Tumpuan memberantas korpsi kini berpulang kepada gerakan masif publik bila ingin keluar dari lakon gergaji angin.
***
JAUH sebelum heboh kasus Nazaruddin, saya pernah mengundang Fuad Bawazir, mantan Menteri Keuangan, pernah dua periode menjabat Dirjen Pajak, hadir ke acara Presstalk saya di QTV —kini Beritasatu— tayang di kanal Firstmedia, teve kabel.
Pada satu kesempatan, saya tanyakan ihwal dana Upah Pungut (UP), yang dilakukan oleh badan urusan pajak bumi dan bangunan sebelum bergabung ke Direktorat Pajak dulu. Konon dana UP jumlah juga triliunan, itu ada di rekening Bank Bumi Daya pusat atas nama pribadi Fuad Bawazir.
Fuad membantah. Ia bilang, “Soal rekening liar itu saya yang buka ke Gus Dur agar diselidiki.”
Dalam verifikasi saya, hingga hari ini lebih 3.000 uang negara rekeningnya atas nama pribadi pejabat, terutama di Departemen Keuangan. Majalah Wartaekonomi, bila saya tak keliru, awal 2010 pernah mengupas ihwal ini. Mereka mengindikasikan masih mencapai 2.000 rekening liar atas nama pribadi pejabat.
Dari rekening liar merangkak ke rekening gendut.
Majalah TEMPO, salah satu media getol menuliskan soal rekening gendut di kepolisian. Lalu kasus ini seakan mendem di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setidaknya ada dua kasus besar ditulis TEMPO, rekening gendut dan kasus impor BBM berl;abel ZATAPI, menguap bak BBM dalam drum tanpa tutup, menguap bersama angin.
Kembali ke urusan pajak, sudah lama pula saya verifikasi sepak terjang mantan Dirjen pajak Hadi Purnomo. Di dalam catatan saya, ada dua hal yang layak terus diverifikasi. Pertama soal pembangunan gedung Direktorat Pajak dan kedua soal IT mereka.
Di urusan gedung itu, Anda agaknya kaget, kalau saya lagi-lagi menyebut nama Mahfud Suroso.
Mahfud adalah nama yang duduk bersama Anas dan Nazaruddin dalam perusahaan mereka di PT Anugerah Nusantara. Dalam keterangan Nazar, Mahfud-lah yang mengalokasikan Rp 50 miliar pertama, dari proyek Hambalang senilai Rp 1,2 triliun. Uang Rp 50 miliar itu terindikasi dipakai untruk Anas maju jadi Ketua Partai Demokrat. Anda tentu paham di Hambalang yang dimenangkan PT Adhi Karya
Di mana ada PT Adhi Karya, di mana terindikasi tajam ada Mahfud di belakangnya.
Di pembangunan gedung Direktorat Pajak, perusahan Mahfud yang mendapatkan pekerjaan manajemen proyek dan Mechanincal Engineering (M&E). Sosok ini pula yg terindikasi mulai menjalin hubungan dekat dengan Anas Urbaningrum sejak mendapatkan proyek pembuatan kotak suara di KPU. Dan dari Mahfud pula, alokasi uang untuk pejabat tak terkecuali terindikasi untuk Hadi Purnomo mengalir.
Makanya saya tak henti-henti himbau, KPK mengejar sosok Mahfud.
Kita semua paham, sosok seperti Hadi Purnomo kemudian didukung oleh hamper semua partai duduk sebagai Ketua Badan pemeriksa Keuangan (BPK).
Dan yang mengherankan saya sosok yang saya kenal sperti Nurlif, pernah duduk sebagai anggota Komisis IX di DPR era sebelum ini, malah duduk pula sebagai wakil BPK. Nurlif terindikasi bermasalah, ikutan menerima uang sogokan Gubernur BI, di mana Hamka Yandhu, Dudhie Makmun Murod, sdh terpidana duluan, sementara Nurlif menjadi Wakil Ketua BPK. Ketiga sosok ini sama-sama dengan saya dilantik menjadi angghota HIPMI, ketika saya sempat berbisnis pada 1989-1998.
Singkatnya jika sosok-sosok bermasalah dari atas sampai bawah bermasalah, bahkan ada di berbagai lembaga yang seharusnya kredibel maka apapun lading penebas, akhirnya hanya menghasilkan kesia-siaaan, saya mengistilahkan sebagai upaya menggergaji angin saja.
Bagaimana tidak, setelah berjumpa Komite Etik KPK Jumat, 9 September lalu, saya seakan mendapatkan pencerahan, bahwa mulai dari Presiden hingga lini terbawah bermasalah. Di level Presiden, terindikasi laporan dana kampanyenya ada yang dari Hamba Allah, lalu Hamba Allah 1, 2, 3 dan seterusnya dan minta dituliskan demikian oleh KPK, apa tidak bermasalah namanya?
Nah sampai di sini tingga;ah tugas media menuliskan, terlebih berharap banyak kepada media social, plus gerakan plontos nasional diteruskan.
Berhgarap ke lembaga formal, seperti KPK kendati pun secara angka prestasinya ada, pada akhirnya hanyalah pekerjaan menggergaji angin.
Di tangan rakyat kebanyakanlah kini pemberantasan korupsi bisa digelandang. Bila tidak kita hanya hari-hari ribut dan rusuh di media bikin kuping pengang. ***
Iwan Piliang, aktifis media sosial.