Awal Juli 2011
Nia mem-Ping! BBM-ku
dan hanya meninggalkan pesan “Hello”. Saat itu sudah hampir jam 11 malam
dan aku sudah tertidur. Esok paginya, aku heran melihat ada BBM dari
Nia. Dia memang ada dalam contact list BBM-ku, tapi boleh
dibilang kami tak pernah ngobrol banyak kecuali Nia tanya 1 – 2 kabar
tentang teman lama kami di SD atau SMP. Saat on the way ke kantor, aku
BBM Nia dan tanya kenapa dia mem-Ping!-ku semalam. Lalu meluncurlah kisah pahit rumah tangganya yang tak pernah kuduga bakal terjadi dalam kehidupan Nia.
“Aku ditinggalkan, Ira”, begitu
Nia mengawali penuturannya. “Dia memang masih ada di sampingku, tiap
malam dia pulang ke rumah kami, but no more touch, no communication at all”.
Aku nyaris tak percaya. Bermula dari perkenalan Judith, suami Nia,
dengan eks teman SMA-nya di akhir 2009, saat tak sengaja berjumpa di
sebuah mall di Surabaya. Eks teman SMA Judith itu kini sudah menjanda
karena bercerai dengan suaminya. Tapi janda dengan 2 anak ini kaya raya,
ia memimpin sebuah bisnis yang dimilikinya sendiri.
Sejak pertemuan itu, komunikasi
mereka makin sering dan akhirnya Erna – nama janda itu – menawari
Judith untuk bekerja sama dengannya. Namanya saja bekerjasama, tapi
sebenarnya Judith bekerja pada Erna. Sejak jadi orang kepercayaan Erna,
Judith diberi beragam fasilitas : sebuah mobil Honda CRV baru, akses
beberapa kartu kredit yang pemakaiannya ditanggung Erna dan entah berapa
gaji bulanan yang dijanjikan. Nia tak pernah tahu, sebab Judith memang
tak pernah memberinya uang belanja bulanan. Bahkan sekedar
memberitahukan penghasilannya pun tidak.
Nia dan Judith bertemu semasa
mereka masih kuliah. Keduanya sejurusan dan seangkatan. Judith sudah
mengejar Nia sejak di tahun pertama, tapi Nia tak merespon karena
dianggapnya Judith bukan typical yang diinginkannya. Tapi jodoh memang
tak lari kemana. Saat mengerjakan tugas akhir, Nia berpasangan dengan
Santi, sepupu Judith. Sejak itulah Judith punya banyak kesempatan show time
untuk menarik perhatian Nia. Alhasil, Nia pun luluh dengan kegigihan
Judith dan mereka menikah selepas lulus sarjana, pada Agustus 1994.
Pada awal pernikahan, Judith dan
Nia sama-sama bekerja. 3 tahun kemudian putra pertama mereka lahir,
disusul 3 tahun berikutnya putri mungil menyusul lahir. Lengkaplah
kebahagiaan Nia dan Judith dengan kehadiran Alvin dan Aleeya. Tapi
seiring kelahiran Aleeya itulah, Judith menyatakan mau berhenti bekerja
dan akan membangun bisnis sendiri. Sebagai istri yang penurut dan selalu
men-support suami, Nia menyetujui gagasan Judith. Tapi ternyata tak
mudah, tanpa modal yang cukup dan talenta di bidang bisnis, Judith tak
pernah berhasil berbisnis apapun.
Sementara, Nia makin cemerlang
karirnya. Dia bahkan meneruskan kuliahnya ke jenjang S2 jurusan
Marketing di sebuah PTN ternama. Kini jabatan kepala Divisi Marketing di
sebuah perusahaan perhiasan emas dan permata yang produknya dipakai
menjadi hiasan mahkota Miss World, ada dalam genggamannya. Dan selama
itu pula, Nia yang membiayai kehidupan rumah tangga mereka, membeli
sebuah rumah besar, mobil, menyekolahkan Alvin dan Aleeya di sekolah
ternama yang bayarannya mahal. Tak sepeserpun Judith berkontribusi. Tapi
Nia selalu menutupi kenyataan ini di depan anak-anak mereka, orang tua
dan keluarga besar Judith, maupun orang tua dan adik-adiknya sendiri.
Di keluarganya, Nia dinilai jadi
role model keluarga harmonis oleh ibu – bapaknya. Adik-adiknya selalu
diharapkan mencontoh rumah tangga Nia – Judith. Di mata ibu mertuanya,
Nia menantu terbaik dan tersabar. Begitu rapinya Nia menutupi kelemahan
suaminya, sehingga Judith tetap punya harga diri di hadapan keluarga
mereka.
Kini, ketika Judith mulai
berpaling sejak kenal janda kaya raya yang kini jadi Boss-nya, Nia
bingung tak tahu harus mengadu pada siapa. Selama 1,5 tahun ia memendam
sendiri lara di hatinya. Judith ibarat memusuhinya. Tiap Jumat petang
sepulang kantor, Nia pasti mendapati rumah kosong hanya tinggal PRT.
Alvin dan Aleeya diajak Judith jalan-jalan, entah ke mall atau ke
berbagai arena hiburan di Surabaya. Mereka tak hanya bertiga, tapi
bersama dengan Erna dan kedua anaknya. Begitupun esoknya, Sabtu, dimana
Nia memang tidak libur dan tetap bekerja sampai jam 5 sore. Anak-anaknya
sudah diajak Judith meninggalkan rumah sejak siang dan baru pulang
jelang tengah malam. Kadang mereka memancing atau bahkan pelesir ke luar
kota, ber-6 dengan Erna dan kedua anaknya.
Nia jadi seolah tersisih dari
kedua anaknya sendiri. Anak-anaknya bahkan akrab dengan anak-anak Erna.
DI hari Minggu, saat Nia ada di rumah, Judith justru pergi seharian
sampai larut malam. Bersama Erna tentu. Acara sowan ke ortu Nia yang
rutin dilakukan tiap hari Minggu 2 pekan sekali, kini hanya dijalani Nia
bersama kedua anaknya, tanpa kehadiran Judith. Ibunya bahkan pernah
berujar : “Berapa sih uang belanja yang diberikan suamimu sampai-sampai
ia ngoyo kerja lembur setiap hari Minggu begini?!”. Nia Cuma
tersenyum kecut menanggapi pertanyaan ibunya. Mana mungkin ia menjawab
“tak sepeserpun, Bu”.
Di hari kerja, Nia sampai di
rumah sebelum maghrib seperti biasa, tapi Judith baru sampai di rumah
jelang tengah malam bahkan kadang hampir dini hari. Kalau ia tiba di
rumah saat Nia masih terjaga, Judith langsung sibuk dengan gadget-nya
dan tak sepatah katapun dilontarkannya menyapa Nia. Kalau Nia sudah
tidur, Judith akan langsung merebahkan tubuhnya membelakangi Nia. Judith
bahkan belum bangun saat Nia berangkat ke kantor. Jadi, praktis tak ada
komunikasi antara mereka. Nia pernah menyampaikan ketidaknyamanan yang
dirasakannya, tapi Judith Cuma menjawab : “kalau begitu ceraikan aku!”.
Setiap kali Nia dengan sabar mengajak bicara baik-baik dan ingin
memperbaiki hubungan mereka, selalu saja “menu” cerai yang keluar dari
mulut Judith. Bahkan Judith selalu menantang Nia segera mengajukan
gugatan ke Pengadilan Agama, dia akan segera mengabulkan gugatan Nia,
tanpa meminta hak asuh anak dan pembagian harta gono gini.
Meski tersiksa lahir – batin,
Nia tak serta merta menyetujui ajakan cerai. “Alasannya klasik, Ira.
Demi anak-anak” akunya. Aleeya dekat sekali dengan Papanya. Putrinya ini
berprestasi di sekolahnya dan saat ini duduk di kelas 6 SD. Dia
berambisi bisa diterima di SMP paling favorit. Nia membayangkan kalau
mereka bercerai, putrinya akan shock dan bahkan bisa jadi semangat
hidupnya hancur. Judith pernah berseloroh menyindir Aleeya, bagaimana
kalau Papa dan Mama pisah. Aleeya tak menjawab, dia hanya berlari sambil
menangis sesenggukan. “Bagaimana mungkin kami bercerai, baru
dibecandain aja Aleeya reaksinya sudah begitu”, kata Nia.
Aku hanya bisa menyarankan pada
Nia untuk lebih mendekatkan diri pada Allah, agar diberi jalan keluar
terbaik. Dan jangan pernah memberi peluang pada perempuan lain untuk
merebut perhatiannya sebagai Ibu bagi kedua anaknya. Kalau Nia selalu
sibuk bekerja pada hari Senin sampai Sabtu, dia harus rela
berlelah-lelah di hari Minggu untuk berlibur bersama anaknya. Kusarankan
padanya agar memanfaatkan moment Ramadhan yang bakal segera tiba, untuk
menciptakan saat-saat bersama kedua anaknya. Sering mengajak mereka
buka puasa bersama dan sebagainya. Nia setuju. Kini jelang dini hari Nia
mulai sering terbangun untuk sholat Tahajjud dan Aleeya ikut bangun
saat Mamanya mengambil air wudhu. Bersama Nia, Aleeya juga sholat
Tahajjud sambil memohon nilai yang bagus agar diterima di SMP favorit.
Masuk bulan Ramadhan, Nia
menjalani sahur bersama Alvin dan Aleeya. Judith pulang dini hari dan
langsung makan sahur, lalu tidur pulas. Buka puasa pun tak pernah
bersama. Selepas Idul Fitri, Judith pergi. Selama ini memang Judith
sudah sering pergi berhari-hari tanpa pesan. Di telpon tak diangkat, di
BBM atau SMS tak dijawab. Dari anak-anak lah Nia tahu keberadaan Judith.
Tapi kepergian kali ini lebih lama. Sudah 3 bulan Judith tak kembali.
Meski masih sering menelpon anak-anaknya, tapi tak sepatah katapun
menanyakan kabar Nia. Ibunda Judith pun akhirnya tahu perihal anaknya
yang tak pulang 3 bulan “Aduuuh.., anak ibu kok jadi Bang Toyib gini
ya?” tanyanya.
Januari 2012, Nia mengajak kedua
anaknya berlibur di Batu, Malang. Kali ini dikiriminya Judith SMS :
“aku tak tahu apa yang kamu kerjakan di sana, sampai-sampai tak bisa
cuti sehari pun. Aleeya bilang liburan paling berkesan tahun 2009 saat
ke Bali, sebab kita berempat. Liburan selanjutnya gak enak sebab gak
lengkap, gak ada Papa. Kami berlibur di Batu, menginap di hotel X sampai
tanggal sekian. Kalau kamu ada waktu datanglah.” Dan Judith memang
datang sehari semalam sebelum mereka check out. Menyewa kamar yang
berbeda dan tidur bersama Alvin. Aleeya menemani Nia. Tanpa komunikasi
berbulan-bulan, membuat mereka jadi canggung.
Judith kembali menawarkan
perceraian. Dia katakan kini dia sudah punya pekerjaan. Uang hasil
kerjanya ditabung dalam bentuk emas batangan, sebagai persiapan biaya
menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri selepas SMA nanti. “Aku
tak perlu mengirimimu sebab untuk hidup sehari-hari toh kamu sudah bisa
cari sendiri” alasan Judith kenapa ia tak pernah memberikan sepeserpun
hasil kerjanya pada Nia. Ironisnya, Nia membenarkan alasan Judith. Tapi
ia tetap menolak bercerai. “Sudahlah, kamu kerja saja yang kenceng, cari
duit buat sekolah anak-anak kita kelak. Gak usah pikirkan aku, aku
sudah bisa mencukupi diriku dan anak-anak”.
Tapi menyangkut perceraian, Nia tetap menolak. “Aku bukan takut menjanda Ira. Sekarang pun faktanya aku sudah jadi single parent
terutama hampir setahun ini. Tapi aku tak mau ribet soal perceraian,
biar sajalah seperti ini” katanya padaku. Ketika Judith kembali
menawarkan “menu” cerai, Nia bilang : “Relasiku banyak, aku tak mau
disibukkan menjawab pertanyaan “kenapa cerai” dari mereka. Begitu juga
di keluarga, mereka tahunya kita selama ini harmonis. Bagaimana aku
harus menjelaskan perceraian kita?”.
Nia mengaku, ia sebenarnya sudah
mulai “galau”, terutama menyangkut kebutuhan batiniah. Tak ada teman
berbagi cerita saat letih sepulang kantor, tak ada sentuhan suami yang
siap meredakan semua beban beratnya, dan tentu tak ada pasangan yang
memenuhi kebutuhan biologisnya. “Tapi aku sekarang sudah terbiasa, Ira.
Aku sudah tak punya perasaan apapun lagi padanya. Dulu aku memang sering
menangis sendiri kalau malam tiba. Sekarang sudah tidak lagi. Aku sudah
cuek”, kilahnya.
Itulah kisah Nia. Meski
menyatakan tak takut menjanda, tapi sejatinya Nia takut dengan predikat
“janda”. Ia memang tak kuatir soal urusan ekonomi, kondisi finansialnya
lebih dari cukup. Hanya saja, dalam status sosial seperti sekarang,
dalam lingkaran relasi yang cukup banyak baik di dalam maupun di luar
negeri, Nia khawatir tak mampu menjelaskan kenapa ia memilih berpisah
dengan suaminya. Seorang terpelajar, punya karir cemerlang dan status
sosial ekonomi yang cukup mapan seperti Nia, ternyata tetap tak
membuatnya berani memerdekakan diri dari kesewenang-wenangan suaminya
dengan memilih berpisah secara hukum. Meski secara de facto mereka sudah berpisah, tapi secara de jure
pernikahannya masih utuh dan ini “aman” bagi Nia. Ada banyak perempuan
lain yang tak berani menjanda dengan berbagai alasan. Kisah lainnnya ada
di bagian selanjutnya.
(CATATAN : semua nama tersebut di atas bukan nama sebenarnya, terinspirasi dari kisah nyata)
catatan Ira Oemar freedom writers kompasianer