam logika pikir macam itu?
Masih untung saat ini ada media alternatif, media sosial di mana kita dapat menyuarakan pandangan. Walaupun hanya sebatas untuk dunia online.
”Ups jangan salah, saat ini sudah lebih tiga puluh juta orang Indonesia online, katakan satu persen saja membaca, itu sudah sama dengan oplah harian terbesar,” ujar Saum Laki, sebut saja nama sang jenderal itu demikian.
Saum Laki juga mengingatkan kalau bicara hak pilih, harusnya juga bertemali ke hal yang tak bisa dipisahkan dengan hak dipilih. Yakni keterwakilan prajurit TNI di DPR juga mesti ada. Sementara saat ini hal itu sudah diakomodir dalam sebuah fraksi. ”Dan jika pun hak dipilih dan memilih itu pulih, tetap saja tidak memberikan manfaat baik bagi kehidupan berbangsa?” ujarnya.
”Lebih banyak mudarat daripada manfaatnya!”
Nah persoalan, mengapa ada pula Jenderal yang mendukung usulan PKS itu?
“Maka kamu tegur itu Jenderal!”
“Apa hak saya menegur Jenderal, ambo cuma rakyat?”
“Kamu blogger, orang media, pers, kamu punya hak menegur Jenderal.”
Wah-wah menegur Jenderal?
Untunglah pagi ini saya membalik-balik sertifikat yang saya miliki. Pada 1984, saya menjadi peserta termuda pelatihan penatar P4 (Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila) yang diadakan oleh BP7. Sertifikat diserahkan dan pin disematkan oleh Alm. Sarwo Eddhie Wibowo, mertua SBY, kepada saya kala itu.
Kendati sertifikat dan pin itu tak pernah saya pakai mencari uang dengan menjadi penatar P4, apalagi kini sejak reformasi perihal itu dianggap seakan tak laku lagi, pagi ini kompetensi lulus sebagai penatar P4 itu, ingin saya pakai menegur Jenderal yang mendukung ide PKS ini.
Halo Jenderal!
Kembalilah menjadi prajurit profesional. Demokrasi kita bukan demokrasi liberal. Berilah arah kepada anak bangsa, yang terkadang mereka lupa ajaran Jenderal Besar Soedirman, ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita prajurit (baca: pemimpin) yang menderita.”
Toh dengan mendukung ide PKS itu, bukan saja rakyat yang akan menderita tetapi bangsa akan masuk perangkap kehancuran bak di ranah Balkan.
Wah, seakan sakti kali saya, menegur Jenderal.
Kadang dunia online ini memang bikin orang narsis, saya khususnya!
Lantas bagaimana menegur PKS, karena saya tak punya sertifikat pakar politik, apalagi pakar partai politik? Yang bisa saya katakan hanyalah: rakyat sekalian alam Indonesia ini, akan menegur kalian dalam memilih di Pemilu berikutnya.
Toh di Sketsa yang pernah saya tulis di blog-pressstalk.com, anggaran pupuk dan bibit pada 2008 di Depertemen Pertanian, terindikasi bermasalah, contohnya, dan Departemen dipimpin Menteri asal PKS? Mengapa PKS tak mengurus penyelesaian hal pokok di tingkat petani, rakyat, ini misalnya?
Jadi PKS dan juga para partai lainnya, perhatikanlah rakyat, dengarlah suara rakyat, rakyat itu cerdas, sungguh, sangat cerdas! []
catatan Iwan Piliang,