Saya bukanlah penyuka apalagi pengagum Otto
Cornelis Kaligis – pengacara senior yang selalu jadi musuh KPK. Tapi ada
satu hal yang secara obyektif tetap harus saya akui, OC Kaligis mampu
bersikap prefesional dan tidak terjebak pada saling serang dan
menjatuhkan antar pengacara, meski ia telah secara menyakitkan digeser
oleh kubu Elza Syarief dan Hotman Paris dalam kedudukannya sebagai
pengacara Muhammad Nazaruddin. Jika dirunut secara kronologis, OCK lah
yang sejak awal membela Nazaruddin, bahkan sejak dia masih buron di
Singapura, saat tertangkap di Columbia dan ketika sudah dipulangkan ke
Indonesia.
Jika pengacara lain mungkin akan berbalik arah
menyerang mantan kliennya, tidak demikian dengan OCK. Meski dalam
beberapa kesempatan hadir dalam acara ILC yang dihelat TV One, OCK tak
menutupi rasa tak sukanya pada Hotman Paris, tapi tak sekalipun OCK
mengeluarkan pernyataan yang berpotensi merugikan Nazaruddin, mantan
klien yang mendepaknya. Bahkan OCK tetap melakukan pembelaan terhadap
Nazaruddin dengan caranya sendiri, melalui jalur informal.
Semalam, OCK hadir di TV One dengan buku barunya :
“Nazaruddin : Jangan Saya Direkayasa Politik & Aniaya”. Dalam buku
setebal 499 halaman itu, pada halaman 205 terpampang jelas laporan
keuangan DPP Partai Demokrat per bulan Mei 2011, hanya selang beberapa
hari sebelum Nazaruddin dicopot dari jabatan Bendahara Umum.
Disitu tercantum sumbangan bagi PD, termasuk dari kader, diantaranya disebutkan sumbangan dari M. Nazaruddin sebesar Rp. 13,9 milyar, Anas Urbaningrum Rp. 300 juta, Edhie Baskoro Yudhoyono Rp. 2,2 milyar dan Mirwan Amir Rp. 9,2 milyar. Padahal, dalam Undang-Undang Parpol telah diatur sumbangan dari perorangan – meski dia kader partai itu sekalipun – tidak boleh lebih dari Rp 1 milyar.
Disitu tercantum sumbangan bagi PD, termasuk dari kader, diantaranya disebutkan sumbangan dari M. Nazaruddin sebesar Rp. 13,9 milyar, Anas Urbaningrum Rp. 300 juta, Edhie Baskoro Yudhoyono Rp. 2,2 milyar dan Mirwan Amir Rp. 9,2 milyar. Padahal, dalam Undang-Undang Parpol telah diatur sumbangan dari perorangan – meski dia kader partai itu sekalipun – tidak boleh lebih dari Rp 1 milyar.
Bukan hanya jumlahnya yang melebihi ketentuan yang
dibolehkan Undang-Undang, nilai itu juga cukup fantastis. Publikasi atas
laporan keuangan DPP PD itu mungkin bisa jadi langkah awal bagi KPK
untuk menelusuri dari mana saja dana sebesar itu.
Bisa di-cross check dengan laporan kekayaan para anggota DPR itu sebelum menjabat pada tahun 2009, apakah Ibas dan Mirwan Amir melaporkan memiliki harta kekayaan likuid sebesar itu? Apa profesi Ibas dan Mirwan selain sebagai anggota DPR sehingga mampu menyumbang sebesar itu pada partainya? Bukankah sebagai anggota DPR gaji mereka yang “hanya” beberapa puluh juta itu konon katanya sudah dipotong ini itu untuk kepentingan parpol? Lalu dana dari mana lagi mereka mampu menyumbang sampai milyaran rupiah? Tidakkah dalih “memberikan sumbangan pada partai” inilah yang kemudian menjadi sumber maraknya mark up proyek-proyek dan kongkalikong penganggaran di DPR?
Bisa di-cross check dengan laporan kekayaan para anggota DPR itu sebelum menjabat pada tahun 2009, apakah Ibas dan Mirwan Amir melaporkan memiliki harta kekayaan likuid sebesar itu? Apa profesi Ibas dan Mirwan selain sebagai anggota DPR sehingga mampu menyumbang sebesar itu pada partainya? Bukankah sebagai anggota DPR gaji mereka yang “hanya” beberapa puluh juta itu konon katanya sudah dipotong ini itu untuk kepentingan parpol? Lalu dana dari mana lagi mereka mampu menyumbang sampai milyaran rupiah? Tidakkah dalih “memberikan sumbangan pada partai” inilah yang kemudian menjadi sumber maraknya mark up proyek-proyek dan kongkalikong penganggaran di DPR?
Sebelumnya, Daniel Sinambela – seteru Nazaruddin dalam proyek batubara – telah membuka dokumen kontrak kerjasamanya, dimana dia hanya mendapat fee yang prosentasenya jauh lebih kecil ketimbang prosentase keuntungan yang jelas-jelas dalam kontrak itu dinyatakan untuk kas Partai Demokrat.
Apa yang diungkap Daniel Sinambela ini hanyalah satu saja bukti bahwa kader parpol berlomba-lomba mencari proyek, memenangkannya dan mencurangi pembagian keuntungan dengan mitra kerjanya, hanya demi menyediakan dana segar bagi kas parpolnya.
Apa yang diungkap Daniel Sinambela ini hanyalah satu saja bukti bahwa kader parpol berlomba-lomba mencari proyek, memenangkannya dan mencurangi pembagian keuntungan dengan mitra kerjanya, hanya demi menyediakan dana segar bagi kas parpolnya.
Senin lalu, Menteri BUMN Dahlan Iskan, memberikan pernyataan yang membenarkan bahwa 70% BUMN mendapatkan proyek lewat permainan suap, hanya 30% saja yang relatif bersih dari sogok menyogok. Ini adalah hasil survey internal Kementrian BUMN dan BUMN yang bergerak di bidang konstruksi paling rawan jadi pelaku praktik suap.
Kenapa? Sebab umumnya BUMN Konstruksi kalah bersaing dengan perusahaan
konstruksi swasta, jika bersaing secara profesional. Itu sebabnya
sogokan jadi jurus ampuh.
Pernyataan Dahlan Iskan ini terkesan “sangat kebetulan” disampaikan saat sedang hangat-hangatnya pembicaraan mengenai mega proyek Hambalang, yang “kebetulan” pula dimenangkan oleh Adhi Karya dan Wijaya Karya (Wika) yang keduanya adalah BUMN Konstruksi. Kita tentu belum lupa pernyataan Nazaruddin beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa Anas lah yang mengatur agar nantinya pemenang tender proyek Hambalang adalah Adhi Karya.
Dan entah “kebetulan” pula, jika kemudian Adhi Karya menyerahkan pembangunan proyek Sport Centre Hambalang itu kepada 17 sub kontraktor – dimana sebagiannya bahkan hanya berstatus CV – dan diantara 17 sub kontraktor itu ada PT. Dutasari Citralaras. Perusahaan milik Mahfud Suroso – kerabat dekat Anas Urbaningrum yang sekaligus menempatkan Athiyah Laila, istri Anas, sebagai Komisaris – ini mendapat konsesi subkontrak senilai Rp. 300 milyar!
Dan entah “kebetulan” pula, jika kemudian Adhi Karya menyerahkan pembangunan proyek Sport Centre Hambalang itu kepada 17 sub kontraktor – dimana sebagiannya bahkan hanya berstatus CV – dan diantara 17 sub kontraktor itu ada PT. Dutasari Citralaras. Perusahaan milik Mahfud Suroso – kerabat dekat Anas Urbaningrum yang sekaligus menempatkan Athiyah Laila, istri Anas, sebagai Komisaris – ini mendapat konsesi subkontrak senilai Rp. 300 milyar!
Memang secara umum demikianlah alur dan modus
kongkalikong proyek konstruksi yang dimenangkan BUMN. Mereka menyogok
untuk memenangkan tender, tapi pelaksanaannya dibagi-bagi kepada
perusahaan-perusahaan sub kontraktor milik pejabat atau anak dan kerabat
pejabat. Setidaknya, dalam kasus proyek Sport Centre Hambalang, sudah
terbukti satu hal : pemenangnya Adhi Karya, di-sub-kan salah satunya
kepada PT. Dutasari Citralaras. Mungkin ucapan Nazar bahwa Anas turut
mengatur agar Adhi Karya jadi pemenang tender proyek ini, tak sepenuhnya
salah.
Jika sebagian lain lagi ucapan Nazaruddin bisa
dipercaya, dia dulu pernah berujar bahwa Adhi Karya memberikan suap
sebesar Rp 100 milyar. Kemarin, Ketua PPATK Muhammad Yusuf menyatakan
bahwa instansi yang dipimpinnya kini telah mempunyai informasi cukup
baik tentang adanya 10 perusahaan dan 10 nama/individu yang transaksinya
mencurigakan terkait dengan proyek Hambalang. Sejumlah transaksi mencurigakan itu kini sedang dicermati lebih dalam, termasuk di dalamnya transaksi senilai Rp. 100 milyar! Nah, lho! Tampaknya semua “kebetulan” ini makin jelas terangkai dan menemukan benang merahnya.
Jika sebelumnya alam telah mengekpresikan
kemuakannya dengan ulah busuk penguasa yang berkelindan dengan pengusaha
memainkan proyek-proyek besar yang dibiayai dengan uang rakyat, dan
alam memuntahkan kemarahannya itu dengan ambruknya 2 bangunan dari
proyek Hambalang, hingga berbuntut dihentikannya sementara pembangunan
mega proyek ini, kini fakta-fakta rasional mulai bermunculan. OC Kaligis
mempublikasikan sumbangan dalam jumlah fantastis dari kader-kader
Partai Demokrat.
Dahlan Iskan menyampaikan hasil survey internal Kementrian yang dipimpinnya dan menyatakan siap untuk memerangi praktik korupsi di BUMN, termasuk BUMN konstruksi yang disinyalir paling rawan praktik suap. Muhammad Yusuf mensinyalir adanya transaksi mencurigakan senilai Rp. 100 milyar terkait proyek Hambalang, meski Ketua PPATK itu belum mau menyebutkan nama politisi yang diduga menerima aliran dana haram.
Dahlan Iskan menyampaikan hasil survey internal Kementrian yang dipimpinnya dan menyatakan siap untuk memerangi praktik korupsi di BUMN, termasuk BUMN konstruksi yang disinyalir paling rawan praktik suap. Muhammad Yusuf mensinyalir adanya transaksi mencurigakan senilai Rp. 100 milyar terkait proyek Hambalang, meski Ketua PPATK itu belum mau menyebutkan nama politisi yang diduga menerima aliran dana haram.
Senin kemarin, ada kejadian sedikit janggal di DPR.
Menpora Andi Mallarangeng yang tengah melakukan Rapat Dengar Pendapat
(RDP) dengan Komsisi X DPR, salah satu diantara materi yang diangkat
adalah kasus Hambalang, kemudian undur diri karena dipanggil Presiden.
Lalu dengan mudahnya, Ketua Komisi X yang “kebetulan” dari Fraksi
Demokrat, mengijinkan Andi pergi dan memutuskan RDP dihentikan dan baru
dilanjutkan hari Kamis, bukan diskors dan dilanjutkan kembali pada sore
harinya.
Ini seolah memberikan kesempatan bagi Andi untuk
menyiapkan alibi bagi pertanyaan-pertanyaan anggota DPR yang dinilai
bisa menyudutkan posisi Andi Mallarangeng dan anggota Komisi X lainnya
asal Partai Demokrat. Jangan lupa, saat proyek ini digagas, Anas
Urbaningrum masih duduk di Komisi X, lalu ada Gede Pasek Suardika, ada
Angelina Sondakh sebagai koordinator anggaran Komsisi X dan Pak Mahyudin
sebagai Ketua Komisi X. Semuanya dari Fraksi Demokrat, merekalah yang
banyak tahu seluk beluk pembahasan proyek Hambalang, sementara anggota
Komisi X lainnya merasa tak tahu menahu. Kenapa bisa begitu?
Jadi, para penyidik KPK masih tunggu apa lagi
sehingga sulit sekali mengumpulkan sekedar 2 alat bukti untuk menjerat
pimpinan partai berkuasa? Kenapa tak dimulai dari Adhi Karya? Bukankah
Pak Dahlan sudah membuka pintu lebar-lebar? Gandeng saja PPATK,
setidaknya integritas Muhammad Yusuf masih layak dipercaya. Dan apa yang
ada di buku OC Kaligis pun bisa jadi langkah awal untuk bergerak. Semua
ini seolah jadi pintu gerbang yang siap dibuka lebar untuk mengantar
KPK membuka semua bangkai busuk di proyek Hambalang yang coba ditutupi
rapat-rapat, bahkan kini saling lempar batu sembunyi tangan antara
Komisi X DPR, Banggar DPR dan Kementrian Keuangan.
Semoga tak perlu menunggu sampai 2015 untuk membuka pintu gerbang Hambalang yang makin lama belangnya makin terang benderang.
Semoga tak perlu menunggu sampai 2015 untuk membuka pintu gerbang Hambalang yang makin lama belangnya makin terang benderang.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer