Belum sepenuhnya usai hiruk pikuk pemberitaan
terkait jatuhnya pesawat Sukhoi Super Jet-100 di lereng Gunung Salak,
kini publik sudah disuguhi polemik soal konser Lady Gaga. Saya yang
miskin info tentang sosok dan kiprah artis internasional, semula tak
mengenal siapa Lady Gaga. Bayangan yang ada di benak saya tentang
seorang “Lady” adalah sosok aristokrat yang anggun, berparas
cantik yang terpancar dari paduan guratan raut wajah yang bagus dari
“sono”nya (bukan direkayasa teknologi kosmetologi), serta perilakudan
tutur katanya teratur. Kurang lebih seperti sosok Lady Diana atau Grace
Kelly, misalnya.
Setelah membaca tulisan Kompasianer Mustafa Kamal berjudul Lady Gaga(H) dan Lady Gaga(L),
saya jadi punya gambaran lebih jelas tentang sosok sang Lady. Apalagi
pemberitaan audio visual di media TV ikut memperkaya wawasan saya soal
aksi panggung Lady Gaga dan ekspresi para fans-nya di berbagai negara.
Ternyata sang Lady memang benar-benar jadi idola dan tentu saja
menginspirasi para fans-nya dalam berpenampilan. Bahkan di salah satu
tulisan di Kompasiana, saya baca sampai ada seorang gadis remaja yang
memutilasi kucingnya hanya karena ingin meniru idolanya yang tampil
dengan berlumuran darah, kendati darah di panggung itu darah buatan.
Semakin banyak saya dengar info atau baca berita
tentang Lady Gaga, makin saya temui fakta bahwa gadis muda yang satu ini
memang kontroversial di mana-mana. Kemarin, saya coba googling
untuk mencari berita tentang reaksi negara lain menyikapi konser Lady
Gaga di negaranya. Entah itu sikap resmi suatu negara atau sekedar sikap
sebagian kalangan atau tokoh masyarakat di negara itu. Ternyata,
kontroversi sang Lady bukan hanya terjadi di Indonesia. Berikut beberapa
negara yang pernah, sedang dan akan memprotes konser Lady Gaga .
1. KOREA SELATAN
Korea Selatan adalah negara Kristen paling kuat kedua di Asia setelah Filipina. April
lalu, seminggu sebelum konsernya, 300 orang jemaat Kristen negara itu
berkumpul di gereja Ibu Kota Seoul dan menggelar misa khusus supaya
penyanyi wanita itu batal konser. Jemaat Kristen Korea Selatan
menganggap Lady Gaga pemuja dan penyebar ajaran setan. Kelompok
Kristen ini menuding Lady Gaga sebagai ikon pornografi dan
mempromosikan gaya hidup homoseksual. “Beberapa orang melihat itu
sebagai budaya yang berbeda, tapi tetap saja merosotkan nilai agama,”
kata pendeta Yoon Jung-Hoon (dikutip dari Tempo.co). Mereka
memaksa pembatalan konser Lady Gaga, meski akhirnya Lady Gaga tetap
boleh konser dengan aturan : hanya boleh ditonton remaja berusia di atas
18 tahun.
2. FILIPINA
Kelompok agama di Filipina, Biblemode Youth,
punya cara unik untuk mengungkapkan penolakan terhadap konser Lady
Gaga, yaitu memprotes dengan cara berdoa. Kelompok ini memimpin kampanye
untuk melarang Gaga tampil di Mall of Asia Arena, Manila. Biblemode
Youth berencana memulai doa sejak Sabtu besok, 19 Mei 2012 untuk
menghentikan konser Lady Gaga selama dua malam, yaitu tanggal 21 Mei dan
22 Mei 2012. Kelompok ini menyebut Gaga sebagai anti-Kristus. Lagu “Judas” yang
dinyanyikannya dianggap penghinaan langsung (hujat) kepada Kristus
sekaligus provokatif. Ditambah lagi ia juga selalu mengenakan kostum
minim di setiap pertunjukannya. “Lirik lagunya menghina (menghujat)
Tuhan,” kata pendeta Reyzel Cayanan dari Biblemode Youth. Semua dosa
bisa diampuni. Tetapi ada 1 dosa yang tidak bisa diampuni : menghujat
Allah. Menghujat tidak hanya berarti menghina Allah, tetapi juga
mengaku-ngaku bertindak atas nama Allah padahal cara dan tindakannya
tidak mencerminkan tabiat Allah. (dikutip dari situs www.memobee.com).
3. BULGARIA
Suara protes anti-Lady Gaga juga menggema di
Bulgaria, sebab Gereja Ortodoks Bulgaria merasa lirik lagu dan
penampilan penyanyi itu mempromosikan perbuatan dosa. Jika tidak ada
hambatan, konser itu bakal digelar Agustus mendatang. “Perbuatan dosa
tidak patut dibanggakan,” kata Uskup Znepole Yoan. Bukan kali ini saja
Bulgaria menolak konser bintang pop Amerika. Pada 2009, mereka juga
mengancam bakal memboikot pertunjukkan Madonna yang baru pertama kali
manggung di Ibu Kota Sofia. Meski kemudian konser legenda pop itu tetap
berlangsung.
4. CHINA
Di China yang berideologi Komunis, bukan cuma konser Lady Gaga yang ditolak, lebih jauh dari itu seluruh lagu Lady Gaga dilarang diputar dan beredar di sana.
Kementerian budaya Cina merilis dafar 100 lagu pop yang dilarang
diperdengarkan di negara tersebut. Daftar 100 lagu yang dimaksud dinilai
memiliki kualitas yang dianggap rendah dan isinya dianggap terlalu
vulgar. Lady Gaga dan Katy Perry termasuk dalam deretan yang lagunya di-blacklist dan dilarang untuk mengudara serta dianggap tak pantas didengar para remaja di Cina, yang mengaku beridelogi Atheis.
Daftar itu dikeluarkan Kementerian Budaya. Pihak
berwenang China juga memerintahkan para pengelola situs yang menjual dan
menayangkan 100 lagu yang tidak sesuai untuk warga China itu – baik
legal maupun illegal – sebaiknya menghapus lagu-lagu tersebut. Kalau
perintah itu tak diindahkan, para pengelola situs tersebut akan
berhadapan dengan penegak hukum. Seperti dilansir NBC, pejabat Cina
menunjukkan bahwa daftar lagu dilarang karena berbahaya bagi “keamanan
budaya nasional.” Sedang Menurut BBC, website musik hanya dapat memiliki
kesempatan sampai tanggal 15 September untuk menghapus semua lagu yang
termasuk dalam daftar.
Enam lagu Gaga yang dilarang adalah “Edge of Glory”, “Hair”, “Marry the Night”, “Americano”, “Judas”, dan “Bloody Mary”. Sementara itu,“Last Friday Night (T.G.I.F)” dari
Katy Perry juga dilarang, kemungkinan besar karena liriknya yang
menyebut meminum alkohol dan berlari dengan tubuh bugil. Ada pula lagu Beyonce “Run the World (Girls)”, yang dilarang kemungkinan besar karena mengandung kata-kata kotor.
5. MALAYSIA
Di Malaysia. Lady Gaga juga pernah ditolak masuk ke negeri ini pada 2011. Gara-garanya, lirik lagu “Born This Way” dinilai menawarkan nilai-nilai homoseksualitas. Malaysia
tidak dimasukkan dalam daftar negara yang disinggahi Lady Gaga dalam
tournya ke Asia karena negara jiran itu sejak awal sudah menolak
permohonan pagelaran itu. Bahkan, negara itu melarang lagu-lagu Lady
Gaga beredar.
Negeri Jiran ini bahkan pernah membatalkan
konser Beyonce pada 2009 lantaran penyanyi ini sering berpakaian
terbuka. Partai Islam di negara itu beralasan penampilan dan gaya
busananya terlalu seksi. Konser itu seharusnya berlangsung 25 Oktober
2009 di Kuala Lumpur. Ternyata ini pun bukan pembatalan pertama di
Malaysia. Pada 2007, konsernya juga pernah dibatalkan karena adanya
penolakan keras.
NEGARA MAJU YANG MELARANG ARTIS ASING DATANG
Amerika Serikat
pun pernah melarang artis masuk ke negaranya. Penyanyi pop asal
Inggris, Lily Allen, dihentikan pihak berwenang bandara Los Angeles,
meski telah mengantongi visa bekerja pada 2007. Penyebabnya, insiden
pertengkaran Lily Allen dengan seorang fotografer. Lily dituding memukul
fotografer itu. Amerika juga pernah menolak kedatangan penyanyi peraih
Grammy Award, Amy Winehouse. Alasannya, nama penyanyi asal Inggris ini
tercemar karena kasus kecanduan narkoba dan memukul seorang
penggemarnya.
Pada 2010, Jepang pernah
melarang Paris Hilton singgah di Negeri Sakura karena kasus narkoba yang
menimpa sosialita ini. Sebelumnya, Paris ketangkap basah dengan kokain
di Los Angeles. Badan imigrasi Jepang menghentikan perempuan berambut
pirang ini di bandara dan memintanya segera meninggalkan Jepang.
Tolak menolak orang untuk masuk ke negara
tertentu dengan alasan keamanan sudah sering dan biasa terjadi bahkan di
negara yang mengaku pahlawan HAM. Misalnya, Cat Steven pernah ditolak
masuk Amerika, dan Yusuf Qardhawi,ulama moderat Arab pernah ditolak
masuk Perancis.
———————————————————————
Dari beberapa berita di atas, sebenarnya penolakan
terhadap kedatangan seorang artis asing di suatu negara adalah hal yang
biasa. Apapun alasannya, entah karena dianggap melanggar norma dan
ajaran agama yang dianut mayoritas warganya, dianggap tidak sesuai
dengan nilai-nilai budaya yang dibangun negara tersebut, atau sekedar
bermasalah hukum pribadi. Tapi penolakan itu tak pernah dibesar-besarkan
sampai jadi perbincangan dunia internasional. Bahkan di masa Orde Lama,
Presiden RI, Soekarno, pernah melarang musik Barat yang disebutnya
musik “ngak-ngik-ngok” karena dianggap imperialisme budaya.
Siang tadi, dalam segmen berita Metro Siang, Metro TV melalui reporternya di VOA (Voice of America)
menyiarkan wawancara langsung dengan beberapa warga Amerika seputar
reaksi mereka terhadap penolakan konser Lady Gaga di Indonesia. Yang
saya lihat, reaksi mereka wajar-wajar saja, tidak sewot, bahkan
menganggap jika memang ada penolakan dan sekiranya kurang aman, ya
sebaiknya dibatalkan saja. Intinya : mereka tak terlalu peduli dan
berpandangan negatif terhadap penolakan tersebut.
Lalu, kenapa justru pers di Indonesia yang
membesar-besarkan berita penolakan itu serta menggiring opini publik
seolah dengan penolakan ini kita akan dikucilkan dari pergaulan dunia
internasional? Pers, terutama media televisi, menciptakan opini seolah
kita harus malu karena jadi perbincangan pers internasional. Padahal,
Indonesia bukan negara pertama yang menyuarakan penolakan terhadap Lady
Gaga, dan negara lain itu pun tak pernah malu dengan sikap mereka atau
sikap sebagian dari tokoh agama di negara mereka.
Setidaknya dalam 2 – 3 hari terakhir 2 stasiun TV
berita menyuguhkan berbagai acara perbincangan membahas tak keluarnya
ijin konser Lady Gaga. Metro TV misalnya, sejak kemarin pagi, tadi pagi
dan petang ini menyajikan diskusi tentang topik itu, tapi semua yang
diundang hadir ke studio semua adalah tokoh yang pro terlaksananya
konser, orang yang kecewa karena batal menonton padahal sudah membeli
tiket. Begitupun TV One. Kalau yang berdiskusi semua berada di pihak
yang sama, lalu apa yang didiskusikan? Bukankah lebih tepat disebut
“ngerumpi bersama”?
Pihak host stasiun TV bahkan berkali-kali
mengeluarkan pernyataan tentang maraknya media massa internasional
meulis pemberitaan tentang pelarangan konser Lady Gaga di Jakarta,
seakan ingin meyakinkan pemirsa bahwa saat ini kita sedang dalam kondisi
kritis karena jadi perbincangan dunia. Padahal, berbagai masalah di
Indonesia jadi bahan perbincangan media massa internasional – semisal
kemiskinan, jembatan ala “Indiana Jones” untuk siswa SD yang akan
sekolah dan berbagai kasus korupsi – sudah sejak dulu, bukankah ini
lebih memalukan?
Begitupun pertanyaan searah semisal : “apa ruginya
kalau Lady Gaga konser di sini?” tapi tak diimbangi dengan kajian : “apa
untungnya jika Lady Gaga konser di Indonesia” dalam arti keuntungan
bagi bangsa ini, bukan semata keuntungan materiil bagi promotor dan
pihak sponsor.
Sikap media massa ini seolah cermin dari sikap
bangsa kita yang memang cenderung “minder” dengan sikap sendiri dan
seolah takut jika menentang apa-apa yang datangnya dari “Barat”. Takut
dikatakan melanggar HAM, takut dibilang tak menghargai kebebasan
berekspresi, padahal banyak negara lain sudah melakukannya, tanpa peduli
apa gunjingan media internasional. Media massa nasional lebih memilih
“menari” mengikuti “kendang” yang ditabuh media internasional. Atau…,
karena media massa juga bagian dari sponsor pertunjukan? Entahlah!
catatan ira oemar freedom writers kompasianer