Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala s’lalu dipuja-puja bangsa
Disana tempat lahir beta, dibuai, dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata …
Seminggu terakhir ini, setidaknya ada 2 peristiwa yang mengusik saya untuk mempertanyakan relevansi kalimat teakhir lagu Indonesia Pusaka
itu. Yang pertama adalah kematian Om Liem dan kedua adalah pemulangan
Sherny Konjongian dari Amerika Serikat pagi ini. Dua hal ini membuat
pikiran saya berjalan mundur sampai setidaknya 15 tahun lalu ketika
Indonesia terkena imbas krisis moneter yang melanda Asia Tenggara, sejak
pertengahan 1997.
Pernyataan Fahmi Idris semalam dalam acara Today’s Dialog
di Metro TV yang dipandu host Kania Sutisnawinata, setidaknya mewakili
curahan hati saya. Dengan lugas Fahmi Idris mengatakan kurang lebih
begini : “Kalau boleh usul, kalau boleh minta, jujur saya sebenarnya lebih ingin Om Liem dimakamkan di sini, di Indonesia. Tempat yang sudah membesarkannya”.
Ya, Om Liem alias Liem Sioe Liong atau nama “Indonesia”nya Sudono
Salim, memang bukan siapa-siapa saya, bukan pula kerabat Fahmi Idris.
Semua tahu, pengusaha yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya dunia
di urutan ke-25 oleh Majalah Forbes ini adalah seorang China asli yang
pada usia 36 tahunan merantau ke Indonesia, lalu berkat keuletan dan
kegigihannya kemudian mampu membangun kerajaan bisnis di segala bidang.
Tentu bukan tanpa alasan Liem
Sioe Liong muda meninggalkan tanah tumpah darahnya, tanah kelahirannya,
untuk merantau ke negeri asing, mengadu peruntungan. Kalau saja nasibnya
di China saat itu sudah bagus, kalau saja kondisi di China waktu itu
sudah makmur dan menjanjikan masa depan gemilang, tentu tak perlu Liem
muda bersusah payah menyeberangi lautan menjemput masa depan yang belum
pasti. Indonesia-lah yang kemudian jadi “lahan” subur bagi Om Liem. Apa
saja yang “ditanam”nya berbuah lebat. Jadilah Bogasari, BCA, Indocement,
Indomobil, Indofood dan Indosiar. Ratusan perusahaannya itulah yang
membuat pundi-pundi Om Liem menggembung.
Tanpa privelege dan
kemudahan baik secara politis maupun finansial dari Pemerintah Orde Baru
saat itu, belum tentu Om Liem akan sesukses dan sekaya sekarang. Tanpa
pengistimewaan, bisa jadi kerajaan bisnis Om Liem tak akan sebesar
sekarang. Memang, bukan hanya Om Liem seorang yang “beruntung” menikmati
“persahabatan” dengan penguasa Orde Baru. Saat itu ada sekelompok
konglomerat –kebetulan hampir semuanya WNI keturunan China – yang sering
diajak jalan-jalan ke Tapos oleh Pak Harto sambil bercengkerama dan
bersenda gurau. Mereka inilah yang kemudian menjelang keruntuhan Orba
disebut “kroni” Soeharto.
Sayangnya, saat ekonomi
Indonesia nyaris ambruk dirundung krisis moneter, para konglomerat itu
sama sekali tak menunjukkan rasa terima kasih dengan membuktikan
kesetiaan – setidaknya dalam kondisi suka dan duka tetap tak
memindahkan dananya ke luar negeri – tapi justru sebaliknya sebagian
menyelamatkan kekayaannya ke Singapura. Padahal, krisis moneter yang
melambungkan nilai tukar rupiah saat itu turut dipicu oleh utang (luar
negeri) swasta yang jatuh tempo, sehingga mereka perlu memborong dolar
untuk membayar hutangnya.
Menyakitkan memang jika
mengingat hal itu : ketika Indonesia masih makmur dan diguyur hutang
luar negeri, mereka mengembangkan bisnisnya di Indonesia, terus
berinvestasi dan merambah segala bidang. Memanfaatkan murahnya upah
tenaga kerja di negeri ini dan “bersahabat”-nya regulasi serta
kondusifnya situasi polkam saat itu. Tapi ketika Indonesia sedang
dirundung duka, mereka orang pertama yang melarikan dananya dan
memindahkan investasi ke luar negeri. Tak ada keterikatan psikologis,
sebab Indonesia bukan tanah air beta, bukan tanah tumpah darah beta.
Begitupun dengan Sherny
Konjongian, satu dari sekian banyak tersangka kasus penggelapan BLBI.
Sherny satu “paket” dengan Hendra Rahardja – kakak kandung Eddy Tansil
yang raib sejak 1996 – dalam kasus Bank Harapan Sentosa (BHS) yang saat
itu menerima kucuran dana BLBI tapi kemudian menyalahgunakannya. Hampir
semua konglomerat yang terlibat kasus BLBI kemudian hengkang ke
Singapura dan beberapa negara lainnya. Hendra Rahardja bahkan sampai
mati di Australia, berkat kegigihan O.C. Kaligis membelanya agar tak
sampai diadili di Indonesia.
Beberapa tahun lalu – pasca reformasi, saya lupa tepatnya – sempat mengemuka wacana “NASIONALISME BARU”.
Kata ini menjadi marak dibicarakan karena saat itu banyak konglomerat
yang memindahkan investasinya ke Singapura – untuk tak menyebut kata
“melarikan dana” – lagi-lagi saat perekonomian Indonesia sedang sulit
dan justru membutuhkan investor yang rela menanamkan modalnya untuk
kembali menggerakkan roda perekonomian.
Saat itu, beberapa tokoh parpol
dan pengusaha nasional sempat membela alasan “nasionalisme baru” ini,
dengan dalih mereka yang berinvestasi ke luar negeri juga turut
mengharumkan nama Indonesia dan justru di luar negeri itu mereka
mendapatkan devisa untuk dibawa kembali ke Indonesia. Benarkah
demikian?! Bukankah dalam prakteknya justru sebaliknya? Sedikit demi
sedikit mereka mengusung dananya keluar dari Indonesia, memboyong
seluruh keluarga dekatnya pindah domisili di sana dan tak kembali ke
Indonesia kecuali mungkin suatu saat nanti ada sesuatu yang
“menguntungkan” dari Indonesia. Dalam arti Indonesia kembali menawarkan
keuntungan finansial.
—————————————————————————–
Selama jenazah Om Liem di
semayamkan, tiap hari TV-TV di Indonesia menyiarkan siapa saja yang
melayat. Dari Indonesia ada ibu Megawati bersama putrinya Puan Maharani,
ada pula mantan Menkeu Fuad Bawazier dan beberapa konglomerat keturuan
China lainnya, sahabat Om Liem. Diantaranya adalah Sjamsul Nursalim,
terpidana kasus BLBI. “Teman-teman” Om Liem memang hampir semuanya
pindah ke luar negeri – terutama Singapura – pasca lengsernya Pak Harto.
Mereka tak mau tahu lagi kondisi Pak Harto seperti apa, meski dulu Pak
Harto lah yang banyak memberi kemudahan.
Kembali saya teringat ucapan
Fahmi Idris. Om Liem – dan mungkin juga konglomerat WNI keturunan China
lainnya – memang tidak lahir di Indonesia. Tapi mereka merantau ke sini
sejak usia muda, menjadi warga negara Indonesia dan “besar” di
Indonesia. Bahkan kata Fahmi, keluarga Om Liem pun sebenarnya masih di
Indonesia, artinya tidak seratus persen meninggalkan Indonesia. Boleh
dibilang separuh usia Om Liem dihabiskan di Indonesia, makan makanan
Indonesia, menghirup oksigen di udara Indonesia dan minum air Indonesia.
Masa kecil dan usia mudanya di China tak memberinya kesuksesan, sedang
sisa usia tuanya yang dihabiskan di Singapura juga tak lagi produktif,
karena tongkat estafet kerajaan bisnisnya telah diserahkan ke generasi
kedua. Kalau begitu, masa produktif dan sejarah sukses Om Liem
seluruhnya terjadi di Indonesia. Lalu, tidakkah terpikir untuk
dimakamkan di Indonesia?
Mungkin jenazah Om Liem tak ada
artinya. Tapi dengan memilih Indonesia sebagai tempat peristirahatan
terakhir, tentu secara psikologis kesannya berbeda : rasa cinta dan
memiliki Indonesia! Ibu dr. Hasri Ainun Besarie – istri mantan Presiden
RI Baharuddin Jusuf Habibie – memang menghabiskan sisa usianya di
Jerman, sembari menjalani penyembuhan penyakitnya. Tapi ketika ajal
menjemput, Ibu Ainun dimakamkan di Indonesia. Negeri tempat ia
dilahirkan, tempatnya dibesarkan dan tempatnya mengabdi mendampingi
suami selama sekitar seperempat abad.
Sedang bagi orang-orang semacam
Eddy Tansil, Hendra Rahardja, Sherny Konjongian, Sjamsul Nursalim,
Adelis Lien dan sejumlah nama lain, Indonesia hanya tempat cari uang,
ambil fasilitas kreditnya, keruk kekayaan alamnya, gunduli hutannya,
lalu setelah bermasalah, tinggalkan saja Indonesia. Tak sedikit pun ada
rasa memiliki. Kalau perlu, sampai mati di luar negeri tak apalah,
ketimbang harus mempertanggungjawabkan kesalahannya di depan hukum di
Indonesia.
Di mata sebagian mahasiswa dan
ilmuwan Indonesia yang berkesempatan belajar di luar negeri, Indonesia
juga bukan negara yang nyaman untuk mengamalkan ilmunya. Banyak
mahasiswa yang dulu disekolahkan oleh BPPT semasa Pak Habibie masih
menjabat Menristek – baik melalui program STMDP (Science and Technology
Manpower Development Program) maupun setelah ganti nama menjadi STAID
(Science and Industrial for Industrial Development) – yang akhirnya
justru memperpanjang beasiswa mereka sampai ke jenjang S2 dan S3 dengan
mencari sponsor sendiri, dan akhirnya bekerja di perusahaan atau di
lembaga penelitian negara tempat studinya, tak ingin lagi pulang ke
Indonesia dan bekerja di sini.
Sedikit banyak saya bisa
mengerti alasan sebagian ilmuwan dan orang-orang berpotensi akademik itu
enggan pulang ke Indonesia. Di sini, mereka tak “dihargai” sebagaimana
mestinya. Selain kesejahteraan belum tentu terjamin, kesempatan
berkembang dan menyalurkan idealismenya sulit diakomodir karena minimnya
dana penelitian dan kurangnya inisiatif dukungan dari negara.Apalagi
jika kemudian mereka harus menjalani ikatan dinas – sebagai konsekwensi
dari beasiswa yang diterimanya – dan ditempatkan di instansi Pemerintah
atau BUMN. Umumnya idealisme mereka mengalami benturan dengan budaya
kerja serta pola pikir rekan-rekan dan atasannya. Itu salah satu sebab
mereka lebih memilih tak kembali ke Indonesia dan tetap bekerja atau
mengajar di luar negeri.
Memang, jika kita pernah
merasakan nyamannya tinggal dan menjalani kehidupan di luar negeri, maka
kembali ke negeri sendiri serasa “hujan batu”. Belum lagi jika
menyangkut minimnya kepedulian penguasa terhadap kesejahteraan
rakyatnya. Tapi bagi mereka yang pernah dibesarkan di Indonesia dan
mengenyam sejuta kenikmatan dan kemewahan hidup di Indonesia, pantaskah
jika kemudian di masa tua melupakan Indonesia seolah tak pernah
berkontribusi apapun?
Soal memilih tempat
peristirahatan terakhir memang sepenuhnya hak keluarga atau sesuai
wasiat yang meninggal. Orang-orang dulu sering berwasiat agar kelak jika
meninggal dimakamkan di kampung halamannya. Itu sebabnya, banyak orang
yang sejauh apapun merantau, meski telah sukses di Ibukota, kalau
meninggal tetap di bawa ke kampung halamannya. Akankah mereka yang
meraup sukses di Indonesia lalu di hari tua “berlindung” di negeri
orang, kelak jika tiba waktunya menutup mata akan kembali ke Indonesia?
Sherny Konjongian, mungkin tak akan kembali ke Indonesia kalau saja
Pemeritah USA tak mengekstradisi-nya. Nunun Nurbaeti – nenek berumur
60an tahun – mungkin masih asyik wira wiri ke luar negeri, kalau saja
KPK tak menangkapnya di Thailand. Akankah kelak lagu Indonesia pusaka
bagi sebagian pengusaha/konglomerat dan pejabat akan berubah syairnya
seperti ini :
Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya
Indonesia kini sudah tidak lagi dipuja-puja bangsa
Disana tempat lahir beta, dibuai, dibesarkan bunda
Bukan tempat berlindung di hari tua, bukan tempat akhir menutup mata …
Semoga saja tidak….
catatan ira oemar freedom writers kompasianer