foto : www.fotografer.net
Sekitar 2-3 hari lalu, di acara Kabar Petang, TV
One menyajikan liputan tentang fenomena yang marak menjelang tahun
politik 2014 : dukun politik! Dari hasil penelusuran reporter mereka
yang diterjunkan ke lapangan, ada sejumlah dukun yang bisa ditemui dan
bersedia diwawancara secara terbuka, tanpa ditutupi wajahnya dan
disamarkan suaranya. Tadi pagi, liputan itu ditayangkan ulang. Salah
satu dukun yang bernama Gayatri – perempuan berbadan berisi dan sintal,
usianya sekitar awal 40-an tahun – mengaku tarif yang dikenakannya pada
pelanggan bervariasi, tergantung pada harga “bahan baku” sesaji yang
dibutuhkannya. Nilainya tak ada yang murah – seperti dukun jaman dulu
yang cukup membawa segenggam beras atau 1-2 butir telur – kisarannya
jutaan rupiah.
Lain dengan Mbak Gayatri yang melakukan praktek
di rumahnya, Mbah Bowo – meski usianya masih relatif muda dan sama
sekali tak pantas di panggil “mbah”, rupanya gelar “mbah” lebih afdol
untuk profesi yang ditekuninya – tampaknya melakukan ritual
perdukunannya di hadapan sebuah kuburan bercungkup agak tinggi, entah
makam siapa itu. “Property” yang melengkapi juga khas seperti
gambaran dukun-dukun yang kerap ditampilkan di film bergenre mistis.
Mbah Bowo bahkan lebih jelas lagi menyebutkan siapa saja yang datang
padanya. Eeiiits…, tunggu dulu! Jangan berharap akan keluar nama si
Badu, si Fulan atau mbak Markonah. Mbah Bowo hanya menyebutkan peserta
pilkada untuk pilbup di kota anu, kota inu dan kota unu. Yang datang
pada Mbah Bowo tak terbatas hanya peserta pilkada di Jawa saja, tapi
juga daerah di luar Jawa, seperti Sumatra.
Entah kebetulan atau karena memang fenomena ini
sangat mengemuka, pagi tadi sebelum tayangan ulang di TV One, pada
acara Seputar Indonesia di RCTI juga ada liputan khusus fenomena dukun
politik ini. Reporternya melakukan penelusuran ke daerah Pandeglang,
Banten. Seorang dukun pria yang usianya sekitar pertengahan 40-an,
berwajah tirus dengan kumis lebat (mungkin ini juga aksesori wajib para
dukun), dengan busana hitam-hitam plus ikat kepala khas warna hitam
pula, diwawancara dengan jelas ditampilkan wajahnya. Sang dukun tampak
dikelilingi beberapa benda “pusaka” berupa beberapa keris dan entah
benda apa lagi. Ia menceritakan metodenya mendampingi klien yang ingin
terpilih dalam ajang pileg. Aji-aji yang sudah disiapkannya harus
ditanam di lokasi rumah sang caleg minimal seminggu sebelum pencoblosan
sampai hari H pemungutan suara di TPS. Tarifnya bermacam-macam, untuk
caleg DPRD setingkat kabupaten/kota biasanya dipatok 50 jutaan. Bahkan
ada yang hanya dimintai 35 juta. Tapi untuk caleg DPR RI, tarifnya
dibandrol sampai 250 juta.
Ketika penulis menuliskan tayangan RCTI itu di status facebook, salah satu teman penulis berkomentar, ia pernah membaca di detik.com,
kabarnya seorang paranormal seleb – paranormal yang ngetop dan kerap
masuk infotainment – mengaku mematok tarif Rp. 1–10 milyar untuk caleg,
tergantung permintaannya minta duduk di komisi apa. Si caleg tinggal
duduk manis, tak perlu datang ke daerah pemilihan dan repot-repot
bertemu konstituen, dijamin jadi! Wah, canggih juga paranormal ini,
varian tarifnya bergantung komisi “mata air” atau komisi “air mata”.
Jangan-jangan tersedia pula tarif untuk mereka yang ingin terpilih jadi
alat kelengkapan DPR, seperti Pimpinan DPR, Ketua Fraksi, Ketua Komisi
dan pimpinan Banggar.
Patut diacungi jempol kepintaran paranormal yang
satu ini. Dia tinggal duduk manis, milyaran rupiah mengalir ke
pundi-pundinya. Entahlah, apa dia juga menyediakan layanan purna jual
dan garansi. Kalau ternyata tak terpilih, apakah 100% uang kembali? Atau
kalau pun terpilih tapi ternyata ditempatkan di komisi “air mata”
padahal sudah membayar tarif senilai komisi “mata air”, apakah selisih
uang dikembalikan? Penulis yakin, kalau paranormal ini memberikan
layanan purna jual dan garansi, pasti ia sudah membentengi diri dengan “terms and conditions”
yang seabreg dan tidak mudah serta rentan dilanggar tanpa sengaja. Jadi
nanti kalau ada klien yang komplain, ya tinggal dijebak saja dengan TaC
yang tak dipatuhi. Mana ada sih ceritanya dukun bangkrut akibat
dituntut pasiennya? Yang merasa tertipu pun akan tutup mulut ketimbang
harus menanggung malu karena ketahuan melakukan hal konyol.
Mungkin anda bertanya : masa iya sih di jaman
modern begini masih ada yang percaya? Jangan lupa, di persidangan
tipikor, Djoko Susilo, seorang Jendral Polisi bintang dua, sengaja
mengkoleksi keris-keris yang dipercaya sakti mandraguna. Bahkan diantara
200-an keris koleksinya, ada yang harganya lebih dari 1 milyar, ditukar
dengan rumah. Konon, jika memegang keris itu, maka Djoko Susilo tak
akan mempan ditusuk dan digunting rambutnya. Tapi mungkin Irjen DS lupa,
KPK sama sekali tak bermaksud menusuk tubuh apalagi menggunting rambut.
Jadi…, kesaktian 200 keris itu pun tak berarti apa-apa bagi KPK.
===========================================
DUKUN POLITIK MODERN
Ini jaman modern, jaman dimana gadget canggih sudah
jadi kebutuhan primer setelah sandang-pangan-papan. Jaman dimana
internet 24 jam gak ada matinye! Jadi, dukun dengan penampilan
tradisional sesuai pakem dilengkapi dengan assesori dan property yang
konservatif, kini bisa bermetamorfosis dalam bentuk yang sesuai dengan
kemajuan teknologi. Dukunnya pun tak lagi berpraktek sendiri. Ia punya
tim yang bekerja sesuai job deskripsi masing-masing dan semua itu
diwadahi dalam sebuah lembaga berbadan hukum. Piranti yang digunakan pun
menyesuaikan dengan alat komunikasi jaman modern : telepon, ponsel,
laptop, jaringan internet, software pengolah data, dll.
Sama prinsipnya dengan dukun tradisional, dukun
modern ini juga meyakinkan kliennya bahwa ia bisa mengendalikan opini
publik dan mengarahkan pilihan sesuai kehendak pemesan, dengan apa yang
disebut “hasil survey”. Tokoh yang sudah mati-matian
berusaha terkenal tapi tetap tak juga disukai calon pemilih, bisa
disulap menjadi tokoh yang tingkat keterpilihannya cukup tinggi. Partai
politik yang di mata masyarakat tak begitu diminati, bisa dibuat jadi
parpol yang dinilai pemilih paling menjanjikan.
Dukun modern ini menjanjikan dengan kerja ilmiah dan nama besar lembaga yang dipimpinnya, ia mampu menggiring swinging voters
alias pemilih yang belum menentukan pilihan akan berpaling pada
tokoh/parpol yang sesuai hasil survey tingkat keterpilihannya paling
tinggi. Karena itu, memenangkan survey sangatlah penting! Dan…, biaya
untuk survey tentu tak sedikit, apa lagi tim kerjanya banyak dan konon
yang disurvey jumlahnya ribuan. Jadi masuk akal-lah kalau tarif yang
dikenakan cukup tinggi. Apalagi hasil survey nanti akan dirilis di depan
media massa mainstream, pewarta cetak dan televisi harus diundang.
Sudah disiapkan seorang yang akan memberikan analisis ilmiahnya agar
hasil survey betul-betul meyakinkan. Selanjutnya, para pekerja media lah
yang akan mewartakan hasil survey itu ke seantero Nusantara. Hebat
bukan metode kerja dukun modern? Mereka memaksimalkan semua produk
peradaban modern dan daya jangkaunya pun luas karena didukung media online yang bisa diakses dengan gadget seharga 500 ribuan.
Ketika pendaftaran pasangan cagub DKI 2012 baru
ditutup, sehari kemudian akun facebook penulis dimasukkan ke dalam grup
dukungan salah satu pasangan cagub oleh teman penulis. Awalnya penulis
kurang suka karena jelas penulis bukan pendukung cagub itu, lagi pula
penulis tak ber-KTP DKI, jelas tak punya hak pilih. Tapi niat keluar
dari grup itu penulis urungkan setelah membaca beberapa postingan dan
komentar-komentar yang membanjirinya. Penulis rasa menarik juga
bergabung di grup ini, karena bisa mencuri “dengar” pembicaraan antar
pendukung sang cagub.
Dari situ penulis kemudian tahu, bahwa meski
suatu parpol atau pasangan yang akan berlaga di Pilkada tak menyewa
lembaga survey, mereka bisa menyerbu survey-survey yang banyak diadakan
menjelang pilkada. Kerap ada postingan dari kader pendukung yang meyeru
rekan-rekannya agar meng-click suatu situs dan ikut dalam polling
yang diadakan situs tersebut. Memanfaatkan militansi para kader yang
kebetulan rata-rata dari kalangan berpendidikan yang melek internet,
tentu tak sulit membuat hasil polling jadi seperti yang mereka inginkan. Satu kader bisa membuat beberapa akun email, login dengan user name berbeda-beda, lalu memberikan pilihan yang sama. Tarraaa!!! Hasil polling pun menempatkan jagoan mereka di urutan teratas.
Yang membuat penulis heran, mereka itu tahu
betul bahwa mereka lah yang membuat hasil polling jadi seperti itu, lalu
kenapa pula mereka menjadikan hasil polling itu sebagai acuan
kemenangan? Bukankah ini menyesatkan diri sendiri namanya? Ah…,
entahlah, bagi penulis ini dagelan yang sangat menghibur, bagaimana
kalangan intelektual terjebak pada “permainan” mereka sendiri. Karena
itu, ketika ada salah satu Kompasianer pendukung sang Cagub kemudian
membuat tulisan bahwa jagoan partainya lah yang akan memenangi Pilgub
DKI cukup hanya 1 putaran saja dengan raihan sampai 65%, lengkap dengan
rujukan media mana yang mengadakan polling, penulis hanya bisa menahan
tawa. Kalau saja mereka paham azas probabilitas dalam ilmu statistik,
dimana hukum distribusi normal nyaris selalu berlaku, maka hampir tak
mungkin dalam sebuah pemilihan yang diikuti lebih dari 4 kontestan akan
menghasilkan salah satu kontestan bisa meraup lebih dari 50% suara.
Apalagi pilgub DKI 2012 diikuti 6 pasangan calon. Sekecil apapun
perolehan suara calon independen, tak mungkin mereka mendapat nol persen
suara.
Tapi itulah fenomena dukun-dukun politik. Meski
beda jaman dan beda metode, prinsip mereka sama : meyakinkan klien
bahwa dirinya mampu menyulap hasil pilihan publik. Yang pakai mantra dan
benda pusaka mengaku bisa mengarahkan puluhan ribu tangan yang datang
ke TPS untuk mencoblos tanda gambar atau nomor tertentu, sedang yang
menggunakan metode ilmiah mengaku bisa membelokkan opini dan menggiring
persepsi publik. Mereka yang menintrodusir istilah “capres wacana” tapi
di hadapan media mereka mengatkan “publik menilai si anu dan si una
hanyalah capres wacana”. Padahal, di tengah masyarakat sebelumnya tak
pernah terdengar kedua istilah itu.
Kedua fenomena “perdukunan” ini sama-sama lahir dari hukum demand vs supply. Selama ada demand
dari mereka yang berambisi untuk meraih jabatan publik, selama itu pula
akan selalu ada yang siap memenuhi keinginan itu, meski sebatas wacana
dan janji semata. Sebuah janji yang harus dibayar mahal. Celakanya, jika
kelak mereka benar-benar jadi, ongkos yang dipakai membayar itu akan
“ditagihkan” pada rakyat. Sebuah tagihan tanpa invoice, sebab
mereka bebas mengeruknya sendiri dari APBN dan APBD yang didanai dari
pajak yang dibayar rakyat pemilih. Masih adakah arti pesta demokrasi?!