Ketika menjabat khalifah, Umar bin
Khattab suatu kali berjalan-jalan menyusuri Madinah. Begitu sampai di
salah satu sudut kota, Khalifah Umar mendapati sebuah rumah yang beliau
curigai sedang dipakai untuk bermaksiat. Sang Khalifah ingin
memastikannya, tapi rumah itu tertutup rapat. Beliau pun memaksa masuk
melalui atap. Dan benar saja, tuan rumah sedang asyik bermaksiat di
rumahnya. Langsung saja Khalifah Umar menghentikannya dan hendak
menangkapnya. Anehnya, pemilik rumah justru tidak terima. Ia mengaku
memang telah berbuat dosa. Tapi, menurut dia, dosanya cuma satu.
Sedangkan perbuatan Umar yang masuk rumahnya lewat atap justru melanggar
tiga perintah Allah sekaligus. Pertama, mematai-matai (tajassus), yang
jelas dilarang dalam Al-Quran (QS 49 : 12); masuk rumah orang lain tidak
melalui pintu seperti yang diserukan Al Qur’an (QS 2 : 189); dan tanpa
mengucapkan salam, padahal Allah memerintahkannya (QS 24 : 27).
Menyadari kesalahan tindakannya, Khalifah Umar akhirnya melepaskan orang
tersebut dan hanya menyuruhnya bertobat.
—————————————————————-
Kisah itu saya copas dari status FB teman saya.
Saya tak hendak membahas benar atau salahnya tindakan Khalifah Umar dari
sudut pandang kita di jaman sekarang, sebab setiap keputusan dan
tindakan pastilah bergantung pada situasi dan kondisi yang
melatarbelakangi serta karakter masyarakat saat itu. Saya hanya ingin
mengambil hikmah / pesan moral dari cerita ini : bahwa sejak dulu orang
yang ketahuan bersalah cenderung mencoba membela dirinya dengan mencari
kesalahan orang lain, lebih banyak dan lebih berat dari pada kesalahan
yang dituduhkan padanya. Ternyata ini sudah jadi sifat manusia yang latent. Belasan abad peradaban berkembang, tapi kebiasaan berkelit seperti itu tetap jadi modus.
Fenomena ini terjadi ketika Presiden SBY membacakan
pidatonya dalam acara forum silaturahmi Pendiri dan Deklarator Partai
Demokrat di Hotel Sahid, pada Rabu 13 Junii 2012 lalu. SBY dengan fasih
menyebut deretan angka-angka tingkat korupsi dari 4 parpol lain yang
prosentasenya di atas Partai Demokrat. Menurut SBY, tingkat korupsi
kader Demokrat di DPR RI HANYA 3,4% sedangkan parpol lain – tanpa
menyebut nama – jauh di atas PD, sampai 34% dan 24%. Begitu pun di level
eksekutif, kader Demokrat yang menjadi Menteri dan pejabat daerah
(Gubernur, Bupati, Walikota) yang terbukti melakukan korupsi,
prosentasenya masih lebih kecil dari parpol lain. Pun juga kader PD di
DPRD yang korup lebih sedikit ketimbang parpol lain.
Dengan menggunakan data pembanding itu, SBY
mengeluhkan kenapa hanya Partai Demokrat saja yang di-“obok-obok” media
massa dalam pemberitaan kasus korupsi. “Pantaskah jika kemudian Partai
Demokrat dianggap korup sedangkan partai lain dianggap bersih?” demikian
tanya SBY, seolah menggungat ketidakadilan trial by the press yang menimpa partainya.
Ibarat anak sekolah yang kedapatan membolos atau
mencoba mangkir saat jam pelajaran masih berlangsung, lalu ketahuan guru
BP dan satu-satunya cara membela diri hanyalah menyebutkan bahwa
dirinya baru sekali itu membolos/mangkir, sedang teman-temannya yang
lain sudah berkali-kali bolos. Begitupun SBY dalam menyikapi sorotan
terhadap partainya, alih-alih secara tegas melakukan langkah-langkah
pembersihan, SBY justru menggugat kenapa pers begini dan begitu.
Padahal, sebagai partai berkuasa yang mengusung tagline “Katakan Tidak Pada Korupsi” saat kampanye lalu, sebenarnya masih tergolong wajar apa yang dilakukan media massa.
Sebagai Capres yang sekaligus Ketua Dewan Pembina
PD, pada momen kampanye Pilpres 2009, SBY berjanji akan berdiri di garda
terdepan dalam memberantas korupsi, sambil menghunus pedang anti
korupsi. Faktanya, sudah setahun berlalu sejak awal mula badai issu
korupsi melanda PD, SBY tetap belum menghunus pedangnya untuk
mengamputasi kader-kader PD yang diduga terlibat kasus korupsi. Pidato
SBY di hotel Sahid pekan lalu seolah hanya mengulang pidatonya pada Juli
2011, sekedar menghimbau agar kader yang merasa tidak mampu menjalankan
garis kebijakan partai untuk menjalankan sikap politik yang bersih,
cerdas dan santun, agar hengkang saja dari PD.
Lalu, sejak himbauan itu diucapkan setahun yang
lalu, apakah sudah ada yang merasa demikian? Ternyata tidak! Artinya :
semua kader PD merasa bersih dan terbebas dari issu korupsi. Lalu kenapa
badai tak kunjung reda? Kenapa tingkat elektabilitas terus merosot?
Kenapa banyak pengurus daerah yang bersuara sumbang terhadap
kepengurusan DPP?
Ternyata, keluh kesah SBY pada tekanan pembentukan
opini publik oleh media massa ini diamini oleh jajaran elit Partai
Demokrat. Semua seolah sepakat menutupi bahwa ucapan SBY itu tak
ditujukan pada orang tertentu. Bahkan Ketua Forum Pendiri dan
Deklarator, Ventje Rumangkang pun menyatakan demikian. Lalu kalau
begitu, apa gunanya SBY menghimbau jika seluruh kadernya bersih dan
baik-baik saja?
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa di Indonesia “tak ada budaya mundur”
seperti pernah diucapkan almarhum Sudomo, tahun 1994 lalu saat kasus
Bapindo – Eddy Tansil menyeruak. Berbeda dengan di Jepang atau beberapa
negara Barat, ketika seorang tokoh politik atau pejabat publik terkena
issu suap/korupsi, maka tanpa diminta mereka akan menyampaikan pidato
pengunduran dirinya untuk fokus menjalani proses pemeriksaan sampai
dinyatakan bersih. Di Indonesia, selama yang lebih berkuasa tak tegas
mengambil tindakan, maka “anak buah” akan merasa aman-aman saja untuk
terus melenggang.
Pagi tadi, 2 stasiun TV berita : Metro TV dan TV
One mengangkat topik yang sama dalam dialog pagi. Soetan Batoeghana yang
menjadi nara sumber di Metro TV bahkan dengan “kepedean” menyangkal
semua pemberitaan soal merosotnya elektabilitas PD. Dia mengklaim dalam
setiap kunjungannya ke berbagai daerah, terutama daerahnya, para kader
tetap solid menyambut. Malang bagi Batoeghana, arogansinya langsung
dibantah oleh seorang penelepon dari Pacitan – yang kita tahu sebagai
basis dukungan SBY dan Demokrat di Jatim – yang memberikan kesaksian
bahwa sebagai kader setia, dirinya kini merasa malu dengan kondisi PD
serta merasa kesulitan mengkonsolidasikan dukungan di tingkat grassroot.
Tjipta Lesmana, pengamat yang disandingkan bersama
Batoeghana memberikan pendapat berbeda. Dari bocoran yang didapatnya,
Forum Pendiri dan Deklarator PD akan kembali mengadakan pertemuan yang
lebih besar beberapa waktu ke depan, ditargetkan dihadiri oleh 3000-an
orang dari seluruh wilayah Indonesia, untuk menguatkan tekanan agar
Ketua Umum – yang dianggap bertanggungjawab atas terus merosotnya
tingkat elektabilitas PD – segera mundur. Penelepon dari Pacitan itu pun
membenarkan sinyalemen Tjipta Lesmana ini. Sungguh menyedihkan, SBY
yang diberi kedudukan sebagai Ketua Dewan Pembina, ternyata butuh
tekanan massa dari seluruh Indonesia untuk bisa menertibkan kader
partainya yang bermasalah.
Lain lagi di TV One yang mengundang Ahmad Mubarok.
Hasil surveyLSI (Lingkaran Survey Indonesia) yang menyatakan tingkat
elektabilitas PD pada Juni 2012 hanya tinggal 11,3% (jika dikurangi
dengan margin error bisa saja jatuh di bawah 10%) semua hanya
akibat pemberitaan media massa saja. Padahal survey LSI tidak tunggal,
ada pula survey Sugeng Sarjadi Sindicate (SSS) yang menempatkan tingkat
elektabilitas PD hanya di kisaran angka 10%-an saja. Bahkan survey
Indobarometer lebih parah lagi, hanya 4% saja kepercayan publik terhadap
PD.
Ketika Januari 2012 lalu tingkat elektabilitas PD
masih di kisaran 13,7%, Hayono Isman sudah mengisyaratkan bahwa jika
sampai hasil survey menunjukkan angka 10%, maka Anas harus mundur dari
kursi Ketua Umum. Kini, ketika angka-angka survey terus menunjukkan
kecenderungan merosot, kenapa justru sibuk menyalahkan media massa?
Mubarok hanya mengulang-ulang pernyataan bahwa “Demokrat tak punya TV”
sebagai penyebab mereka tak mampu membela diri. Bahkan menurut Mubarok,
data yang diungkap SBY dalam pidatonya itu adalah benar, tapi PD belum
akan mengungkapnya sekarang, juga karena mereka tak punya (stasiun) TV
sendiri.
Memang benar, 2 stasiun TV berita adalah milik para
politisi yang punya parpol. Tentu pemberitaannya tak steril dari
kepentingan politis dan tak terbebas dari kemungkinan menjatuhkan
tokoh/politisi parpol lain. Tapi apakah sebuah solusi bijak jika SBY dan
elit PD hanya menyalahkan media massa? Sementara di internal tak
melakukan langkah pembersihan yang nyata? Mubarok bahkan sedikit
menantang dengan mengatakan PD tak akan tunduk pada pembentukan opini
publik. “Lihat saja 2014 nanti!”, sesumbarnya seolah yakin bahwa PD
masih akan menang pemilu.
Anas dan para die hard-nya selalu berkilah
bahwa secara hukum Anas bersih. Jangankan tersangka, dipanggil sebagai
saksi saja belum pernah. Memang, ini adalah fakta hukum formal. Tapi
politik sesungguhnya adalah opini dan persepsi. Meski secara legal
formal Anas sama sekali belum terbukti terlibat kasus apapun, tapi
secara politis dia telah dipersepsikan terlibat karena ocehan
Nazaruddin. Boleh jadi memang Nazar pembual dan melebih-lebihkan
kesaksiannya. Apa yang dilakukan Nazar sebenarnya sama dengan apa yang
dilakukan SBY : “oke saya memang korupsi, tapi Pak Anas yang terima uang
lebih banyak dari saya, untuk pemenangan Kongres PD”, kurang lebih
begitu logika yang dibangun Nazaruddin.
Apa yang dikatakan Nazar meski belum terbukti
secara sah, setidaknya sudah menimbulkan riak-riak perpecahan di tubuh
Demokrat. Satu demi satu kader dari berbagai daerah mulai mengakui
menerima sejumlah uang puluhan juta dan ribuan dolar Amerika saat
Kongres, demi memilih Anas. Begitupun issu soal pembagian smartphone BlackBerry.
Beberapa kader mantan peserta Kongres PD 2010 mulai menunjukkan kardus
kemasan BB Gemini yang masih tertempel kertas tanda terima berlogo PD
dan tim sukses pemenangan Anas. Setidaknya, untuk soal ini ucapan Nazar
jadi punya alasan untuk dipercaya publik ketimbang elakan Anas yang
selalu mengatakan itu hanyalah halusinasi Nazaruddin saja.
Apalagi kemudian Anas terbukti tidak taat hukum
dengan mengganti plat nomor 2 buah mobilnya dengan plat nomor palsu.
Dalam kasus ini Anas sepenuhnya lepas tangan dan menyatakan itu semua
inisiatif pribadi sopirnya yang tak diketahuinya. Nah, salahkah jika
kemudian publik mempersepsi Anas adalah typical atasan yang
selalu cuci tangan saat ada masalah dan mengumpankan bawahannya?
Salahkah jika opini yang terbentuk kemudian Anas bukan sosok yang
bersih?
Jadi, kalau sampai saat ini SBY tak berani
mendongkel Anas demi memulihkan citra partainya, apakah karena alasan
SBY takut Anas akan jadi Nazaruddin babak 2? Artinya Anas – seperti juga
Nazar dan SBY – justru akan tunjuk hidung siapa saja yang ikut
menikmati dana-dana tak halal? Sejatinya, sifat manusia jika
sudah “kepepet” ketahuan salah, maka ia akan mencoba mencari/
menunjukkan kesalahan yang lebih besar yang dilakukan oleh orang yang
menyalahkannya. Prinsip “tiji tibeh” alias “mati siji mati kabeh”. Sepeti cuplikan kisah orang di jaman Khalifah Umar bin Khattab di atas.
catatan ira oemar freedom writers kompasianer