Ketika di Uni
Emirat Arab kwartal pertama 2010, saya sempat dua kali mengunjungi
Global Village, Dubai, kawasan luas bagi arena pameran dagang yang
berlangsung Desember-Februari setiap tahun. Stand pameran yang ramai dikunjungi, seperti Iran, dominan menjual makanan kecil. Melihat Smesco UKM Festival ke-8, di Jalan gatot Subroto, Jakarta, tahun itu , berlangsung 14-19 Juli, peluang makanan khas Indonesia jika
merambah pasar Timur Tengah dan Asia Selatan menjadi begitu terbuka
lebar. Sketsa akhir pekan uhwal makanan kecil, subtitusi beras: ada beras dari singkong, sepenggal kecil catatan dari pameran.
BUNGKUSNYA menggunakan daun pelepah jagung. Isinya wajik, berbahan ketan diolah santan dan gula merah. Sebungkus seukuran tiga jari tangan. Deretan lima wajik ini dijahit merangkai, di tengahnya berlogo bertuliskan Wajik Kletik Dibungkus Klobot, Ibu Prajitno. Dibawah logo tertera tulisan: Sejak 1969, di Blitar.
Di daerah saya, Sumatera Barat,
wajik lebih berminyak seperti Kalamai, atau dikenal dodol oleh orang
Betawi. Keduanya sangat mengandalkan santan kelapa. Namun wajik Kletik, lebih kering, dominan berasa gula merah.
Manca ragam makanan tradisional
kita secara tekun tahun-menahun telah memiliki pasar sendiri. Membuat
wajik masuk ke pasaran, sejak 1969, sebuh perjalanan ketekunan panjang.
Prestasi demikian dimiliki oleh banyak Usaha Kecil Menengah Indonesia (UKM) Indonesia. Karenanya sebuah pameran nasional menampilkan mereka, bisa menjadi langkah menuju merambah pasar global.
”Saya juga sangat yakin hal itu
jika digarap dengan baik akan menjadi peluang besar,” ujar Wahid
Supriyadi, Duta Besar RI di Uni Emirat Arab, ketika saya jumpai di Abu
Dhabi.
Wajik Kletik, salah satu contoh makanan tradisional
yang saya temui di Pameran Smesco UKM Festival saat ini. Makanan
tradisional, kemasan tradisional, khas Indonesia. Tidak berlebihan snack tradisional ini memiliki potensi sebagai camilan menyaingi makanan kecil Iran, misalnya.
Di Global Village, Dubai, stand pemeran Iran, dipenuhi aneka manisan, kacang-kacangan yang mengundang pengunjung antri datang. Dan bukan suatu mustahil jika, aneka wajik ada
di stand Indonesia, apalagi kemasannya pun khas berbahan alami seperti
Wajik Kletik, stand pameran Indonesia saya duga akan diserbu pengunjung.
Itu baru dari ranah wajik. Bicara kacang-kacangan, negeri
ini juga tak terhitung kreatifnya. Di kampung saya, di Sungai
Geringging, Sumatera Barat, usaha rumahan kipang kacang: kacang tanah
segar yang digongseng kemudian diadon dengan gula merah kental dan
dipress rata, dipotong kotak seukuran dua jari, lalu dikemas
dengan daun pisang kering. Hmm rasanya khas, pilihan kacang segar,
tanpa ada bagian kacang yang busuk; gula merah kelapa dan digongseng
dengan api bara kelapa.. Sebuah karya tangan dan hati. Hingga saat ini rasa Kipang Kacang kampung tak tertandingi oleh industri yang membuat penganan sejenis.
Khusus kacang, di Smesco UKM kala
ini saya menemukan gorengan kedele segar dari Salatiga dikemas dalam
plastik. Keunikannya, kedele segar dipanen petani, itu langsung diolah,
sehingga cita rasanya khas.
Ranah perkacangan itu, jika disimak
dari Sabang sampai Merauke, tidak berlebihan saya mengatakan berlimpah
ruah aneka olahannya. Tinggal bagaimana mengemas, memastikan volume,
potensi pasar global sungguh terbuka lebar.
Selain kacang di Smesco UKM Festival saat ini, ada juga beragam kerupuk. Salah satunya kerupuk
ikan pipih khas Kuala Pembuang, Seruyan, Kalimantan Tengah. Kerupuk
sejenis di Palembang dikenal sebagai kerupuk Ikan Belida. ”Volume
produksi kami bisa lebih besar dibanding Sumsel, karena potensi ikan
pipih lebih besar,” ujar Sanusi, sang pedagang.
Volume memang salah satu masalah untuk memasarkan. Jika pasar global dibuka, biasanya permintan rutin bervolume besar. Umumnya tuntutan untuk mengisi jaringan supermarket.
Jika saja satu topik kerupuk Ikan Pipih atau Belida ini digarap secara nasional, dengan volume yang tertakar secara nasional: maka satu lagi lahir makanan khas Indonesia merambah pasar dunia. Perihal yang demikian seharus menjadi perhatian besar HIPMI, atau Kadin Indonesia. Bukankah yang disebut pengusaha itu sosok memiliki produk dan atau atau jasa? Sedangkan
skala, besaran dari produk dan atau jasa itu merambah pasar. Makan saya
suka tak habis pikir jika banyak orang kebingungan tak tahu harus
mengusahakan apa?
Jika saja makanan khas, makanan kecil, ranah kuliner negeri ini sejak lama didukung untuk merambah pasar secara luas, betapa meriahnya.
Dua pekan lalu saya berjumpa dengan dua ibu turis malaysia di Bandung. Ia mengatakan salah satu hal mengundang minat mereka mara ke Bandung adalah: ”Di Bandung banyak nian pernik makanan kecil enak rasanya.”
TEROBOSAN membuat makanan non beras, layak diacungkan jempol kepada Prayitno, asal Penajam, Kalimantan Timur. Di Smesco UKM Festival kali ini, ia menampilkan beras yang ia beri tajuk MUSI (Mutiara Singkong). Wujudnya bagaikan beras yang terpotong-potong, putih persis beras. Namun bahan bakunya singkong.
“Sejak empat tahun lalau saya berkutat mencoba membuat produk pengganti singkong, pilihan akhirnya ke Musi,” ujar Prayitno.
Kini dalam sehari ia memproduksi 50 kg Musi.
Konsumennya baru dalam lingkup kecil di seputar Panajam, Kaltim. Ia
menjual Rp 4.500 per kg. Secara berseloroh saya sampaikan kepada Prayitno bahwa ia lebih kreatif dan bermartabat dari dominannya orang Panajam, Kaltim berbisnis batubara. Prayitno tertawa.
“Masyarakat acap mencampur Musi dengan beras Raskin, lalu jadi lebih pulen, beras Raskin menjadi terasa Rojolele,” ujar Prayitno berpromosi.
Upaya kerasnya empat tahun mencoba membuat
alternatif produk pengganti beras ini luar biasa. Jika boleh disebut,
agaknya, inilah produk terunik yang saya temui di Smesco UKM Festival
dari ranah makanan ini. Anda tertantang mencoba Musi? Smesco UKM festival ini masih dapat dijumpai hingga esok.
Dan jika belum puas dengan beras putih, di stand lain dari Supiori,
Papua, Anda dapat menemukan beras merah. Namun bahan bakunya dari buah
Manggrove. Biji tanaman diolah, dikeringkan, kemudian dihancurkan. Wujudnya
lebih halus. Rasanya seperti beras, namun mengandung unsur serat sangat
tinggi. Family Star produsennya menjual Rp 30 ribu per kg. Dan konon dimasak sedikit saja beras mangrove ini akan mekar.
Maka dari menyimak khasanah makan kecil, alternatif bahan pangan pengganti beras, tiada lain kalimat saya, negeri ini memang kaya raya dan seharusnya warganya tidak yang miskin dan berkesulitan hidup.
Kiranya Smesco UKM Festival ini memang harus rutin berlanjut, sehingga fisik bangunan yang bagiannya ada dibuat berbentuk
topi tentara Romawi itu, berkonten sesuatu yang dapat menjadi wadah
mempromosikan industri UKM kita dalam skala lebih luas menjadi jenjang
merambah pasar global.***
catatan Iwan Piliang,