Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita,
yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita,
coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
Penggalan lagu lawas Ebiet G.
Ade yang pernah ngetop di tahun ’80-an itu seolah terngiang saat
mendengar santernya berita rubuhnya bangunan di mega proyek Hambalang.
Alam sudah tak bersahabat, gara-gara hujan deras di bulan Desember 2011,
tanahnya bergeser dan akhirnya bangunan rubuh dan sekalian dirubuhkan.
Selama ini bau busuk aroma korupsi, mark up dan kongkalikong di mega
proyek yang terkesan dipaksakan itu hanya meruak dari sesumbar Muhammad
Nazaruddin saja. KPK tak punya bukti atau setidaknya kesulitan
menelusuri alat bukti. Nama-nama yang disebut semuanya membantah keras.
Tapi rupanya alam tak bisa diajak bersahabat dalam kekotoran. Alam sudah
lebih dulu menunjukkan murkanya.
Bermula dari hebohnya
pemberitaan bahwa ada 2 gedung di proyek sport center Hambalang yang
rubuh karena hujan deras pada 24 – 25 Mei pekan lalu. Tapi ada pula
berita yang menyebutkan sebenarnya bangunan itu sudah rubuh sejak 5 – 6
bulan lalu. Melihat tayangannya di TV, dimana bekas besi baja profil
penyangga bangunan sudah sangat berkarat, warnanya kecoklatan, serta
bekas runtuhan bangunan yang “luka”nya sudah kelihatan lama, saya
cenderung yakin bahwa rubuhnya gedung itu memang sudah beberapa bulan
lalu. Setelah membaca sebuah tulisan di Kompasiana yang HL pagi tadi,
saya jadi mengerti kalau rubuhnya memang sejak Desember 2011, akibat
hujan lebat yang menyebabkan tanah bergeser.
Semula, Menpora Andi
Mallarangeng selalu berkilah ia hanya meneruskan program pembangunan
yang telah dirancang sejak masa Menpora sebelumnya. Ini membuat Pak
Adhyaksa Dault marah besar dan beberapa hari lalu dengan tegas menantang
Andi Mallarangeng untuk di konfrontir dengan dirinya, dalam sebuah
wawancara live di stasiun TV swasta. Kemarin, semua teka-teki itu makin
jelas terjawab dalam jumpa pers Kemenpora, bahwa mega proyek sport
centre Hambalang bernilai Rp. 1,2 triliun itu memang benar-benar proyek
baru.
Di masa Adhyaksa Dault, hanya
direncanakan membangun sekolah olah raga untuk para atlet setingkat SMP
dan SMA, menggantikan sekolah yang di Bulungan. Biayanya pun hanya Rp.
125 milyar, tapi belum bisa dicairkan dananya karena tanah seluas 31,2
hektar itu belum bersertifikat. Di masa Andi Mallarangeng-lah sertifikat
itu selesai di urus, lalu di akhir tahun 2010 anggaran proyek ditambah
Rp 150 milyar menjadi Rp. 275 milyar. Setiap tahun, dananya naik sekitar
Rp. 500 milyar. Yang tadinya hanya proyek pembangunan sekolah olah raga
berubah menjadi sport centre, yang semula proyek single year menjadi multi years.
HANYA ORANG-ORANG DARI DEMOKRAT YANG TAHU
Mega proyek ini memiliki beberapa kejanggalan. Keanehannya, perubahan proyek dari single years menjadi multi years
ini tanpa sepengetahuan DPR Komisi X yang membidangi masalah olah raga.
Ironisnya, Ketua Komisi X, Mayudin, yang tak lain kader Partai
Demokrat, justru pasang badan dengan mangatakan bahwa DPR memang tak
perlu tahu masalah ini. Padahal, sebagai Ketua Komisi X DPR RI,
seharusnya ia membela marwah Komisinya agar tak dilangkahi eksekutif
dalam penganggaran.
Keanehan lain : hampir semua
yang terlibat realisasi proyek Hambalang ini adalah kader-kader Partai
Demokrat di DPR dan di eksekutif. Betapa tidak, Kemenpora dipimpin oleh
Andi Mallarangeng, manat jubir sekaligus orang kepercayaan Presiden SBY.
Sedangkan di Komisi X sendiri Ketuanya dari PD, Pak Mahyudin – yang
menurut pengakuan Rosalina Manullang sebutannya “Ketua” dalam
pembicaraan bersandi untuk pembagian “apel Malang” dan “apel
Washington”. Koordinator Anggaran Komisi X adalah Angelina Sondakh.
Setidaknya ini menjelaskan kenapa peran Angie cukup besar dan leluasa
mengatur pembagian fee, seperti terungkap dalam komunikasi BBM yang diakui oleh Rosa dan tertuang dalam BAP.
Jangan lupa, saat proyek itu
digagas, Anas Urbaningrum sang Ketua Fraksi Demokrat juga masih duduk di
Komisi X DPR, sebelum akhirnya mundur pasca terpilih sebagai Ketua Umum
PD. Gede Pase Suardika, yang dikenal sebagai die hard pembela
Anas, juga saat itu masih di Komisi X. Dalam urusan sertifikat,
Nazaruddin yang saat itu di Komisi III pun dilibatkan. Sedang yang
mengaku disuruh Anas mengurus sertifikat tanah Hambalang pun, Ignatius
Mulyono, adalah anggota DPR dari Demokrat. Tak pelak lagi, kader-kader
Demokrat di Komisi X kini diserang oleh rekan mereka sesama Komisi X
dari parpol lain yang merasa tak tahu menahu mengenai lolosnya mega
proyek multi years itu. Bahkan mereka akan membentuk Panja.
PROYEK YANG DIATUR DAN DIPAKSAKAN?
Nazaruddin pernah berkoar, bahwa
Anas-lah yang mengatur agar pemenang tender proyek sport center
Hambalang nanti adalah Adhi Karya. Faktanya, memang Adhi Karya dan
Wijaya Karya (Wika) lah pemenang tender proyek itu. Tapi dalam
pelaksanaannya, proyek itu ternyata diserahkan kepada 17 sub kontraktor
yang semuanya mengerjakan proyek-proyek besar dan utama. Bukan proyek
kecil-kecil yang bersifat pendukung semata. BPK dan KPK bisa memeriksa
bagaimana proses pengalihan pelaksanaan pembangunan proyek ini kepada 17
sub kontraktor.
Proyek itu ambles atau
dirobohkan atau apapun alasannya, yang jelas ada faktor tanah yang labil
sebagai penyebabnya. TV One pagi tadi membahas kontur tanah proyek
tersebut dengan pakarnya. Katanya, tanah di sana memang labil dan mudah
bergeser, termasuk bila curah hujan tinggi. Seperti kita ketahui, sejak
dulu Bogor dijuluki kota hujan karena tingginya tingkat curah hujan di
kawasan itu. Jadi, jika Kemenpora berencana membangun sebuah kompleks
sport center bertaraf internasional dengan beragam venue yang di tiap
venue juga ada tribun yang memuat ribuan penonton, bukankah seharusnya
dilakukan feasibility study yang matang mengenai kelayakan
teknis tanah dan bangunan di sana? Apalagi jika bangunannya bertingkat
tinggi seperti yang dimuat gambarnya di beberapa media cetak dan
internet. Sangatlah serampangan jika proyek sipil prestisius seperti itu
dibangun tanpa mempertimbangkan faktor stabilitas, sifat dan karakter
tanah.
Lalu kenapa proyek yang semula
hanya membangun sekolah atlit dipaksakan berubah jadi sport center?
Apakah demi naiknya anggaran menjadi 10 x lipat? Ketidakjujuran Andi
Mallarangeng di awal kasus ini dengan terus berkilah bahwa dia hanya
meneruskan proyek dari Menteri sebelumnya, menunjukkan ada yang berusaha
dia tutupi dari berubahnya proyek ini. Adhyalsa Dault bahkan
mencontohkan kebohongan Andi lainnya, ketika ia menyebut pemilihan
Palembang sebagai tuan rumah Sea Games adalah kebijakan yang sudah ada
sejak jaman Menpora Adhyaksa Dault. Menurut Adhyaksa, ia saat itu hanya
mengusulkan Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah sebagai pilihan dan tak
pernah ada alternatif Palembang. Jadi, kenapa tiba-tiba dialihkan ke
Palembang? Apakah agar ada alasan untuk membangun Wisma Atlit dan
beberapa venue baru? Setidaknya, kejujuran Andi Mallarangeng perlu
dipertanyakan, seperti juga Angelina Sondakh.
Proyek Wisma Atlit telah
menyeret Nazaruddin dan Sekmenpora Wafid Muharram ke balik jeruji
penjara. Kini, akankah Hambalang juga menyeret tokoh dari partai
Demokrat dan Kemenpora?
BAGAIMANA DENGAN ANAS?
Jika semula nama Anas hanya
disebut oleh Nazaruddin dan Mindo Rosalina, kini mantan koleganya di
DPR, Ignatius Mulyono sudah menyebut namanya sebagai orang yang
menyuruhnya menyelesaikan pengurusan sertifikat tanah Hambalang. Apa
peran Anas dalam proyek itu? Kalau Anas sama sekali tak punya
kepentingan, untuk apa ia mendesak agar sertifikat tanah Hambalang bisa
segera keluar?
Anas pernah sesumbar : “Satu
rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas!”. Sementara,
Nazaruddin tetap pada tuduhannya bahwa Anas lah yang mengatur proyek
Hambalang, bahkan Nazar mengaku bahwa mobil Alphard yang dipakai Anas
berasal dari Grup Permai, sebagai fee proyek Hambalang, seperti diminta
Anas agar fee-nya diberikan dalam bentuk mobil Alphard. Untuk
mendukung “nyanyian”nya itu, Nazaruddin menunjukkan fotocopy BPKB mobil
Alphard yang dimaksud. Sedang Anas hanya berkelit bahwa mobilnya
pinjaman dari temannya. Teman yang mana, kenapa mobil itu dipinjamkan
sekian lama pada Anas, kenapa Anas tak berani menunjukkan BPKB asli
mobil “milik teman”nya itu, adalah sejumlah kejanggalan yang bisa
mementahkan pengakuan Anas.
Bisa jadi Anas bukanlah operator
tunggal, bukan pula pemain langsung, juga bukan tangan pertama yang
mengambil keuntungan tak halal dari mega proyek Hambalang ini. Tapi
bagaimana jika ocehan Nazaruddin kemudian terbukti benar – seperti
sebagian ocehannya yang lain – setidaknya Anas menerima bagian dari fee
proyek Hambalang yang tak seharusnya masuk ke kantong pribadi
oknum-oknum parpol? Bukankah itu artinya Anas ikut menikmati beberapa
ribu atau bahkan ratus jua rupiah dari proyek Hambalang? Siapkah Anas
digantung di Monas?
Saya sebenarnya ngeri mendengar
sumpah Anas itu. Bagaimana tidak, kedekatannya dengan Nazar yang
terkenal suka sabet sana – sini dan suka bagi-bagi uang dari
proyek-proyek Pemerintah yang diaturnya, membuat Anas rentan kecripatan
“uang haram”. Sementara, di lain pihak, Timwas internal Partai Demokrat
telah menyatakan ada indikasi Anas melakukan pelanggaran dalam
pelaksanaan Kongres PD di Bandung pada 2010 lalu. Sulit rasanya menerima
argumen Anas bahwa dirinya bersih.
Jadi, jalan terbaik yang harus
dilakukan Anas adalah bicara sejujurnya dan jangan mengumbar sumpah.
Saya yakin rakyat Indonesia yang berperikemanusiaan tak akan sampai hati
menggantung Anas di Monas, tapi jika itu diucapkan oleh Anas sendiri,
maka menjadi sumpahnya yang harus dijalankannya. Anas, hati-hatilah
dalam berbicara, jangan sampai termakan sumpahmu sendiri. Bertobatlah,
jujurlah! Apalah artinya ngotot ingin tetap menjabat jadi Ketua Umum
partai berkuasa, sementara harga dirinya kini sudah tak ada lagi.
Dimana-mana digunjingkan dengan nama minor, dihadang kadernya sendiri,
di internal partainya diributkan dengan pro-kontra atas kepemimpinannya.
Janganlah Anas mengundang pula murka Ilahi atas sumpahnya. Lihatlah,
bagaimana alam mulai tak bersahabat dan membuka kedok borok proyek
Hambalang yang coba ditutupi. Kekuasaan tidak langgeng, pasca 2014,
akankah Anas siap menghuni penjara atau bahkan digantung di Monas? Hanya
Anas yang tahu.
Catatan ira oemar freedom writers kompasianer